REDUPNYA BINTANG

5 0 0
                                    

Sinar Bintang : Redup

Bintang-bintang mulai bergantungan di langit malam. Bulan ikut bersinar terang. Aku diam-diam tersenyum kecil. Entah mengapa, bayangan Kak Rigel justru terlihat dengan jelas di antara gemintang. Bunda tiba-tiba datang membuka pintu kamar. Di tangannya ada nampan berisi dua gelas susu cokelat hangat berserta cookies. Jika begini, sudah pasti bunda akan lama di kamar. Menghabiskan waktu dengan aku.

"Hai, Gemintang yang sedang lihat bintang." Sapa Bunda dengan senyumnya.

"Hai Bunda!" Sapa ku

"Jadi, bagaimana kabar bintang kita yang bersinar ini? Sudah lebih baik?" Bunda menyodorkan ku segelas susu cokelat yang masih hangat.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, sambil tangan ku meraih segelas susu yang di sodorkan bunda.

Bunda mengelus Surai hitam ku lembut. "Anak bunda sudah besar. Sudah bisa berdiri sendiri. Dulu sewaktu kamu kecil, Ayah, Bunda, sama Abang susah sekali mengajari kamu berjalan. Kamu dulu sukanya duduk terus, kalau enggak guling-guling di kasur sampai pernah jatuh. Nanti kalau sudah begitu, Nenek yang heboh teleponin tukang urut."

Aku dan bunda tertawa, ada secuil kesenduan yang terlihat di manik mata bunda.

"Bunda, kira-kira semua keluarga kita yang udah tiada, ketemuan lagi gak di sana?" Tanya ku

Bunda tersenyum lembut. "Tentu. Pasti mereka bertemu."

Kami berdua terdiam. Aku menyesap susu cokelat ku yang mulai menghangat.

"Gemintang,"

Aku menoleh ke arah bunda.

"Gemintang paham kan, kalau gak ada yang abadi di dunia ini?"

Aku mengangguk.

"Jadi, Gemintang paham bagaimana menyikapi kepergian?"

Aku terdiam. "Memangnya bagaimana Bun?"

"Dengan mengikhlaskan."

"Bunda udah mengikhlaskan kepergian Nenek, Kakek, Ayah, dan Abang?"

Kali ini bunda yang terdiam. Dia tersenyum tipis.

"Mau gak mau, bunda harus mengikhlaskan kepergian mereka, Gemintang. Sudah cukup bunda menangis ketika mereka pergi. Jika bunda berduka dalam jangka waktu yang lama, pasti mereka juga akan bersedih di atas sana. Jadi lebih baik kita relakan kepergian mereka, lalu kita doakan agar mereka di berikan tempat terbaik di sana."

"Gemintang belum cukup menangis bunda," ucap ku, menatap mata bunda yang terlihat lelah. "Gemintang masih perlu waktu untuk bersedih. Kak Rigel pernah bilang, setiap manusia itu butuh ruang untuk berduka. Gemintang bisa mendapatkan ruang itu kan, bunda?"

Bunda menyisipkan rambutku ke telinga. "Tentu Gemintang dapat berduka. Gemintang boleh menangis sekeras yang Gemintang mau. Tapi jangan terlalu lama. Bunda yakin, Kak Rigel gak bakalan senang kalau melihat Gemintang yang terus mengeluarkan tangis."

Aku menunduk. "Gemintang udah banyak menghadapi perpisahan. Kakek, Nenek, Ayah, Abang, semua kepergian mereka Gemintang yang menghantarkan. Gemintang cuman punya bunda. Bunda selalu pulang malam, bunda gak pernah ngajak Gemintang untuk nangis bareng. Bunda selalu nangis sendirian di kamar, di temani gema Isak tangis yang terdengar menyakitkan,"

Mata ku kembali menatap ke arah langit malam. Menerawang bintang-bintang. "Gemintang tau waktu itu bunda frustasi, bunda mau mengakhiri hidup bunda. Tapi bunda paham kalau masih ada Gemintang, masih ada tanggung jawab yang gak boleh bunda tinggalin gitu aja. Gemintang berterima kasih sama bunda yang masih memperhatikan keadaan Gemintang. Gemintang akui, bunda hebat sekali. Bunda bisa menjadi ibu sekaligus ayah buat Gemintang. Tapi, Gemintang juga mau nangis bareng bunda. Gemintang gak pernah mau nangis di hadapan bunda, gak pernah mau ngeluh di hadapan bunda, itu semua karena Gemintang gak mau nambahin beban bunda dengan ngadu ke bunda. Gemintang pikir, Gemintang cukup kuat menghadapinya sendirian,"

"Sampai akhirnya ketika Gemintang udah benar-benar capek nahan semuanya, Gemintang ketemu sama Kak Rigel." Pandangan ku beralih menatap rumah depan yang terlihat sunyi, dengan lampu temaram yang menerangi halaman rumah itu.

"Kak Rigel udah jadi kayak Ayah sekaligus Abang bagi Gemintang. Dia bisa menampung segala suka dan duka yang Gemintang ceritakan. Dia bisa menenangkan Gemintang lewat tatapan teduhnya yang penuh ketulusan. Bahkan kalau bunda lagi sibuk, Kak Rigel jadi megang tiga peran. Ayah, bunda, dan Abang. Ayah, sebagai pemberi saran dan motivasi terbaik yang pernah ada di dunia. Bunda, sebagai penenang di kala Gemintang lagi gelisah, sekaligus koki dengan masakan terenak yang pernah ada. Dan Abang, sebagai teman main yang kadang jahilnya minta ampun, tapi selalu berhasil membuat tawa pecah. Itu semua bisa Kak Rigel lakuin. Tanpa sadar, Gemintang menemukan semua sosok yang Gemintang perlukan di Kak Rigel."

"Tapi bunda, orang yang istimewa lagi-lagi di ambil dari kehidupan Gemintang."

Bunda mendekap ku, menyalurkan kehangatan sekaligus menenangkan diri ku.

"Gak apa-apa Gemintang, semua akan baik-baik saja. Kamu kan jago dalam mengikhlaskan, iya kan?"

Aku terdiam, tidak menjawab pertanyaan Bunda yang bagi ku berisi bualan. Sejak kapan seorang Gemintang Reswara bisa tegar menghadapi perpisahan? Sejak kapan aku bisa merelakan kepergian semudah membalikkan tangan?

"Bunda," Panggil ku dengan suara gemetar. Kalah telak dengan air mata yang kini membuat anak sungai.

"Iya, kenapa sayang?"

Aku memejamkan mata ku. Sesak kembali menyeruak. Tangis yang sudah lama ku tampung, kini telah rampung. Tidak lagi bisa terbendung.

"Kapan Kak Rigel akan pergi?"

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang