12 : Death Seal

567 94 12
                                    

・。

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.・。.・゜✭・.・✫・゜・。.

    Aku memasukkan kertas ke dalam amplop. Sebuah surat wasiat yang kutulis dengan tangan gemetar. Air mataku terus berlinangan memikirkan apakah orang-orang yang akan aku tinggalkan baik-baik saja, namun di satu sisi aku juga merasa lega karena aku bisa bertemu orang tuaku di langit sebentar lagi.

  Pintu kamarku diketuk sehingga buru-buru aku menghapus air mataku. Aku berjalan untuk keluar namun akibat tersandung kaki kursi, beberapa kartu tarot yang kupegang jatuh ke lantai. Aku tertawa sinis melihat kartu-kartu itu, semua kartu yang jatuh ini memiliki arti pertanda buruk.

  Pintu kamarku dibuka Kugisaki. Ia sampai menepuk bahuku karena aku tidak menyaut panggilannya.

  "Kartu ini... meramalkan kematian. Akan ada yang mati," aku menoleh kepada Kugisaki, berdiri lalu memberikan amplop tadi padanya, "Berikan ini kepada kakakku, juga beritahu dia bahwa seluruh pin atm atau kata sandi ku adalah tanggal pernikahan orang tua kami."

  "Kenapa kamu yakin bahwa kamu yang akan mati?" Balas nya enteng.

  "Aku yakin... aku ketakutan sekarang. Aku akan terbunuh oleh kekuatanku sendiri."

  Wajah Kugisaki yang tersenyum meremehkan sekarang berubah masam. Dia tahu ramalan tarotku jarang meleset. Kugisaki tiba-tiba menjambak rambutku sehingga aku mengaduh kesakitan. Ia mengambil boneka voodo dari kantung seragamnya kemudian melilitkan rambutku yang rontok ke boneka itu.

  "Kamu mau menyantetku?" Tanyaku.

  "Bodoh. Kamu terhubung denganku sekarang. Jika kamu dalam bahaya aku bisa merasakannya dan akan segera menjemputmu," ia menepuk pundakku dengan alis tertaut kesal, belum lagi perempatan otot yang menunjukkan betapa marahnya dia, "Aku akan membunuhmu jika kamu mati."

  "Bagaimana membunuh orang yang sudah mati?"

Aku berjalan keluar kamar, ternyata Okkotsu sudah menungguku di depan asrama. Kami berjalan menuruni bukit bersama sebelum naik mobil dinas sekolah yang berada di kaki bukit. Okkotsu membukakan pintu mobil untukku namun aku hanya berdiri kaku. Jika aku masuk mobil ini rasanya seperti aku diantarkan menuju ajal ku sendiri.

  Okkotsu menarikku untuk masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil aku hanya duduk diam seraya menggigit ujung bibirku hingga berdarah. Aku tidak pernah setakut ini dalam hidup, meninggalkan orang yang aku cintai.

  "Kanemoto-san, kamu tidak akan bisa keluar." Ujar asisten yang tidak aku kenali menyetir di bangku sopir. Ia seakan bisa membaca pikiranku bahwa aku ingin pergi dari sini.

  Okkotsu menggenggam tanganku, menautkan jemari kami.

  "Setelah misi ini berhasil, jalan-jalan yuk."

  Aku tangan ku yang begitu kecil jika dibandingkan dengan tangan Okkotsu, "Ya, aku ingin pergi ke tempat indah."

__________

Tacenda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang