09. Serius

212 35 1
                                    


.
.
.
.
.
San masuk kedalam rumah Luthfi dengan tergesa, jika saja Luthfi tidak menghubunginya tadi mungkin sampai saat ini San tidak akan pernah tau jika Andra sakit. San hanya akan terus bertahan dengan pikiran negatif nya tentang Andra, juga memikirkan bagaimana cara membuat Andra yakin jika dia serius dengan hubungan mereka.

"Oh lo udah dateng San." San menatap lekat pada Luthfi yang baru saja membukakan pintu untuk nya.

"Masuk aja, Andra ada di kamar gue. Lo tau kan?" San mengangguk, tentu saja di tau, bahkan sebelum dirinya dan Andra menjalin hubungan dia sudah sering menemani Andra di kamar Luthfi.

"Dari kapan Andra sakit Fi?" Luthfi menutup pintu rumahnya dan berjalan di belakang San.

"Kemarin pagi, badannya demam tinggi. Dia lagi banyak pikiran." San terdiam, dia sangat yakin jika lamarannya adalah salah satu hal yang di pikirkan Andra.

"Sebelum lo ke kamar gue, bisa kita ngobrol dulu San?" San dengan cepat menoleh pada Luthfi dan mengangguk.

"Boleh." Luthfi mengajak San untuk duduk di meja makan, karena dia tengah menunggu cheesecake buatannya matang.

"Lo mau ngobrol soal apa Fi?" Luthfi menghela nafas panjang.

"Soal Andra." San diam dan siap mendengarkan apa yang ingin Luthfi sampaikan.

"Soal penolakan Andra sama lamaran lo." San langsung menegakan posisi duduknya.

"Dua hari lalu gue baru tau kalau Andra nolak lamaran lo lagi, kalau aja waktu itu Vano gak nanya ke Andra, mungkin sampai sekarang gue juga gak bakal tau. Lo tau alasan Andra nolak lo?" San mengangguk kecil, sebenarnya dia ragu meskipun dia sudah mendengar alasan tentang trauma Andra.

"Setiap kali Andra nolak gue, dia gak pernah kasih alasan Fi. Dia cuma bilang kalau dia gak bisa terima sekarang, bahkan setelah gue ngelamar dia lima kali, jawaban nya tetap sama." Luthfi menatap lekat ekspresi yang di keluarkan oleh San. Luthfi tau jika lelaki di hadapannya itu juga patah hati saat mendapat penolakan.

"Jujur aja Fi, gue sempet ngira kalau Andra udah gak cinta sama gue. Tapi semalem waktu gue ke rumah bang Edzard, bang Edzard cerita soal trauma Andra. Dari situ gue baru sadar kalau gue harus berjuang lebih keras buat ngeyakinkan Andra, bahkan bunda gue juga bilang gitu." Luthfi tersenyum tipis.

"San, gue tau lo cinta sama Andra, gue juga yakin kalau lo pasti bisa bikin Andra bahagia. Ketakutan Andra belum sampai tahap trauma San, masih bisa lo ambil celah buat ngeyakinin dia kalau lo bener-bener cinta sama dia." San menatap Luthfi lekat, lelaki itu tau jika Luthfi sangat menyayangi Andra, begitu juga sebaliknya. Kedua nya seperti saling mengisi dan melengkapi atas kurang nya perhatian orang tua mereka.

"Apa yang harus gue lakuin biar Andra yakin sama gue Fi?" Luthfi tersenyum simpul.

"Tetap ada di samping nya, mau sebanyak apapun penolakan yang dia lakukan nanti nya. Andra butuh di pahami dan butuh bukti jika dia tidak akan mengalami hal yang di alami orang tua nya jika dia menikah, lo juga harus ngeyakinin dia kalau anak-anak kalian nanti gak akan pernah ngalamin hal-hal yang dia alami selama ini." San mengangguk.

"Gue pasti lakuin itu Fi, gue bakal jamin kalau gue gak bakal ngelakuin hal yang berpotensi bikin Andra sedih." Luthfi bangkit dan menepuk pundak San saat oven miliknya berbunyi.

"Gue percaya sama lo San, sana cepet ke atas."
.
.
.
.
.
Luthfi masuk ke cafe langganan nya, dia ada janji dengan Joshua malam ini. Jadi setelah mengantar minum dan juga cheesecake ke kamar nya untuk Andra juga San, Luthfi pamit untuk keluar sebentar.

Luthfi bisa menemukan Joshua duduk di daam menunggunya, lelaki manis itu tampak imut saat mengerucutkan bibir nya sambil menatap layar ponsel nya.

"Malam sayang." Joshua terkejut saat Luthfi berbisik di telinga nya.

"Ih kak Luthfi! Ngagetin aja." Luthfi tertawa kecil saat mendengar gerutuan Joshua.

"Kakak kira kamu sama Jevan?" Joshua menggeleng.

"Kak Jevan lagi aja jaga malam kak, makanya aku sendirian." Luthfi tertawa mendengar gerutuan Joshua tentang tunangannya.

Iya Joshua memang sudah memiliki tunangan, dia bahkan tidak pernah mempunyai hubungan dengan Luthfi. Saat SMA, dia memang pernah sempat mempunyai rasa pada Luthfi. Seorang kakak kelas yang sangat perhatian, namun lelaki tinggi itu menolak Joshua saat si manis itu mengutarakan rasanya. Saat itu Joshua tahu jika Luthfi adalah pihak bawah sama sepertinya, dan mereka justru menjadi dekat sebagai seorang kakak pada adiknya.

"Jevan lagi cari modal buat nikahin kamu itu." Joshua merengut.

"Kak Luthfi sendiri kapan mau nikah?" Luthfi mengedikan bahunya acuh.

"Nanti kapan-kapan, kalau nemu yang setia."

Obrolan mereka terus mengalir begitu saja, bahkan jika orang lain lihat, Luthfi lebih seperti seorang dominan yang tengah menemani kekasihnya untuk kencan.

"Maaf mas, pesanannya." Luthfi menoleh dan tersenyum pada pelayan cafe yang mengantar pesanannya.

"Luthfi?" Luthfi mengernyit dan mencoba mengenali pelayan cafe itu.

"Mas kenal saya?" pelayan cafe itu mengangguk.

"Gue Darel, temen kuliahnya Vano." Ah Luthfi baru ingat sekarang, lelaki di sebelahnya itu adalah lelaki yang dulu selalu mendekatinya.

"Oh iya." Darel menghela nafas melihat sikap cuek Luthfi.

"Luthfi, bisa gue ngobrol sesuatu sama lo?" Luthfi menaikan alisnya bingung.

"Penting?" Darel mengangguk.

"Ya udah obrolin aja disini, duduk aja." Darel mengangguk dan duduk di kursi kosong di sebelah Luthfi.

"Mau ngomongin apa?" Darel meremas tangannya.

"Soal Vano." Luthfi menghela nafas kasar, kenapa juga Darel harus membahas Vano.

"Vano kenapa?" Darel memutuskan memberitahu Luthfi tentang pemicu kejadian tiga tahun lalu.

"Soal Vano yang deketin cewe waktu itu." Luthfi langsung menatap tajam pada Darel.

"Maaf Fi, sebenernya saat itu Vano udah nolak karen dia bilang kalau di udah punya pacar. Tapi kita maksa Vano, jadi apa yang di lakuin Vano saat itu semua atas perintah kita, lebih tepatnya karena paksaan gue. Vano marah ke kita semua dan mutusin ikatan pertemanan sama kita setelah kejadian itu. Bahkan sampai sekarang, Vano gak pernah mau ngomong sama kita." Darel menunduk saat Luthfi menatap nya tajam.

"Tujuan lo apa?" Darel tau, Luthfi pasti marah padanya.

"Gue suka sama lo dan sahabat gue Jian suka sama Dane, dia ngajak gue buat misahin kalian." Luthfi berdecak tidak percaya, bukan apa tapi karena dia mengenal Jian, salah satu teman sekelasnya sejak SMA.

"Terus tujuan lo sekarang cerita ke gue apa?" Darel menunduk.

"Gue mau minta maaf, karena taruhan dan paksaan gue sama temen-temen gue ke Vano, hubungan lo sama Vano jadi rusak. Tapi lo harus tau Fi, Vano bener-bener cinta sama lo. Bahkan sampai sekarang gue gak pernah liat atau denger Vano deket sama cewe atau sub lain."  Luthfi tidak tahu harus merespin seperti apa.

"Udah kan? Kalau udah lo bisa balik kerja. Gue mau kencan." ucapan Luthfi membuat Darel terkejut. Netra nya langsung menatap Joshua yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mereka.

"Sorry Fi."

"Kak Luthfi, kayak nya dia jujur deh." Luthfi mengangguk.

"Dia emang jujur, gue udah tau ceritanya. Tapi gue nunggu buaya itu ngomong ke gue, tapi ya lo tau sendiri sampai sekarang dia masih pengecut."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Not too lateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang