BINTANG PENUH KENANGAN

6 0 0
                                    

Bintang 4 :
Jalan-jalan

Di Minggu pagi yang cerah, aku baru saja habis berlari mengelilingi komplek rumah. Kata Bunda, aku harus rajin meskipun di hari libur.

Di perjalanan pulang, aku menoleh ke arah rumah Kak Rigel yang tampak tenang. Tidak lama kemudian, keluar Kak Rigel dengan sekantung plastik sampah besar berwarna hitam.

"Astra! Habis dari mana pagi-pagi begini?" Tanyanya ramah, tampak ceria dengan senyuman yang merekah.

"Lari pagi. Kak Rigel sendiri? Pagi-pagi udah rajin aja buang sampah."

"Biasa, di suruh ibu negara. Harus rajin meskipun hari libur."

Aku mengangguk kecil, diam-diam merasakan hal yang sama seperti Kak Rigel. Kami terdiam cukup lama, memandang satu sama lain dari jarak yang berbeda.

"Saya boleh ajak kamu pergi?" Tanya Kak Rigel, terdengar ragu.

"Boleh. Ijin aja sama Bunda."

Detik berikutnya, dia kembali tersenyum.

"Nanti jam 4 sore, saya datang ke rumah. Harus udah siap, ya? Saya bakal ijin ke Bunda kamu."

Dengan cepat, Kak Rigel memasuki rumah. Aku melihat jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan ku, pemberian Kak Rigel. Sudah jam 9?? Ah, aku harus siap-siap dengan cepat sekarang. Kalian tau sendiri, perempuan kalau siap-siap, waktu satu jam pun tidak cukup.

🌌🌌🌌


"Astra,"

Aku menoleh ke arah Kak Rigel yang asik menendangi batu kerikil. Kini kami sedang duduk bersebelahan di bawah rindangnya pohon.

"Menurut kamu, apa yang lebih indah dari bintang?" Tanyanya

Aku berpikir sejenak. "Bulan?"

"Kenapa bulan?"

"Karena... Bulan itu indah di lihat dari jarak jauh sekalipun."

"Tapi bulan tidak dapat bersinar sendiri seperti bintang. Cahayanya di dapat dari pantulan sinar mentari."

"Lalu kenapa?"

"Hm?" Kak Rigel mengalihkan pandangannya ke arah ku. Kakinya berhenti menendangi batu-batu kecil.

"Memangnya kenapa kalau bulan tidak dapat bersinar sendiri? Memangnya kenapa kalau bulan tidak seperti bintang?"

Kak Rigel tertawa gemas. "Bulan itu sama indahnya seperti bintang kok. Dia cukup indah dengan senyum sabitnya yang menawan. Dia cukup indah dengan sifat pemalunya yang mengumpat di balik awan. Bulan indah dengan sinarnya di langit malam,"

"Tapi bagi saya, bintang tetap yang terindah." Lanjutnya

"Kenapa dengan bintang? Apa yang membuatnya indah? Dia hanya bisa bersinar dengan setitik cahaya. Payah."

Kak Rigel mendengus lucu. "Hei, kamu sedang menyindir diri kamu sendiri, ya?"

"Iya, saya memang payah."

"Saya juga bintang, kita semua bintang. Nenek saya dulu pernah bilang, kalau manusia yang sudah meninggal, nantinya akan menjadi bintang. Tapi saya tidak percaya. Setelah bertemu dengan kamu, saya jadi paham kalau mereka yang sudah tiada benar-benar menjadi bintang."

"Kenapa begitu?"

"Karena tiap manusia itu punya kenangan. Sama seperti bintang. Maksud saya, mereka bukan benar-benar menjadi bintang. Hanya saja, bintang menyimpan banyak kenangan tentang mereka. Jadi kalau suatu hari nanti salah satu dari kita saling meninggalkan, cukup lihat ke bintang untuk mengenangnya."

"Kak, mengenang sesuatu itu menyakitkan jika orangnya sudah tiada."

"Bagi saya tidak. Mengenang itu, salah satu bagian dari mengikhlaskan. Melepaskan yang sudah-sudah. Dari mengenang saya sadar bahwa ada beberapa momen yang gak bisa kita lalui bersama lagi. Ada beberapa kebersamaan yang harus di ikhlaskan. Ada beberapa tawa yang hanya bisa di bayangkan kehadirannya."

"Lalu kak Rigel ingin saya kenang, begitu? Seperti pahlawan saja. Lagipula Kak Rigel gak akan pergi kemana-mana."

"Saya akan pergi, Astra."

"Pergi kemana?"

"Ayo kawan kita bersama, naik delman atau onta. Kita ramai-ramai~ pergi ke bulan!" Kak Rigel tiba-tiba saja bersenandung lirik lagu dari grup Cherrybelle

"Gak lucu Kak!!" Kesal ku yang berhasil membuat Kak Rigel tertawa.

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang