Ruu memegang tongkat pel dengan malas. Harusnya hari ini ia pergi ke Ruang Mading untuk menyerahkan formulir pendaftarannya, tapi karena hukuman dari Pak Adi yang ia terima membuatnya jadi terjebak di lapangan basket indoor sore itu.
Raka berada di sisi lain, mereka sengaja membagi dua bagian mengingat betapa luasnya salah satu lapangan milik sekolah itu, belum lagi dataran kursi penonton berundak yang muat diisi puluhan orang.
Lapangan basket indoor dipilih Pak Adi sebagai hukuman mereka karena mulai minggu depan lapangan itu akan mulai aktif digunakan untuk lomba yang akan berlangsung sebentar lagi—walau anak basket lebih suka menggunakan lapangan outdoor nya, karena dekat dengan koridor utama yang banyak dilewati anak-anak, jadi bisa sekalian pamer eksistensi katanya.
Raka menyisir sisi lapangan dengan tongkat pel sesaat kemudian mendudukkan diri di bangku penonton. Ia meraih ponsel dari saku celananya kemudian memainkannya dengan santai. Cowok itu agak mengernyitkan dahi mendapat laporan dari teman sekelasnya mengenai hal penting yang sedang ia cari.
Sementara itu Ruu di lain sisi masih sibuk kesana kemari menyeret tongkat pel dengan lesu. Gadis itu mendesah, memutar tubuh hendak mengeluh namun ia malah melotot melihat Raka dengan santainya memainkan ponsel sementara dirinya sibuk mengepel.
“ANJIR! HEH BON CABE! NGAPAIN LO DUDUK ENAK-ENAKAN DI SITU? INI GUE KERJA SENDIRIAN JADINYA!” kata Ruu berteriak mengomel.
Raka tak bereaksi, ia masih sibuk dengan layar ponsel yang menampilkan chat panjang dari salah satu teman sekelas yang paling dekat dengannya. Cowok itu bahkan tidak mendengar bagaimana Ruu berteriak kesal memrotesnya.
Ruu yang diabaikan jadi menghentakan kaki ke lantai, cewek itu berjalan cepat menghampiri Raka. Pipi bulatnya menggembung dengan bibir mengerucut merasa kesal, rambut pendek serta poni ratanya jadi bergoyang-goyang seiring dengan langkah cepatnya.
Duagh
“B*NGS*T! APASIH!” sembur Raka begitu saja saat Ruu tanpa dosa menendang tulang kering cowok itu.
“ELO NGAPAIN DARI TADI? YANG DIHUKUM KITA, BUKAN CUMA GUE AJA! BALIK KERJA SEKARANG!” kata cewek itu emosi.
Raka melengos, mendesah panjang kemudian menatap gadis itu tepat. “Elo nggak capek apa teriak mulu kalau ngomong sama gue?” tanya Raka tiba-tiba.
Ruu mengerjap kaget, mengernyit kemudian melipat tangan di depan dada sambil menatap Raka tenang. “Elo nggak capek apa bikin gue emosi tiap ngomong sama lo?” tanyanya balik.
“Dihh, elo nya aja yang sensian. Ngapa malah jadi nyalahin gue,” balas Raka.
Ruu mengepalkan tangan seraya mengangkatnya ke udara, benar-benar tak tahan untuk meninju mulut tebal cowok itu yang tak pernah berhenti membuatnya kesal.
“Gue nggak sensian, tapi lo emang nyebelin banget tahu nggak! Sumpah bahkan Bintang aja kalah nyebelinnya dari elo! Elo tuh-,”
“Tunggu,” potong Raka cepat, ia berdiri membuat Ruu mendongak mengikuti wajah tampan cowok itu yang kini jelas memberikan sedikit ekspresi kaget. “lo bilang apa tadi?” tanyanya kemudian.
Ruu mengerjap, “Apanya? Elo nyebelin, mulut Bon Cabe, nggak punya hati! Kenapa?” tanyanya balik menantang.
Raka mendelik, ia mendengus keras kemudian. Ia memajukan wajah membuat Ruu refleks melotot kecil memundurkan kepala.
“Jangan biasain,” kata cowok itu membuat Ruu mengangkat satu alisnya bingung. “orang bilang benci bisa jadi cinta,” lanjutnya kemudian.
Ruu tersedak ludahnya sendiri, “maksud lo apa?” tanyanya galak.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay
Teen Fiction[Slow Update] [R 13+] Blurb: Ruu datang ke Jogja untuk bertemu kembali dengan teman masa kecilnya. Bintang, si cowok dingin yang irit bicara itu sudah lama ia taksir diam-diam. Kedatangan Ruu sebagai siswa angkatan baru di sekolah Harapan Sakti mem...