MENGGAPAI BINTANG

11 1 0
                                    

Bintang 2 :
Taman + Es Krim = Astra

"Astra, tadi saya bertemu kamu di kantin. Tapi kamu tidak mau bertukar pandang dengan saya. Saya menyeramkan, ya?"

Aku terkekeh geli mendengar ucapan Kak Rigel. Sore ini, kami sedang duduk berdua di bangku taman. Pulang sekolah beberapa jam yang lalu aku putuskan untuk menerima ajakan Kak Rigel yang akan membelikan ku es krim di mini market dekat komplek perumahan kami.

Selain pernah menjalin hubungan satu tahun yang lalu. Keluarga kami juga dekat satu sama lain, sehingga wajar rasanya jika kami masih bersama seperti ini. Meskipun kadang terasa menyakitkan bagi ku.

"Iya, Kakak menyeramkan." Goda ku

"Dari segi mananya?"

"Tatapannya? Mungkin."

"Benarkah? Coba lihat mata saya."

Aku menoleh, tepat saat itu, Kak Rigel sudah mengunci manik matanya dengan manik mata ku yang bertubrukan. Tidak, tidak ada yang menyeramkan dari mata cokelat gelap milik Kak Rigel. Matanya terlihat indah.

"Indah, ya?" Tanyanya, namun sengaja tidak ku jawab.

"Mata saya indah karena ada pantulan diri kamu. Benar kan?"

"Kak, jangan buat saya jatuh terlalu dalam. Kakak gak akan bisa menangkap saya."

"Mari kita jatuh bareng-bareng, Astra."

"Enggak mau, jatuh itu sakit."

"Kalau begitu berjalan bersamaan saja."

"Udah pernah kan? Tapi ujungnya gak sejalan."

"Bukan gak sejalan. Tapi kita cuman melepas genggaman."

"Gak pernah ada yang di genggam, Kak. Semuanya hanya angan, semuanya telah terbang, tak tergapai."

"Iya, kayak bintang. Kayak kamu."

🌌🌌🌌


Sinar Bintang : Tak Tergapai

Malam ini, sahabat karib ku sejak kami masih jadi janin datang menginap. Katanya mumpung besok hari Sabtu, sehingga ada waktu senggang untuk bermain bersama mengingat padatnya aktivitas sekolah kita. Kebetulan, kami berada disekolah yang berbeda, jadi agak susah untuk mengatur jadwal temu.

Terlebih, aku ini anaknya memang pendiam sekali. Makanya tidak mempunyai teman dekat, mentok-mentok ngobrol sama Kak Rigel. Jika ada teman sekelas yang berbincang dengan ku, pasti mereka sedang menanyakan mengenai pelajaran.

"Hai, Gemintang!" Sapa Hanifah bersemangat.

"Cepat banget nyampenya. Udah kangen sama gue, ya?" Goda ku, ikut membantu Hanifah memasuki tasnya ke dalam rumah.

"Oiya dong teman ku yang paling lucu ini, ututututu." Belum sempat menaruh tas-tas Hanifah di sofa, si pemilik tas sudah menghujani ku dengan cubitan gemas di pipi.

"Berhenti! Nanti gue jatuh."

Hanifah tertawa. "Dasar kertas."

"Apa maksud?! Lagian lo nginep sehari udah kayak minggat seminggu aja. Rumah gue gak menerima beban keluarga ya mohon maaf."

"Emang macam musuh angry bird sikap lo."

Aku terkekeh geli. Kami memutuskan untuk naik ke atas, tepatnya ke kamar ku yang berada di lantai dua.

"Selamat datang, Hanifah!" Seru ku

Hanifah langsung meloncat ke kasur, memeluk boneka berbentuk bintang yang di belikan Kak Rigel untuk ku. Sengaja ku pajang, takut orangnya protes jika pemberiannya malah di diamkan begitu saja. Lagipula itu berguna untuk bantal tambahan.

"Boneka bintang ini masih aja lo pajang. Gamon kah?"

Aku mengangkat bahu ku acuh. "Gitu deh. Susah kalau ngebahas tentang Kak Rigel."

"Haduh, emang yang inisialnya R itu berbahaya!"

Aku tertawa melihat ekspresi dendam Hanifah. "Punya dendam lo sama orang yang inisialnya R?"

"Iya, si Pak Rudi tuh guru matematika gue. Suka ngadi-ngadi kalau ngasih tugas. Pingin gue sumpel pakai spidol rasanya."

"Nyebut lo, guru sendiri juga. Dasar anak murid durjana."

"Udah deh, pokoknya lupain aja si Kak Rigel itu. Lo harus mulai lembaran hidup yang baru!"

"Kalau lembaran selanjutnya gak pernah ada, gimana?"

"Hush! Omongan lo itu loh."

"Ya kan gak ada yang tau Fah. Barangkali setelah malam ini selesai, cerita di halaman selanjutnya gak pernah ada. Barangkali si tokoh utama sudah mati."

"Lembar kertas lo masih banyak. Kalau kurang nanti gue beliin di toko buku."

"Lawak lo?"

"Nyanyi gue."

"Humor jongkok dasar."

Aku dan Hanifah sempat tertawa bersama. Tapi setelahnya kita terdiam. Pikiran ku kembali melayang ke Kak Rigel, entah kenapa sosoknya memang selalu menjadi topik hangat yang di bicarakan oleh pikiran ku tiap sedang melamun.

"Udah makanya gak usah mikirin Kak Rigel lagii!!" Seru Hanifah, membuyarkan lamunanku.

"Fah, kalau ternyata gue yang gak bisa gapai Kak Rigel gimana?"

"Emang gitu kan? Memang sedari awal kalian adalah bintang di rasi kalian masing-masing."

"Kalau ternyata yang menolak untuk berpisah adalah gue, gimana?"

"Gemintang, gak pernah ada manusia yang siap menghadapi perpisahan mendadak. Dan gue mewajarkan hal itu, gue memaklumi lo yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa lo dan Kak Rigel udah gak bisa bersama. Tapi, lo harus tau kapan waktunya untuk berhenti menggapai bintang. Karena kita semua tau, gak ada untungnya menyesali masa lalu. Dan bintang, terlalu jauh untuk bisa kita genggam."


🌌🌌🌌

Haloww! Selamat hari Senin. Hari Senin kali ini aku habiskan dengan tiduran, soalnya aku udah libur mwehehehe

Kalian udah libur belum??

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang