9

204 29 0
                                    

Happy reading♡

Tanpa Juan sadari ini sudah pukul enam tepat, ia hanya berharap semoga ayahnya tidak di rumah kali ini. Juan menyadari bahwa ia telat untuk pulang, maka dari itu Juan hanya berharap semoga hari ini tidak berakhir buruk.

Pintu itu ia buka secara perlahan, jantungnya berdegup tidak karuan dan di depan sana terdapat ayahnya yang menatap ke arahnya dengan sorot mata yang tajam.

Bahkan sorot matanya saja mampu membuat atmosfer disekitarnya ikut merasakan kemarahannya, Juan meremang dibuatnya.

“Darimana kamu?” sebuah pertanyaan penuh penekanan menyapa indra rungunya.

Juan tak berani untuk berucap barang satu kata pun, ia terlalu takut.

“Jam berapa sekarang?” tanya Hermawan lagi.

Namun Juan tetap geming, bahkan tubuhnya kini bergetar menahan katakutannya.

“BUDEK YA KAMU, ATAU BISU?”

Juan terjingkat mendengar teriakan sang ayah.

“T–tadi Awan h–habis nolong orang kecelakaan yah” jawabnya lirih.

“Peduli setan, kamu nggak liat apa lantai kotor, rumah berantakan. Mentang-mentang ayah nggak tiap hari di rumah kamu seenak jidat keluar jalan-jalan sampe lupa pekerjaan rumah”

“Inget ya kamu tinggal disini nggak gratis, jadi jangan seenaknya. Rumah ini juga punya peraturan, rumah masih numpang aja jangan belagu kamu”

Bak pedang yang menancap sampai ulu hati, perkataan sang ayah telah melukainya berulang kali. Berulang kali juga Juan meneteskan air mata karenanya.

“Sini ikut ayah” dengan cekatan Hermawan menarik lengan Juan, diseretnya ia menuju kamar mandi yang dingin itu.

Dibantingnya tubuh ringkih Juan hingga menatap lantai dengan keras, Juan meringis merasakan tubuhnya yang akan remuk sebentar lagi.

Entah dari mana Hermawan sudah memegang sabuk kulit ditangannya,

CTAAKK

CTAAKK

CTAAKK

Tanpa perasaan Hermawan mulai menganiaya anaknya itu, ia cambukkan sabuk kulit itu berkali-kali pada tubuh Juan.

“Ampuun ayahh” rintih Juan meminta pengampunan.

“Ini hukuman kamu karena seenaknya sendiri”

Berkali-kali Hermawan mencambukki Juan hingga kulitnya membiru, bahkan rintihan Juan tak berarti apapun, seakan telinga Hermawan telah menuli.

“Ampuun ayah, Awan janji gak akan ngulangi lagi” rintih tangis Juan tak berarti apapun untuk Hermawan

Seperti orang kesetanan, setelah puas mencambukki anaknya hingga membiru, disiramnya tubuh Juan dengan air.

BYURR

Siapapun tolong Juan sekarang, anak itu sudah pasrah untuk hidup dan matinya saat ini.

Percayalah luka cambuk lalu disiram air itu sangat perih rasanya, Juan sebisa mungkin menahan perih di sekujur tubuhnya.

Ditariknya kuat helai rambut Juan oleh Hermawan, hingga rasanya kulit kepalanya akan copot.

Lalu tanpa aba-aba ia celupkan kepala Juan kedalam bak air, lalu ditariknya lagi ke permukaan. Belum sempat Juan mengambil udara ayahnya sudah terlebih dahulu memasukkan kepalanya ke dalam bak.

Entah sudah berapa liter air yang masuk ke dalam paru-parunya, itu semua membuat tubuhnya kian melemas, kepalanya juga terasa sangat pening.

Setelah dirasa anaknya tak ada perlawanan, Hermawan kembali membanting tubuh Juan ke lantai.

“Jangan macam-macam kamu dirumahku ini.” ia tendang sekali tubuh Juan lantas berlalu meninggalkan Juan di dalam kamar mandi dan menguncinya.

Juan mengumpulkan sedikit kesadarannya, ia terbatuk cukup kuat, ia muntahkan air yang masuk ke dalam rongga dadanya, sesak begitu terasa menyiksa.

Dirasakan tubuhnya hampir mati rasa, perih disekujur tubuhnya mulai terasa kembali, kepalanya terasa pening.

Bahkan untuk bergerak saja rasanya ia sudah tidak sanggup.

Juan meringkuk meratapi nasibnya yang terlalu tragis ini, dalam diam ia menangis tanpa suara sambil merasakan sakit menjalari tubuhnya, bahkan ia tidak keberatan jika harus mati sekarang.

Apa dosa yang dia lakukan dimasa lalu hingga ia harus menebusnya seperti ini, ia sudah tidak sanggup lagi.

Sampai kapan ia akan disiksa terus-terusan oleh ayahnya sendiri?

Dimana malaikat penyelamatnya?

Atau hanya ada malaikat pencabut nyawa yang terus bersamanya?

Biarlah lantai kamar mandi yang dingin ini menjadi saksi bisu kebejatan Hermawan dan perjuangan Juan untuk melewati masa sekaratnya.

“Jika hari ini aku pergi tolong jaga orang-orang yang aku tinggalkan..” ucap Juan dalam hati sebelum kesadarannya benar-benar direnggut.

Dilantai yang dingin ini ia sudah tak sadarkan diri, tanpa ada yang berniat menolongnya, ia harus melewati kesakitannya sendirian, merasakan segala perih yang mendera.

Bertahanlah Juan, bahkan bahagiamu belum kau jemput. Senyummu belum terukir penuh.

Dan teruntuk Yogi, adikmu sedang tidak baik-baik saja saat ini.


_____

Tbc


[✓] ASA dari AWAN [So Junghwan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang