Tujuh: Visitor

1.1K 214 10
                                    

update karena gabut

btw, bacanya pelan pelan aja

jangan lupa tinggalkan jejak

_._._

Park Jihoon memacu kudanya melewati jalan berbatu yang membelah hutan, jalan yang telah ribuan kali dilewatinya. Setelah beberapa saat berlalu kaki kudanya menapaki sebuah bukaan berlantai karang, terus berlari hingga menyeberangi sebuah jembatan. Dia bahkan tidak memperlambat kudanya meskipun sebuah pintu gerbang berdiri di ujung jalannya. Ketika hampir sampai di ujung beberapa orang penjaga membukakan gerbang tersebut untuknya. Jihoon baru menarik tali kekang kudanya ketika telah sampai di depan sebuah istana.

Seorang pelayan mengambil alih kudanya dan menarik hewan berkaki empat itu ke kandang sementara pelayan lain mengikutinya masuk ke istana.

"Dimana Hyunsuk?" tanya Jihoon.

"Di taman belakang, Yang Mulia."

Jihoon mengarahkan kakinya melangkah ke tempat yang dimaksud. Tidak sulit baginya untuk menemukan Hyunsuk duduk di tepi pembatas tebing dengan sebuah buku di pangkuannya. Dia lalu duduk di kursi kosong di sebelahnya.

"Senang melihatmu menikmati waktumu disini," ucap Jihoon.

Hyunsuk mengalihkan perhatiannya pada Jihoon sebelum menundukkan kepala dalam sapaan.

"Selamat datang, Yang Mulia. Apa yang membuatku mendapatkan kehormatan kunjungan darimu?"

"Ini istanaku."

"Fakta bahwa kau bergegas menemuiku memberikan kesan kau mempunyai urusan yang mendesak denganku," kata Hyunsuk seolah Jihoon tidak menyelanya. Matanya menatap sedetik lebih lama pada mantel yang bertengger di bahu Raja Jasujeong itu. Jihoon lantas melepas jubahnya dan memberikannya pada seorang pelayan.

"Ada yang bisa kubantu, Yang Mulia?" tanya Hyunsuk sambil menuangkan teh.

"Apakah aku perlu alasan untuk menemui tawananku?"

"Yang kau perlukan adalah istirahat, Yang Mulia. Aku hanya pernah melewati jalan menuju istanamu ini sekali namun aku tahu itu bukan perjalanan yang menyenangkan untuk seorang penunggang kuda."

"Aku akan melakukan apapun yang aku mau tanpa harus mendengarkan orang lain."

Hyunsuk mengangguk sekilas. Matanya tertuju ke buku, sibuk mencari kalimat terakhir yang dibacanya. "Oh, aku tahu itu, Yang Mulia. Aku telah menyaksikannya sendiri."

"Apakah kita akan benar-benar melanjutkan pertengkaran konyol ini?"

"Lalu kenapa kau jawab?" timpalnya sebelum kembali membaca bukunya.

Jihoon melirik sekilas buku yang tengah dibaca oleh Hyunsuk. Itu adalah buku favoritnya, tapi entah kenapa hal yang ingin dilakukannya sekarang adalah merebut buku itu melemparkannya ke laut.

Dan itulah yang benar dia lakukan.

"Sayang sekali. Bagian paling seru baru saja dimulai." Hyunsuk menghela napas sebelum mengangkat cangkirnya. "Kuharap kau telah menemukan sesuatu untuk dibicarakan karena aku sudah mulai bosan, Yang Mulia," katanya sebelum menyeruput tehnya.

"Aku memberikan Jinju pada Ameji dan Gamlam. Yedam yang akan menjadi ratu."

Hyunsuk meletakkan cangkirnya kembali sebelum melipat kedua tangannya dan memberikan perhatian penuh pada lawan bicaranya.

"Tentu saja. Gamlam dan Ameji adalah pendukung setiamu. Lagipula rakyatku mungkin akan sedikit melunak jika seorang omega yang menjadi pemimpin mereka. Kudengar Pangeran Yedam dari Gamlam itu cerdas dan menawan."

"Kau tidak marah?"

"Apa untungnya itu untukku? Jinju telah kau takhlukkan. Kau bisa melakukan apapun padanya. Aku hanya berharap kau memperlakukan rakyatku dengan baik."

"Jinju memang telah kutakhlukkan tapi kau tetap memanggilnya rakyatmu."

"Aku hanya membalas perlakuan mereka padaku. Mereka memandangku sebagai ratu, tentu saja mereka rakyatku. Jika tidak, lantas apa jadinya aku di mata mereka?"

"Jinju sekarang milikku."

Hyunsuk mengangguk setuju. "Ya, tentu saja. Kau mendapatkannya dalam waktu satu malam. Tapi satu malam bukan waktu yang cukup untuk membuat kesetiaan rakyatku goyah begitu saja."

"Kau..."

"Ini tidak akan berhasil, Yang Mulia. Pembicaraan ini tidak akan menemukan akhir. Dalam beberapa hal kau harus belajar untuk menyerah." Hyunsuk bangkit berdiri lalu merapikan jubahnya.

"Mau kemana kau?"

Pertanyaan dari Jihoon menghentikan Hyunsuk sebelum dia mengambil langkah.

"Ke kamarku?" Kata Hyunsuk dengan nada bertanya. "Buku yang tengah kubaca barusaka kau lempar ke laut, Yang Mulia. Aku bosan setengah mati disini. Atau masih ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?"

Hyunsuk menatap kedalam mata Jihoon, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Ketika akhirnya sang raja mengibaskan tangan kirinya, Hyunsuk membungkuk sebelum kemudian melenggang pergi.

.

.

.

Kunjungan Jihoon selanjutnya terjadi dua minggu kemudian.

Saat itu pagi hari. Matahari belum beranjak benar dari ufuk timur. Hyunsuk duduk di dekat tepi pembatas tebing menyantap sarapannya. Suara deburan ombak di bawah sana menjadi satu-satunya bunyi yang menemaninya menikmati hembusan angin laut yang membawa sedikit titik-titik air.

Namun kemudian derak sepatu menginjak bebatuan mengalihkan perhatiannya.

Hyunsuk menolehan kepala, mendapati Raja Jasujeong berjalan mendekat lalu duduk di sebelah kanannya. Sesaat kemudian seorang pelayan meletakkan sepiring pancake yang terlihat seperti barusaja jatuh kedalam sepanci cokelat cair.

"Selamat pagi, Yang Mulia. Senang mendapatimu datang bergabung untuk sarapan bersama." Hyunsuk menganggukkan kepala ringan.

"Kau menikmati sarapanmu?" tanya Jihoon memperhatikan pancake cokelat di piring Hyunsuk yang tinggal sedikit.

"Aku menikmati indahnya pagi ini, Yang Mulia."

"Kau selalu duduk disini. Apa yang kau suka dari tempat ini?"

"Apakah seseorang memilih sesuatu selalu berdasarkan suka atau tidak suka?" Hyunsuk balik bertanya. Melihat ekspresi Jihoon, Hyunsuk tersenyum kecil lalu bertanya lagi, "aku khawatir kau tidak akan suka dengan alasanku, Yang Mulia."

"Suka atau tidaknya itu aku yang menentukan."

"Maka kutanyakan padamu, bagaimana jika kau memilih mengetahui alasanku namun kau tidak menyukainya, Yang Mulia?"

Jihoon memicingkan mata kearahnya. "Kenapa kau suka sekali bermain kata? Aku hanya memintamu untuk mengatakan alasanmu memilih tempat ini sebagai tempat kesukaanmu."

"Aku suka bermain kata maka aku memilih untuk melakukannya. Namun aku memilih tempat ini bukan berarti aku menyukainya," kata Hyunsuk. Dahi Jihoon semakin mengkerut menahan kesal membuat Hyunsuk lagi-lagi memberikannya senyum yang tidak mencapai matanya. "Karena sewaktu-waktu aku dapat melompat ke bawah jika aku sedang dalam suasana hati yang menghendaki."

"KAU INGIN BUNUH DIRI??!!" sang Raja Jasujeong berteriak. Murka tercetak jelas di wajahnya.

Hyunsuk menyembunyikan tawanya dibalik punggung tangannya. "Lihat, kau tidak menyukainya."

"Jangan macam-macam, Choi Hyunsuk."

Hyunsuk masih tertawa pelan. Baru ketika tawanya mereda dia menjawab, "alasanku sederhana, Yang Mulia. Tempat ini sunyi. Langit, angin, suara ombak, udara lembab air laut yang sedikit asin. Semua itu memberikan ketenangan bagiku."

Hyunsuk memberikan satu senyum miring lain kepada Jihoon sebelum melahap suapan terakhir sarapannya.

"Aku masih memikirkan rakyatku, Yang Mulia. Aku tidak akan membunuh diriku sendiri. Kau tidak perlu khawatir soal itu."

_._._

susah nggak sih bahasanya?

A Crown for Us (hoonsuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang