MELUKIS BINTANG

11 2 0
                                    

Sinar Bintang : Kenangan

"Kak Rigel, tadi di ajakin Vyra buat duet sama saya waktu pensi nanti. Tapi saya ragu Kakak bisa nyanyi." Goda ku

Kak Rigel tertawa. Sore ini, seperti biasa kami berjalan bersama untuk pulang sekolah. Kali ini langit sudah mulai berwarna oranye, matahari hampir tenggelam.

Kalau kalian bertanya mengapa kita selalu pulang berdua, padahal sama-sama ingin melupakan satu sama lain. Itu karena kedua orang tua kami menyuruh kami untuk tetap dekat, dan Kak Rigel di beri tanggung jawab untuk menjaga aku.

"Kamu bukannya sudah terlalu sering mendengar saya nyanyi? Sampai katanya bosan."

"Gak usah ngawur. Sejak kapan Kak Rigel nyanyi di hadapan saya?"

"Ya udah, nanti saya buktikan. Kita duet lagu apa?"

"Semudah itu Kakak terima tawarannya?"

"Memang harusnya enggak ya?"

"Nanti saya mau nyanyi lagu Ghost by Justin Bieber, Kakak tau kan?"

Kak Rigel tersenyum, terlihat tulus. "Lagu kesukaan kamu masih itu?"

"Saya gak pernah suka lagu itu. Saya sukanya lagu...."

Aku menatap Kak Rigel, ia juga balik menatap ku.

"Blue Jeans."

"Ah, iya itu! Kok kakak tau?"

"Saya tau semua hal tentang kamu. Yah, kurang lebih seperti itu."

"Tapi saya enggak??"

"Gak apa-apa, pelan-pelan aja. Kita lukis bintang lagi, ya?"

"Tapi Kak, bukannya kita sudah sepakat untuk saling melupakan?"

🌌🌌🌌

Malam ini, Hanifah menelepon ku. Katanya ingin bercerita tentang keseruannya di sekolah. Aku mengiyakan, meski tubuh rasanya ingin sekali terlelap menjemput mimpi.

"Gemintang! Gue di suruh buat ikut olimpiade matematika. Mana guru pembimbingnya Pak Rudi! Sebenarnya gue agak gak sudi, tapi karena ini sangkut paut sama prestasi, jadi gue terima." Suara Hanifah terdengar begitu nyaring. Sengaja ku setel loud speaker, katanya Kak Rigel ingin ikut mendengar obrolan kita.

Iya, Kak Rigel juga ada di sini sejak pulang sekolah tadi. Katanya malas ke rumah, orang tuanya akan pulang malam lagi nanti. Berhubung kakaknya juga masih di kampus, jadi ia memutuskan untuk main di rumah ku. Padahal rumahnya bersebrangan dengan rumah ku, dasar penakut.

Bahkan ia dengan bebas memakai baju Ayah. Sungguhan, Kak Rigel memang cocok di usir dari sini. Tapi yang ada, nanti Bunda yang memarahi ku karena mengusir TETANGGA kesayangannya. Huh, menyebalkan.

"Bagus dong. Jadi lo gak ada waktu buat rebahan di rumah, buang-buang waktu."

"Yeu, itu mah lo! Gimana hari lo di sekolah?"

"Gue di suruh nyanyi buat penutupan pensi, duet sama Kak Rigel."

"Kak Rigel lagi?? Lo sama mantan lo itu kayaknya emang selalu maksa buat bersama, ya?"

"Bukan maksa, emang udah takdir." Itu bukan suara ku, melainkan Kak Rigel. Lantas dengan lancangnya, Kak Rigel meraih ponsel ku dan memutuskan sambungan telepon.

"Kak, kok di matiin?!" Kesal ku

"Kamu cerita ke saya aja. Saya juga mau mendengarkan kamu bercerita tentang keseharian kamu."

"Kan tiap hari juga saya udah sama Kak Rigel. Berangkat sama Kak Rigel, ngobrol sama Kak Rigel, di recokin Kak Rigel, pulang bareng Kak Rigel, di buat kesal sama Kak Rigel. Semuanya sama Kak Rigel."

"Nah kan, berarti saya benar dong? Kita itu memang sudah takdir, bukan maksa untuk bersama."

"Takdir kadang gak bisa di tebak, Kak. Mungkin sekarang kita masih bersama, tapi gak tau besok."

"Memangnya besok kenapa?"

"Barangkali besok, halaman selanjutnya di buku 'kita' enggak ada."

"Jadi cerita kita selesai tanpa ending yang pasti? Ah, gak seru!"

"Apanya yang gak seru?"

"Kenapa buku kita gak bisa berakhir kayak novel-novel remaja? Atau kisah Romeo dan Juliet yang terkenal melegenda."

"Kak, Romeo dan Juliet itu akhirnya mati. Kak Rigel mau kita mati?"

"Meskipun mati pun kita tetap bersama. Lagipula, kita akan menghadapi kematian juga nantinya."

"Ugh, stop berbicara tentang masa depan yang itu!"

Kami berdua sontak terdiam. Kak Rigel menatap ku intens. Sontak mata ku memperhatikan tiap inci wajah Kak Rigel. Mukanya benar-benar menyiratkan bahwa dia lelaki polos yang lembut, apalagi ratapan yang tenang. Seolah samudra, aku seperti tenggelam di manik mata cokelat gelap miliknya.

"Astra, jika saya pergi nanti. Apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku menatap Kak Rigel dengan heran.

"Yang jelas, saya tidak akan memohon agar Kak Rigel tetap tinggal."

"Kenapa begitu? Bukannya merelakan kepergian itu sulit?"

"Ya, memang sulit. Tapi lebih sulit untuk menetap, padahal sebenarnya Kak Rigel tidak mau."

Kak Rigel tersenyum. Bukan senyuman yang sama seperti yang ia perlihatkan tadi.

"Jika kamu yang pergi, saya akan membuat kita mengenang masa lalu agar kamu kembali mencintai saya."

Aku melongo. "Kenapa tidak buat kenangan yang baru saja? Kak Rigel tau sendiri, yang sudah terjadi, memang tidak enak jika di bahas ulang."

"Menurut kamu, kenapa suatu peristiwa di kenang? Kita ambil contoh, bangsa Indonesia yang di jajah oleh bangsa asing yang sejarahnya masih di bahas sampai sekarang. Termasuk kebangkitan nasional, sumpah pemuda, Budi Utomo, proklamasi, dan lain-lain."

"Agar penerus bangsa kita menanamkan sikap nasionalisme dan rela berkorban. Serta paham pentingnya pendidikan dan persatuan serta kesatuan. Benar kan?"

"Itu jawaban yang benar, tapi saya bukan guru sejarah. Jadi bukan itu jawaban yang saya minta."

"Lalu jawabannya apa?"

"Karena mempunyai makna yang mendalam, Astra. Sebuah peristiwa akan di kenang karena berarti bagi kita, jika tidak, maka sudah pasti akan di lupakan begitu saja. Kalau mengenang, dan isi kenangan itu begitu berarti, maka akan menyentuh hati kan? Maka dari itu, saya lebih memilih mengenang,"

"Baru setelah itu, ketika luka sudah mulai berganti dengan tawa. Ijinkan saya melukis kenangan bersama kamu. Boleh?"

Persetan dengan kupu-kupu. Aku merasa seluruh hewan di kebun binatang berada di perut ku.

"Astra, jika saya pergi nanti, percayalah bahwa saya selalu ada di dekat kamu. Saya akan selalu menjadi bintang yang bersinar dari kejauhan. Jadi, pastikan kamu juga bersinar, ya?"

🌌🌌🌌

Selamat pagi duniaaa! Selamat bertemu kembali dengan Kak Rigel dan Astra-nya

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang