Sepuluh: Battle of The Heart

1K 194 13
                                    

Double update karena part ini sambungan dari part sebelumnya

yang blom baca chapter 9, silakan cek dulu

jangan lupa tinggalkan jejak

_._._

Hyunsuk tidak pernah merasa selega ini memasuki kamarnya di kastil pengasingannya.

Hari ini benar-benar merupakan hari terpanjang dan paling melelahkan yang pernah dilaluinya. Mulai dari sikap tenang yang harus ditunjukkannya di depan Dara, Yedam, rakyat Jinju, dan para tahanan yang di temuinya, hingga perjalanan antara kastil karang dan istana Jinju yang ditempuhnya dua kali. Yedam dan Dara sebenarnya memintanya untuk bermalam di rumah lamanya itu mengingat jauhnya jarak yang harus dilaluinya, namun Hyunsuk menolak karena hatinya tidak akan sanggup menahan diri lebih lama lagi untuk tidak terpuruk menangis.

Bagian paling sulit dari hari ini adalah ketika dirinya berdiri berhadapan dengan batu marmer besar yang menjadi penanda tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya. Ketika tangannya terjalin di depan dada, mata terpejam dalam diam. Hyunsuk tidak berani mengatakan apapun, takut jika benteng pertahanan yang sepanjang hari, selama ini dia pertahankan akan runtuh begitu saja di depan musuh.

Ketika Hyunsuk telah berada di dalam kamarnya, ketika dia tahu tidak ada mata yang melihat, barulah dia melepaskan semuanya.

Hyunsuk jatuh terduduk di samping tempat tidur, kedua tangan memeluk kaki, wajah dibenamkan di antara kedua lutut. Rahangnya dieratkan untuk menahan isakan yang mungkin saja lolos.

Hyunsuk merindukan ibunya, karena jika ibunya disini dia akan memeluknya hingga tidur.

Hyunsuk merindukan ayahnya, karena ayahnya akan menyelesaikan semuanya untuk Hyunsuk.

Hyunsuk lelah menghadapi orang-orang yang menatapnya seolah dirinya dapat meledak sewaktu-waktu.

Hyunsuk lelah menjadi tumpuan bagi orang-orang yang tidak dikenalnya.

Hyunsuk tidak ingin menjadi ratu.

Hyunsuk tidak ingin ditawan dan diasingkan.

Hyunsuk ingin menyerah.

.

.

.

"Selamat pagi, Pangeran Hyunsuk."

Seperti biasa, sapaan dari seorang pelayan menyambutnya di pagi hari. Namun tidak seperti biasa, Hyunsuk justru menarik selimutnya hingga menutupi pucuk kepalanya.

"Bisakah aku sarapan di kamar saja? Aku masih merasa lelah dari perjalanan kemarin."

"Baiklah. Saya akan mengatakan kepada Raja Jihoon untuk menunggu hingga waktu makan siang sebelum bertemu dengan anda."

Hyunsuk megerutkan kening. Pagi-pagi seperti ini, untuk apa dia datang?

Hyunsuk berkata dari dalam selimut, "tidak. Katakan saja kepadanya untuk menungguku sebentar. Aku akan turun dan sarapan bersamanya. Bisakah kau buatkan aku seduhan teh hitam sebelum aku keluar menemuinya? Aku ingin sedikit menyegarkan diri."

"Baik, Pangeran Hyunsuk."

Hyunsuk menunggu beberapa saat sebelum bangkit dan bergegas mempersiapkan diri. Dia tidak ingin seorang pun melihat mukanya yang bengkak akibat menangis semalaman.

Sepanjang malam menangis ternyata memberikan dampak baik bagi kondisi mentalnya. Hyunsuk merasa hatinya lebih ringan, merasa dirinya lebih siap menghadapi apapun.

Dalam sekejap Hyunsuk telah duduk di depan meja rias mengoleskan beberapa krim untuk menyamarkan bengkak di bawah matanya. Lingkar hitamnya masih terlihat namun dapat dianggap sebagai tanda lelah setelah perjalanan jauhnya kemarin.

A Crown for Us (hoonsuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang