Duabelas: A Night to Remember

1.2K 192 49
                                    

ayo tinggalkan jejak

_._._

Dara mengetuk pintu kayu besar di depannya sebelum membukanya pelan. Kepalanya menyembul dari sisi pintu untuk melihat satu-satunya penghuni ruangan tengah membaca sebuah buku sambil bersandar di sofa favoritnya.

"Jihoon," panggil sang ratu.

"Bunda?" Jihoon lalu memperbaiki posisi duduknya. "Ada apa?"

Dara berjalan menghampiri putra sulungnya lalu duduk di sampingnya setelah menaruh beberapa gulungan kertas di meja. "Ada yang ingin bunda bicarakan denganmu."

"Apa itu?"

"Pernikahan Pangeran Mashiho dan Pangeran Junkyu membuat bunda berpikir tentang dirimu. Mereka adalah pewaris tetapi telah menemukan pendamping hidup, sementara kau... kau adalah raja tapi belum menemukan pendamping. Bunda ingin kau segera menikah, Jihoon. Sudah saatnya kau mencari pendamping dalam memerintah."

"Kenapa? Apakah bunda sudah tidak ingin mendampingiku?"

"Bunda adalah pendamping ayahmu, bukan pendampingmu. Bunda bukan lagi seorang ratu setelah ayahmu pergi. Saat ini kau adalah raja tanpa ratu. Dan raja tanpa ratu bukanlah raja." Dara lalu membuka beberapa gulungan yang bercecer di meja. "Lihat ini. Di dalam sini berisi informasi mengenai putra dan putri omega para petinggi dan menteri dari Jasujeong, Ameji, dan Gamlam. Kau bisa memilih salah satu dari mereka. Lihatlah."

Meski malas Jihoon membaca masing-masing isi gulungan yang dibentangkan oleh ibunya.

"Aku tidak ingin menikah dengan siapapun dari omega-omega itu. Aku tidak mencintai mereka. Aku tidak tertarik."

"Kau harus segera menikah, Jihoon. Para petinggi terus mendesak bunda akan hal itu. Mereka tidak ingin mengulur waktu lagi. Fakta bahwa kau mengambil tahta ketika belum menikah cukup mengancam posisimu. Jangan sampai kita membuat mereka kesal lebih dari ini dan kehilangan dukungan dari mereka. Mereka bisa saja berkhianat."

"Dan kenapa aku harus peduli? Aku mewarisi tahta ini dari ayah yang mendapatkannya dari kakek yang diturunkan lewat hubungan ayah dan anak dari raja Jasujeong pertama. Tahta ini diberikan kepadaku bersama dengan ambisi para pendahuluku yang ingin menyatukan Boseok dibawah Jasujeong. Selama itu mereka memberikan dukungan, tapi kenapa ketika kita berhasil mencapainya mereka akan semudah itu mengkhianati kita hanya karena raja yang tidak mempunyai ratu? Raja yang dengan tangannya sendiri mewujudkan ambisi itu? Tahta ini milikku. Ada atau tidaknya ratu disampingku aku berhak atas Jasujeong."

"Baiklah, maafkan bunda. Tapi setidaknya beritahu bunda kenapa kau tidak ingin memilih salah satu dari mereka."

"Aku sudah katakan aku tidak mencintai mereka."

"Kau bisa belajar untuk itu, Jihoon."

"Tidak. Ayah dan bunda menikah karena saling mencintai. Akupun harus demikian."

"Kau bahkan belum mengenal mereka, Jihoon. Kau bisa bertemu dengan mereka dan saling mengenal satu sama lain. Jika kalian berjodoh, cinta akan tumbuh dengan sendirinya."

"Sudah kubilang aku tidak tertarik, bunda. Jangan memaksaku." Jihoon lalu keluar dari ruangan. Dara mengikutinya namun terpaksa berhenti ketika putra sulungnya itu terus berjalan keluar kastil.

"Jihoon!! Mau kemana kau?! Ini sudah malam, nak!!" Dara melihat dengan putus asa ketika Jihoon memacu kudanya keluar gerbang, entah hendak pergi kemana tengah malam seperti ini.

.

.

.

Jihoon memacu kudanya semakin cepat melewati jalanan membelah hutan yang telah dihafalnya, hingga bahkan di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan, Jihoon tahu dimana harus berbelok, kapan harus membuat kudanya melompat.

A Crown for Us (hoonsuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang