.・。.・゜✭・.・✫・゜・。.
Aku melambaikan tangan ketika bertemu dengan segerombolan laki-laki di koridor sekolah. Mereka adalah kakakku beserta teman-temannya, dari seragam yang berantakan dan peluh keringat pasti mereka baru saja main bola di lapangan.
"Kalian darimana?" Tanyaku basa-basi setelah berpas-pasan.
"Main bola sama anak kelas lain."
"Oh.. teman kakak yang biasanya pakai kacamata itu gak ikut ya?" Tanyaku setelah menghitung jumlah mereka dan sepertinya ada yang kurang. Mereka biasa kemana-mana bersebelas seperti tim bola sungguhan. Kadang kalau main ke rumah sampai dimarahin nenek karena terlalu berisik.
"Jumlahnya udah pas 11 ini," jawab salah satu teman kakak yang lain.
Aku mengerutkan kening dan menghitung mereka satu persatu menggunakan jariku, "Kalian bersepuluh..."
Teman-teman kakak langsung saling tatap dengan wajah bingung dan gusar. Seketika kakak menarik tanganku untuk pergi dari sana. Ia membawaku ke lobi sekolah, tempat biasanya anak-anak menaruh sepatu di loker. Kebetulan di sini sudah sepi sehingga kami bisa bicara empat mata.
"Jangan bilang begitu di depan teman-teman kakak. Mereka hanya tahu dalam satu circle ada 12 anak."
Aku menekap mulutku tidak percaya mendegar ucapan kakak, "Jadi salah satu dari kalian ada yang hantu? Jangan-jangan Haruto, dibilangin tidak ada yang namanya Haruto di sekolah ini tapi kalian ngotot."
Kakak mengangguk perlahan. Pasti ada alasan mengapa hantu itu tetap bersama teman-teman kakak dan hanya mereka yang bisa melihat. Yang jelas hantu itu tidak lah jahat. Seandainya aku bisa melihat hantu juga pasti menyenangkan.
Agak aneh, aku yang terlahir di keluarga dukun turun temurun malah jadi satu-satunya yang tidak bisa melihat hantu.
"Aku ada kegiatan sampai malam, kamu pulang saja duluan dan masak makan malam. Pastikan tidak terlalu asin karena darah tinggi nenek kumat tadi pagi."
"Baiklah," aku menuju ke lokerku untuk mengambil sepatu sebelum pulang.
"Oh iya, bawa ini pulang sekalian," kakak memberikan kartu tarot miliknya padaku. Sudah kubilang kan kalau kami dari keluarga dukun jadi kakak punya hobi membacakan kartu tarot untuk orang lain. Apalagi ini kartu pemberian dari orang tua kami yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Aku berjalan pulang, menikmati pemandangan sore dan angin sepoi-sepoi. Sayangnya sudah jalan di pinggir pun tetap saja ada pengendara ugal-ugalan, dia menyerempetku seenaknya dan terus pergi tanpa bilang maaf.
Tiga lembar kartu yang kugenggam terjatuh. Aku berjongkok untuk mengambilnya namun ketika melihat kartu apa saja yang jatuh membuatku menelan ludah. Kartu-kartu ini adalah pertanda buruk. Kebetulan sekali mereka jatuh di saat yang bersamaan. Apa aku akan ketimpa sial?
Terdengar bunyi mesin motor datang lalu dimatikan.
"Ada cewek cantik kebetulan lewat nih.."
Aku mendongak dan melihat laki-laki dalam jumlah besar. Mereka anak geng motor? Bagaimana bisa mereka lewat daerah ini? Benar, ini pertanda buruk sungguhan dan datangnya cepat sekali. Salah satu dari mereka turun dari motor lalu meraih tanganku.
Reflek aku menepis nya tapi membuat mereka tertawa, "Ayolah jangan sok jual mahal.."
"Sok jual mahal apanya!" Aku melempar kartu tarot itu ke wajah pria itu, "Meledak sana kau!"
Ketika fokus pria itu teralihkan, aku langsung berbalik dan berlari namun sepersekian detik berikutnya terjadi ledakan besar di tempat yang sama bahkan tubuhku sampai terpental beberapa meter.
Hari itu di Kobe, 15 orang kena luka berat. Tidak ada yang tahu penyebab ledakan tersebut namun polisi menutup kasus dengan kesimpulan bahwa kecelakaan tersebut disebabkan oleh motor mereka yang overheat hingga meledak.
__________
"Kanemoto-chan!" Teman sebangku ku menepuk pundakku. Aku yang sedang melamun dengan buku yang daritadi hanya kucoret-coret seketika terlonjak kaget, "Kakakmu memanggilmu."
Aku melirik ke arah pintu dan ternyata benar kakak berdiri di sana. Ledakan yang terjadi itu masuk ke portal berita dan tidak jelas penyebab nya apa. Tidak ada saksi sama sekali, bahkan aku yang berada di sana tidak tahu apa yang terjadi. Bodohnya lagi, aku menghilangkan kartu tarot kesayangan kakak sehingga aku terus-terusan menghindari kakak baik di rumah atau di sekolah selama beberapa hari.
Pas sekali bel sekolah berbunyi. Kalau begini, mau tidak mau aku harus pulang bersama kakak.
Aku mengambil tas ku dan berjalan perlahan menuju ke arahnya. Kami jalan bersama dengan hening menyelimuti kami.
"Kenapa kamu ngehindarin kakak?" Tanya kakak setelah kami berjalan cukup jauh dari area sekolah. Dia bahkan langsung bertanya ke intinya.
Aku berhenti melangkah, mengenggam ujung rokku berusaha menahan tangis, "Kartu tarot milik kakak hilang di jalan. Aku tahu itu benda berharga pemberian dari mendiang ayah tapi aku malah menghilangkannya."
Kakak menghela nafas, dia tampak kecewa tapi tidak mau memarahiku.
"Sebenarnya..."
"Kalian mencari ini, Kanemoto bersaudara?" seseorang tiba tiba menceletuk. Kami berdua menoleh dan menemukan seorang pria tinggi berambut putih, ia mengenakan penutup mata hitam dan penampilannya sangat rapi. Kakak yang seakan mengenal orang itu langsung menarikku ke belakang punggungnya.
"Gojo Satoru? Untuk apa kau kesini?"
"Kakak kenal orang aneh ini?" bisikku
"Mengembalikan benda ini ke pemiliknya tentu saja," pria itu menyodorkan kartu tarot kakak tapi ketika kakak hendak meraihnya, ia malah mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kanemoto (Y/n) menyerang 15 anggota geng motor dengan menimbulkan ledakan besar di Kobe. Hal itu terdengar hingga Tokyo meskipun kasusnya sudah ditutup oleh polisi. Residu dari energi terkutuk yang tertinggal setelah ledakan masih tersisa sangat besar, sehingga bisa dipastikan ledakan itu disebabkan oleh shaman. Menyerang manusia biasa dengan energi terkutuk adalah tindakan yang tidak bisa dimaafkan sekalipun itu adalah perlindungan diri."
"Lalu?"
"(Y/n) harus dibawa ke markas Jujutsu. Jika kau menolak maka kami terpaksa menyeretnya."
__________
·̩̩̥͙**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ TBC ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*·̩̩̥͙
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
Fanfiction"Aku harus bicara pakai bahasa apa supaya kak Yuta paham? Sudah kukatakan berulang kali pergilah sendiri," aku menginggit bibir bawahku supaya tidak mengatakan lebih dari ini. Perasaanku terlanjur sudah membesar, "Aku bisa bicara sama panda atau mem...