Segala yang ada di hidup Park Jihoon harus utuh. Sempurna. Satu-kesatuan. Tak terbagi. Tanpa cacat.
Jihoon kecil tidak suka makan roti yang dipotong. Tidak mau tutornya mengajar anak orang lain. Tidak ingin memakai baju dari penjahit yang juga menjahitkan baju selain miliknya. Tidak suka mainannya dimainkan oleh anak-anak lain.
Ketika besar Jihoon memiliki istananya sendiri; masih tetap menjadi pribadinya yang terobsesi akan kepemilikan utuh tak terusik. Saat Raja Jiyong menunjuk putra bungsunya, Pangeran Jaehyuk sebagai putera mahkota, si sulung Jihoon dengan keras menyatakan keberatannya.
Jaehyuk sebagai putera mahkota berarti adiknya itu akan menjadi raja. menurut Jihoon Jaehyuk yang lembut tidak akan bisa menakhlukkan Jinju dan sekutunya. Jaehyuk yang berhati malaikat tidak akan mampu menyatukan daratan Boseok dibawah satu perintah, Jasujeong.
Jaehyuk, yang lembut dan berhati malaikat seperti yang telah disebutkan, dengan senang hati menyerahkan kedudukannya sebagai putera mahkota kepada sang kakak. Jaehyuk menganggap kakaknya itu lebih mampu memenuhi keinginan para leluhurnya untuk menguasai seluruh daratan. Lagi pula dia sendiri tidak begitu tertarik dengan singgasana keras sang ayah.
_._._
Seorang pengawal berlari melewati pintu-pintu besar istana karang -istana pribadi sang putera mahkota- tanpa mempedulikan para penjaga dan pelayan yang hampir dia tabrak. Seragamnya berantakan dengan peluh yang membasahi seluruh wajahnya padahal saat itu telah memasuki musim dingin. Melihat penampilannya yang sama sekali tidak pantas untuk dibawa masuk istana itu sepertinya si pengawal ini sedang tergesa-gesa. Ketika akhirnya si pengawal telah sampai di tempat tujuannya seketika dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan sang putera mahkota, Pangeran Jihoon, yang tengah membaca buku di ruang pustaka.
"Yang Mulia, saya membawa kabar dari istana utama," kata si pengawal.
"Ada apa," tanya Jihoon tanpa mengangkat pandangannya.
"Yang Mulia Raja Jiyong sekarat. Beliau mengharapkan kehadiran anda, Pangeran Jihoon," lapornya membuat sang pewaris menatapnya sekejap lalu bangkit dalam ketergesaan. Dia menaruh bukunya asal lalu berjalan cepat menuju kandang kuda. Jihoon menarik kuda kesayangannya keluar lalu menunggangi dan memacunya menuju istana utama. Para pengawal kelimpungan mengikutinya dari belakang.
.
Bunyi bedebam keras pintu yang dibuka paksa membuat seisi kamar raja terlonjak kaget. Jihoon mengedarkan pandangan. Matanya menangkap sosok sang ibu yang berdiri di sisi tempat tidur sang ayah, adik dan iparnya berada di sisi lain. Di tempat tidur sosok ayah yang sangat dia kagumi terbaring lemah dengan salah satu lengannya dipeluk erat oleh keponakannya.
"Jihoon," panggil sang ibu. Jihoon memeluk singkat Ratu Sandara dan kedua adiknya Jaehyuk dan Asahi lalu mengecup singkat kepala keponakannya sebelum mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur Raja Jiyong.
"Ayah," panggilnya menggenggam erat tangan bebas sang ayah. Tanpa suara Ratu Sandara memimpin anak dan menantunya untuk keluar ruangan. Setelah menggendong sang balita yang tertidur Asahi menghampiri Jaehyuk yang menunggunya di pintu.
"Ada yang ingin Ayah bicarakan?" tanya Jihoon begitu hanya tinggal mereka berdua.
"Jihoon, apa keinginan terbesar yang diwariskan oleh para penerus Jasujeong secara turun temurun?" tanya sang ayah.
"Untuk menyatukan seluruh daratan Boseok dibawah Jasujeong," jawab Jihoon mantap. Itu bukanlah hanya sekadar kata-kata yang dihafalkannya melainkan mimpi yang telah terukir di hatinya.
"Apa tugasmu sebagai salah satu pewaris Jasujeong?" tanya Jiyong lagi.
"Mewujudkan keinginan itu. Jika gagal, aku harus memastikan pewaris setelahku melakukannya." Namun jika boleh jujur Jihoon tidak akan melimpahkan tugas itu pada anaknya nanti. Bukankah kesempurnaan adalah hidupnya?
"Apa yang akan kau lakukan untuk mewujudkannya?"
"Seperti catur. Sang ratu bergerak bebas menjaga sang raja dan kerajaannya. Ketika sang ratu mati tidak banyak dapat dilakukan untuk mengamankan sang raja. Ketika sang raja terjebak diantara bidak lawan maka pihak tersebut akan kalah. Raja tidak bisa bergerak. Permainan usai."
"Ketika kau keluar dari ruangan ini kau adalah seorang raja. Apa langkah pertamamu nanti?"
Hati Jihoon mencelos menyadari waktu sang ayah tidaklah banyak. Matanya terasa terbakar sementara dadanya sesak. Namun dia mencoba menguatkan diri tidak ingin terlihat lemah dihadapan ayahnya.
"Memulai permainan yang sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Crown for Us (hoonsuk)
FanficKetika harga diri dan hati dipertaruhkan dari dua sisi meja yang berbeda.