BINTANG YANG MELEDAK

10 1 0
                                    

Sinar Bintang : Meledak

Aku berjalan berdampingan dengan Bunda. Kami melangkah menuju ruang ICU. Bunda mengikuti langkah ku dengan ragu, sesekali menatap ku penuh pilu. Sesampainya di ruangan itu, lewat kaca yang besar, aku melihat sosok laki-laki yang setahun belakangan ini tertidur pulas.

Hari ini dia masih sama, masih memejamkan mata, masih bermimpi. Namun anehnya, parasnya selalu tampan meski dengan wajah pucat pasi. Ia terlihat lelah meski hanya berbaring untuk tidur.

Aku menatap lelaki yang bertubuh jangkung itu penuh harap. Barangkali hari ini ada keajaiban, ada harapan bagi Kak Rigel untuk bangun dan kembali menjalani hidup. Kembali bertemu dengan Astra-nya.

"Eh, ada Gemintang? Apa kabar sayang?" Tante Erin, Mama Kak Rigel yang super duper ramah membawa ku ke pelukannya yang hangat. Bunda ikut bersalaman dengan Tante Erin. Mereka memang sudah menjadi teman dekat sejak SMA.

"Lumayan, Tan." Jawab ku seraya mengulas senyum tipis.

Ku lihat wajah Tante Erin yang tak lagi terurus, rambutnya di ikat acak-acakan. Padahal dulu, Tante Erin adalah seorang wanita karir yang sangat memperhatikan penampilan. Tubuh rampingnya yang selalu terlihat rapi dengan blouse dan rok selutut, sekarang terlihat kurus dengan memakai baju seadanya. Rambutnya yang setiap akhir pekan dua kali dalam sebulan selalu di bawa ke salon, mencuat tidak beraturan. Wajahnya yang selalu terlihat segar kini memancarkan kelelahan.

Aku menatap Tante Erin iba. Sungguh besar perjuangan ibu menjaga anaknya yang sedang kritis, dan bisa di panggil Tuhan kapan saja.

"Tan, Kak Rigel belum bangun?" Tanya ku

"Belum. Mau coba kamu bangunin?" Tante Erin mengusap lengan ku lembut. Ada sorot kesenduan di balik mata cokelat gelap miliknya yang persis sama seperti milik Kak Rigel.

Aku terdiam sejenak. "Kalau Kak Rigel masih belum bangun?"

"Kita biarkan dia tidur aja, ya? Gak apa-apa kan? Barangkali mimpinya begitu indah, sampai Rigel enggan meninggalkan ranjang untuk kembali berjuang. Mungkin di sana Rigel baik-baik saja. Atau, bisa jadi dia memang benar-benar lelah sehingga butuh istirahat lebih." Bunda menyahut

"Gemintang..." Tenggorokan ku tercekat. Mata ku kembali melirik tubuh Kak Rigel yang terkulai di brankar rumah sakit sejak satu tahun yang lalu.

Satu tahun yang lalu, aku putus dengan Kak Rigel. Kak Rigel punya riwayat penyakit gagal ginjal. Dia memilih untuk mengakhiri hubungan kami dan melakukan perawatan. Dan aku justru membencinya tanpa tau bahwa ia sedang berjuang agar tetap hidup.

Satu tahun terlalui, tubuh Kak Rigel jadi sering drop. Beberapa kali elektrokardiogram yang menampilkan detak jantung Kak Rigel berhenti. Mungkin, Kak Rigel memang sudah menentukan pilihannya. Yaitu menyerah.

"Gemintang... akan coba bangunin Kak Rigel." Lanjut ku

Aku melangkah masuk dengan ragu. Ku pandang tubuh Kak Rigel yang di pakaikan banyak alat medis sebagai penopang hidupnya. Bunyi denyut jantung yang terpampang jelas di EKG beberapa kali membuat ku meringis. Takut ketika aku sedang berdiri di sebelah Kak Rigel, berbicara dengannya, alat itu malah berhenti berbunyi.

"Hai, Kak Rigel." Sapa ku ragu

"Kak, Gemintang udah dengerin banyak lagu-lagu sedih. Tapi bunyi elektrokardiogram masih menjadi lagu yang paling menyedihkan,"

"Karena jika lagu itu selesai berbunyi, tidak lagi mengeluarkan suara dan nada yang terdengar mencekam. Maka, saya juga akan kehilangan orang yang saya sayang."

Tangan ku bergerak menggenggam tangan dingin milik Kak Rigel. Biasanya tangan Kak Rigel hangat, tidak sedingin sekarang.

"Kakak, tuh, kayak bintang. Penuh kenangan. Tidak tergapai. Menggantung bebas di langit-langit malam. Setiap saya mencoba untuk menggenggam Kak Rigel, saya hanya mendapatkan angan."

Aku mengangkat pandangan ku, terarah pada wajah pucat milik Kak Rigel yang sedang tertidur damai. Tangan ku membelai rambut tebalnya yang mulai memanjang.

"Kak, selama setahun ini, saya habiskan dengan mengenang segala kenangan yang pernah kita lakukan berdua. Saya buka bintang dalam stoples yang pernah Kak Rigel kasih waktu kita masih bersama, saya baca dan saya ingat dengan jelas segala memori yang ada. Karena kata Kakak, mengenang adalah salah satu cara untuk mengikhlaskan kepergian,"

"Jadi, saya rela kalau Kak Rigel mau pergi. Karena saya sendiri pun tidak mampu menahan Kakak lebih lama di sini. Terlalu menyakitkan, kan Kak? Terlalu pedih untuk berjuang kan?"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha untuk tetap tenang, agar air mata yang menggenang tidak meluncur jatuh membasahi pipi.

"Maka dari itu, tidur yang nyenyak Kak. Istirahatkan tubuh kakak yang selama ini udah berjuang. Selamat tidur, Kak Rigel."

Tubuh Kak Rigel kejang. Aku mundur beberapa langkah, brankar bahkan sampai bergoyang. Dokter dan suster segera berdatangan, berusaha sekuat mungkin agar Kak Rigel masih bisa bernapas.

Detik selanjutnya, bunyi elektrokardiogram berdengung nyaring di telinga. Menggambarkan garis lurus yang damai.

Tiiiiiiittt

Tangis ku pecah kala dokter menggelengkan kepala. Pertahanan ku untuk tidak kembali terisak di hadapan Kak Rigel, hancur begitu saja.

"Waktu satu tahun udah lebih dari cukup bagi Rigel untuk memikirkan pilihannya. Dia, memilih untuk menyerah." Tante Erin datang merangkul ku, ia mendekap ku hangat.

Kak, lagunya berhenti.

Kak, bisa biarkan lagunya berbunyi lebih lama?

Kak Rigel, selamat tidur.

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang