.Prolog.

857 49 1
                                    

Selamat membaca ♡

Suara gaduh terdengar memekak telinga pada pukul empat lewat tiga puluh menit, membuat Juan Bagaskara atau yang sering disapa Awan oleh orang terdekatnya itu terjaga dari tidur lelapnya.

Bukan hal baru dikehidupannya, itu sudah menjadi kebiasaan orang tuanya. Suara panci yang sengaja dibanting atau lainnya Juan memilih tidak peduli.

Hidup didalam lingkup keluarga yang tempramental membuat Juan sudah terbiasa akan hal semacam ini. Teriakan, cacian, tamparan itu adalah hal yang wajar dikeluarga ini.

Terkadang ia muak dengan keluarganya,  tapi kemudian ia ingat satu hal bahwa ada kakaknya yang selalu memberi kehangatan untuknya, sedia pasang badan dari segala bahaya yang mengincarnya. Dia Yogi Pratama pahlawan bagi Juan Bagaskara.

^^

Pukul 05.40.

Juan membuka pintu kamarnya perlahan sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. Dilihatnya semua orang sudah berkumpul dimeja makan, dengan langkah gontai ia menghampiri keluarganya.

“Awan? Sini duduk samping kakak. Biar kakak yang ngambilin makanan buat kamu” ujar Yogi sambil menepuk kursi kosong disampingnya. Juan hanya tersenyum dan segera duduk.

Suasana berubah menjadi hening seketika semenjak kehadiran Juan, dengan takut-takut ia melirik ke arah orang tuanya yang hanya fokus pada makanannya.

Yogi mengambil piring serta nasi dan lauk pauknya untuk Juan,  sederhana hanya tempe goreng dengan oseng kangkung isinya, lalu ia berikan kepada Juan.

“Nggak punya tangan ya? Sampek nyuruh kakaknya buat ambilin. Dasar anak nggak tau diri! ” sinis ibu tanpa mengalihkan pandangannya.

Juan hanya diam, Yogi bersuara
“Ini mau Yogi kok Bu,  bukan mau Awan.” belanya.

Srekk

Ayah berdiri dari duduknya,
“Ayah berangkat kerja, ini uang sakunya” menyodorkan uang sepuluh ribuan dua lembar kepada Yogi.
“Dan ini buat kamu.” Dilemparnya selembar uang lima ribuan tepat pada wajahnya, membuat Juan sedikit terkejut.

“Ayah kok dilempar sih, kenapa juga Awan cuma dikasih lima ribu? ” protes Yogi.

“Masih untung ayah kasi dia uang saku,  masih mau protes kamu!” suara Ayah menyauti kini sudah naik satu oktaf.

Juan menunduk, menarik lengan kemeja sang kakak untuk menenangkannya,
“Makasih ayah” ujarnya lirih. Tidak menggubrisnya, Ayah langsung pergi meninggalkan ruangan.

Sama halnya dengan Ibu,  wanita paruh baya itu juga segera meninggalkan ruang makan.

Yogi mengelus surai adiknya, “Nggak papa,  nanti kita berangkat bareng ya,  biar kakak yang bayar angkot kamu”

Juan tersenyum lantas mengangguk, “Makasih ya Kak” ujarnya.

“Iya, yaudah habisin dulu sarapannya habis itu kita berangkat” Juan mengangguk patuh lalu segera menghabiskan makanannya.

^^

Juan duduk terdiam di bangkunya, menatap rintikan air dari balik jendela. Bel tanda istirahat sudah berbunyi sekitar 7 menit lalu tapi ia tidak berniat untuk pergi.

“Wan, ke kantin gak lu?” itu suara Jery, teman Awan nomor satu dalam segala hal.

Juan menoleh,  lantas menggeleng pelan. Seperti biasa wajahnya tampak lesu. Jery tahu penyebabnya, bahkan seluk beluk keluarganya yang selalu menomor-satukan Yogi kakak Juan.

[✓] ASA dari AWAN [So Junghwan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang