EPILOG

13 2 0
                                    

Apa hal yang sangat menyakitkan?

Di tinggalkan dengan orang yang kita cintai.

Selain itu?

Melihat cahaya bintang yang mulai rapuh.

Apa yang lebih pedih dari cahaya bintang yang mulai rapuh?

Matinya bintang di langit. Tapi tidak ada satupun orang yang tau dan sadar akan hal itu.

Apa yang di lakukan bintang ketika malam datang?

Bersinar dengan terang. Tapi tidak dengan ku. Aku bintang yang gagal.

Aku, adalah bintang yang cahayanya kalah dengan gemerlap lampu kota.

Aku, adalah bintang yang mati di antara bintang-bintang lainnya. Tapi manusia tidak tahu menahu akan hal itu. Dan parahnya, mereka memang tidak mau tahu.

🌌🌌🌌

Sinar Bintang : Akhir dari cahaya

Aku menatap nanar ke gundukan tanah serta batu nisan yang terukir nama Kak Rigel di atasnya. Ada rasa sesak menyeruak di dada kala aku tau wajah rupawannya tak lagi dapat kita semua lihat. Sorot teduh tatapannya tidak lagi dapat kita lihat, merasakan kehangatan hanya dari manik mata cokelat gelap miliknya kini hanya bisa kita bayangkan.

"Padahal waktu di rumah sakit saya bilang saya rela kalau Kak Rigel pergi. Saya ikhlas kalau Kak Rigel memilih untuk tetap tertidur. Tapi nyatanya tetap terasa sesak, Kak."

Aku terdiam sejenak. Mata ku mulai memanas.

"Udah banyak kepergian yang saya lewati, kak. Mengikhlaskan masih menjadi musuh terbesar dalam menghadapi perpisahan."

Air mata kembali membasahi pipi ku. Mata ku sudah kelewat bengkak, tapi rasanya air mata belum juga bisa surut.

"Kak, yang tidak bisa tergapai itu Kakak."

"Yang terbang terlalu jauh itu Kakak."

"Ternyata memang benar kata Hanifah. Kak Rigel dan saya memang bintang di rasinya masing-masing. Kita emang gak pernah bisa untuk bersama. Konyolnya kita tetap melawan garis takdir yang ada. Seolah-olah meremehkan Tuhan yang lebih tau segalanya daripada kita. Kita naif banget, ya?"

Aku menghela nafas lelah. Pikiran ku terlalu berkelit, bergumpal seperti benang kusut yang aku sendiri tidak tahu harus meluruskannya seperti apa.

"Kak, di sana enak gak sih? Saya juga mau terbang. Mau menggapai bintang. Tapi saya gak mau meninggalkan Bunda. Gak mau menambah luka bunda. Bunda udah cukup menderita dengan kepergian Ayah dan Abang yang terlalu mendadak. Saya percaya, bahkan sampai sekarang pun, luka di hati bunda masih belum sembuh. Karena saya sendiri pun begitu."

Netra ku menangkap batu nisan milik Kak Rigel. Seolah Kak Rigel dengan manik mata cokelatnya lah yang sedang aku tatap. "Biarlah cahaya saya meredup sekarang. Tapi saya tidak ingin meledak lebih dulu. Saya belum siap menjadi serpihan."

"Bagi saya, kisah kita lebih pedih dari Romeo dan Juliet yang kakak bilang melegenda. Mereka berdua tidak saling meninggalkan, Juliet tidak merasakan sakitnya kehilangan. Tapi saya?.."

Aku terdiam, meyakinkan diri untuk mengucap kalimat selanjutnya. Mengusap aliran air mata di pipi.

"Kakak curang, bintang di dalam stoples milik Kakak masih banyak. Tapi sinar bintang milik saya mulai meredup. Kak Rigel itu sinar bintang terakhir yang saya punya, tapi sekarang cahaya Kakak berhenti bersinar. Akhir dari cahaya memang harus di pertemukan dengan kematian ya, Kak?"

Aku menatap ke arah Bunda yang setia menunggu anaknya berduka. Kembali teringat bahwa jadwal bunda padat, aku memutuskan untuk pamit pulang.

"Kak, Astra pamit pulang, ya? Terima kasih sudah pernah bermimpi."

"Selamat tidur, Kak Rigel. Saya harap, kakak bisa menepati janji kakak untuk tetap berada di dekat saya, dan bersinar dari kejauhan. Saya juga akan bersinar kak. Jadi, tunggu saya di sana, ya?"

Aku melangkahkan kakiku, menjauhi makam Kak Rigel. Bunda tersenyum ke arah ku, kami berjalan menuju mobil bersama. Memilih untuk segera pulang agar dapat beristirahat.

"Gemintang, sebanyak apapun kamu bertemu dengan orang nantinya. Pada akhirnya akan selalu ada perpisahan. Akan selalu ada kepergian. Jadi, jaga bahu kamu agar tetap tegar, ya?" Ujar bunda, menatap ku lembut.

Aku mengangguk. "Bahu Gemintang akan selalu tegap. Semoga."

Ternyata benar kata orang-orang, kematian adalah perpisahan yang paling menyakitkan.

Pada akhirnya, bintang akan bersinar sendirian di gelapnya langit malam. Tanpa teman, bersembunyi di balik sinar milik bulan.

Yah, setidaknya, aku tetap bersinar meski semu.

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang