Bulan dan bintang tampak duduk bersandingan di luasnya langit malam. Semburat kuning yang terpancar karena bantuan surya membuat benda langit ini memamerkan spektrum cahaya keindahan.
Malam yang sunyi dan penuh kabut. Teriakan mahkluk berkaki dua terdengar bersahutan seperti lantunan lagu yang diputar keras-keras.Kaki yang saling berlarian mencari tempat aman. Serta beberapa kepala yang sibuk lalu lalang sambil meneriakkan kata tolong.
Bangunan tua berbentuk castle ini adalah saksi bisu dimana teriakan itu berlangsung. Megah dan kuat, namun siapa sangka jika menelan cerita malam yang begitu pilu.Pesta pertemuan keluarga itu seharusnya berjalan penuh gelak tawa, namun pada akhirnya harus terhenti ketika manusia-manusia tak beradab mulai menodongkan senapan angin diiringi suara pedang yang menembus tubuh-tubuh tak berdaya ini. Berkali -kali benda berbahan besi itu terus menusuk tanpa ampun, darah berlomba-lomba ingin bebas dari empunya.
Bau amis dan anyir menyeruak bebas masuk tanpa permisi ke lubang hidung. Sungguh bikin mual. Sedangkan di bawah kolong sana ada sepasang netra munggil sebiru laut yang sedang menyaksikan bagaimana kejamnya orang-orang biadab ini menghabisi nyawa kedua orang tuanya. Tak jauh dari tempat ia bersembunyi, seorang wanita tua yang terbaring dengan genangan darah yang terus keluar. Mata wanita itu menoleh dimana putra tercintanya sedang meringkuk ketakutan, dan menahan tanggis saat ini.
Ia julurkan tangan rapuh miliknya pada udara yang hampa. Serbuk air mata tak berhenti mengalir melalui wajah pucat miliknya.
‘’Renjun…… anakkku’’lirihnya dengan menahan rasa sakit perlahan merengut kesadaranya.Pangeran kecil bernama Renjun itu memastikan keadaan sekitar, lalu perlahan keluar dari persembunyianya. Ia langsung merengkuh tubuh tak berdaya milik sang ibu. Tak peduli jika kemeja pastel miliknya berubah menjadi merah karena darah. Satu tanganya menumpu kepala milik ibunya dan ia rapatkan kedua tubuh, mereka saling berbagi kehangatan.
‘‘ Mama‘‘ Isaknya . Bagaimana mungkin anak berumur lima tahun ini menyaksikan peristiwa tragis bagai mimpi buruk baginya. Ia tidak tahu, kejadian ini terlalu cepat untuk diingat. Bahkan ia tak sudi untuk mengingatnya.
Tubuh milik Nyonya Raiden itu semakin melemah, deru nafasnya pun memendek. Nyonya Raiden menatap putranya dengan pandangan lembut, tak lupa sungingan senyum terbit di wajah ayunya, seperti ia tak mau jika putranya melihat dengan pandangan yang menyakitkan. Ia bawa tangan kecil itu dan ia tautkan dengan tangan besar miliknya.
‘’Renjun, kau harus hidup hingga kepala milik Endenvour itu menjadi milikmu. Balaskan semua dendam keluarga kita, jangan sampai tersisa’’ Nyonya Raiden mengambil nafas sejenak sebelum hitam merengut sisa waktu.
‘’Jaga castle ini dengan kedua tanganmu, karena sekarang ini milikmu, schatz. Mengerti?‘‘ Setelah kata terakhir terucap, netra cantik wanita paruh baya itu mengelap. Tanganya terkulai lemas, hembusan nafas pun berangsur hilang.
Di dalam kerajaan kecil keluarga Raiden, di malam segelap jelaga Nyonya Raiden menghembuskan nafasnya untuk terakhir kali. Di susul tangis melengking milik Renjun mengema hingga langit-langit bangunan. Anak kecil sebersih malaikat itu memeluk erat jasad ibundanya untuk terakhir kali.
Tak terbendung berapa liter air mata yang ia buang. Dunia kecil miliknya hancur. Puing-puing memori bahagia itu berputar memenuhi otak kecilnya. Terus berputar layaknya kaset rusak. Tidak. Ini adalah hari yang terburuk dalam sejarah hidupnya.
Hari itu keluarga Raiden bagaikan ditelan bumi, seluruh anggota keluarga meregang nyawa dan hanya menyisakan satu putra kecil tanpa dosa ini bertahan hidup dengan tumpukan mayat di mana-mana. Raiden. Mungkin nama itu akan terlupakan seiring berjalanya waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROWENA 👑
Hayran KurguTakdir begitu kejam, ketika membiarkanmu jatuh menjadi Nyonya besar dari lelaki pembunuh keluargamu sendiri. Hidup dalam bayang-bayang Endenvour bukanlah keinginan seorang Renjun Raiden. Melainkan sebuah karma sekaligus petaka baginya. Namun hadirn...