10. Nasib bucin

279 33 3
                                    


.
.
.
.
.
San menatap lekat pada Andra yang tengah tertidur, Luthfi belum pulang jadi San tidak akan meninggalkan Andra sendirian. San juga sudah mendengar alasan Andra menolak lamaran nya secara langsung, Andra sendiri yang mengatakan hal itu sambil meminta maaf.

"Gue gak akan nyerah buat ngeyakinin lo Ndra, sama kayak lo yang gak nyerah nunggu gue dulu." San mengelus lembut kepala Andra.

"Bunda sama ayah cuma mau lo yang jadi menantu mereka, dan gue cuma mau lo yang jadi pasangan sehidup semati gue." San mengulas senyum tipis saat mengatakan hal itu.

"Gue sayang sama lo Ndra, jangan pernah nyoba buat pergi dari gue." San memejamkan matanya saat mengingat bagaimana Andra meminta maaf padanya tadi.

San sangat bersyukur karena Andra punya sepupu seperti Luthfi, dia tidak perlu khawatir Andra terluka. Karena Luthfi akan menjadi orang pertama yang mengamuk dan akan menghajar siapa pun yang telah membuat Andra sedih atau menangis.

Cklek

San mengalihkan pandangannya pada pintu kamar Luthfi yang terbuka, pemuda itu melihat sang pemilik kamar yang baru saja pulang.

"Andra udah minum obat tadi?" San mengangguk dan mengulas senyum pada Luthfi.

"Lo darimana Fi?" Luthfi yang baru saja melepas jaketnya hanya tersenyum.

"Kencan lah, mau ngapain lagi." San terkekeh pelan.

"Kencan sama siapa kali ini? Joshua?" Luthfi ikut tertawa kecil dan mengangguk.

"Iya, sama si gemoy itu." San mengangguk.

"Ngobrol di bawah aja San, takut Andra kebangun." San kembali mengangguk dan mengikuti Luthfi untuk turun ke lantai satu.

"Fi, apa yang ngebuat lo belum juga maafin Vano?" Luthfi yang baru saja mengambil dua minuman botol dari kulkas hanya menghela nafas panjang.

"Gue udah maafin Vano sebenernya, gue nunggu dia ngomong yang sebenernya dan masalah selesai. Tapi si goblok itu terlalu pengecut buat cerita, malah cuma minta maaf doang tanpa kejelasan." San mengulas senyum tipis.

"Vano takut lo makin marah, makanya di gak cerita." Luthfi menggelengkan kepalanya.

"Tapi sayang nya, tanpa dia cerita pun gue udah tau semuanya. Dengan dia diem gini, masalah gue sama dia gak bakal selesai sih, dan bukan masalah buat gue, gue tinggal cari uke baru." San mendengus kesal.

"Lo mau homoan lembut?" Luthfi justru tertawa.

"Habisnya temen lo itu duh gimana ya, disaat gue udah percaya dan kasih hati gue buat dia, dia malah mau aja di paksa taruhan konyol."
.
.
.
.
.
Vano mendesah kesal saat lagi-lagi dia tidak bisa menemui Luthfi, pekerjaan nya di kantor benar-benar menyita waktunya.

Vano mengusak rambut nya, menatap pantulan dirinya yang terlihat di layar ponselnya. Rambut orange nya membuat dirinya terlihat mencolok, tapi Vano senang karena Luthfi yang melakukan itu.

"Kangen neng bidadari." Vano memejamkan matanya sejenak.

"Kenapa gue harus kejebak disini sih? Kan gue anak seni dulu nya. Tiba-tiba harus ngurusin bisnis pabi gini." Jika saja sejak awal Vano tau kalau sang ayah akan meminta dirinya mengurus perusahaan, Vano pasti sudah mengambil jurusan bisnis saat kuliah.

"Awas aja kalau pabi sama mabi gak bolehin gue nikahin Luthfi, gue bakar ini perusahaan."

Vano sudah mendengar jika Luthfi baik-baik saja, San yang mengatakan itu karena San tengah menginap di rumah Luthfi. Awalnya Vano cemburu, tapi kemudian ingat jika Andra juga tinggal di rumah Luthfi.

Not too lateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang