MELEPASKAN BINTANG

16 1 0
                                    

Bintang 1 :
Pohon belakang sekolah + bintang = Rigel

Pohon rindang yang berada di belakang sekolah, adalah satu-satunya tempat aku bisa berteduh dan menjernihkan pikiran dari mata pelajaran sejarah yang menyebalkan. Sialnya, di jam istirahat seperti ini aku masih harus mengerjakan tugas sejarah.

Sebenarnya ini adalah pekerjaan rumah yang di berikan oleh guru kami, tapi aku paling malas membawa tugas ke rumah. Ayolah! Rumah itu tempat untuk istirahat, melepas penat. Bukan malah terus-terusan mengerjakan tugas!

"Harusnya aku membawa ponsel ku untuk mencari jawaban ini di internet." Oceh ku, merasa kesal karena soal kali ini lumayan susah.

Ralat, soalnya gampang, tapi jawabannya susah.

Sedang asik menggerutu sendiri, tiba-tiba saja muncul suara-suara aneh yang aku tidak tahu berasal dari mana. Jangan-jangan benar kata teman-teman ku, bahwa pohon di belakang sekolah kami ada penunggunya! Sialan, bisa habis aku tidak bisa tidur nanti malam. Terlebih, bagaimana jika hantu itu mengikuti ku sampai rumah karena terganggu dengan omelan ku?! Sepulang sekolah nanti aku akan meminta Mama mendatangi Pak Ustad!

Gubrak!

Sibuk dengan pemikiran seram ku, tiba-tiba saja seorang laki-laki sudah terduduk di samping ku. Sontak, aku berteriak kaget.

"WAAAAAA!! HANTUU!!" Pekik ku, bukannya lari aku malah menutupi wajah ku dengan buku.

Laki-laki itu malah meringis. "Shut! Gak ada hantu di sini. Saya... Jatuh dari pohon."

Aku memberanikan diri melihat lelaki itu. Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan orang ini. Memakai jaket berwarna hijau tua, kacamata yang bertengger di hidungnya yang mancung, kulit putih bersih, rambut dan seragam yang tertata rapi. Ini... Kak Rigel?!

Tanpa sadar aku tertawa. Kak Rigel, sosok yang di kagumi oleh seluruh perempuan disekolah ini, jatuh dari pohon??

"Apanya yang lucu sih?" Tanyanya, mukanya merah padam dengan ringisan kecil yang keluar dari bibirnya.

"Kakak." Jawab ku

"Saya?"

"Muka Kakak merah banget. Pasti sakit, ya? Ke UKS sana."

"Manusia mana sih yang jatuh dari pohon tapi gak ngerasain sakit?"

Aku lagi-lagi tertawa. "Maaf Kak. Kakak namanya Rigel kan? Cowok yang kalau lewat di koridor langsung dapat semua atensi dari para perempuan."

Kak Rigel mengangguk samar, ia sudah tidak lagi meringis sakit. "Kalau kamu?"

"Saya.... Panggil aja bintang kak."

"Karena nama kamu artinya bintang?"

"Kok kakak tau?!"

"Yaa, tau aja. Kamu Astra kan? Anak kelas 11 IPA 2 yang selalu berhasil dapat lima besar. Pernah menang dalam perlombaan olimpiade beberapa kali di SMP, suka baca buku, selalu ngedumel kalau di kasih pekerjaan rumah sama guru. Habis itu, malah kamu kerjain di sini. Soalnya malas buat belajar di rumah. Ikut ekstrakurikuler band karena mau belajar main keyboard, soalnya punya cita-cita dapat cowok yang bisa main piano. Barangkali di ekskul itu bisa ketemu, tapi ternyata gak ada yang sesuai kriteria."

Aku melongo mendengar ucapan Kak Rigel yang 1000% valid.

"Gimana kakak bisa tau?"

"Karena saya cari tau. Saya bukan cenayang yang bisa baca pikiran orang, yang bisa ramal kehidupan kamu, yang bisa tau segala hal tentang kamu."

Aku mengangguk kaku. Bingung harus merespon bagaimana.

"Kalau kamu, apa yang kamu ketahui tentang saya?"

Aku mengerjap bingung. "Yang saya tau, Kakak itu bernama Rigel. Dan saya rasa Kakak juga mengetahui bahwa Rigel adalah nama bintang yang terbesar, bintang itu bersinar dengan terang. Persis seperti Kakak."

"Penjelasan yang bagus. Tapi bukan jawaban itu yang saya harapkan. Sudahlah, lupakan pertanyaan saya yang tadi. Kamu butuh bantuan?"

Bukannya menjawab aku malah bertanya balik. Enggan mengakhiri pembicaraan, karena entah mengapa Kak Rigel justru terlihat kecewa.

"Kakak suka bintang?"

"Hm.. suka. Kalau kamu? Suka bintang?"

"Gak terlalu."

"Kenapa? Arti nama kamu kan bintang."

"Karena bintang itu berisi masa lalu. Sinar bintang itu adalah pancaran masa lampau, jadi kalau kita lihat bintang, maka kita sedang melihat masa lalu. Tapi saya akui, bintang itu indah. Dia berani berjuang, namun juga berani melepaskan."

"Maksud dari ucapan terakhir kamu?"

"Kak, bintang itu butuh jutaan tahun lamanya agar sinarnya sampai ke bumi kan? Maka dari itu, saya bilang bahwa bintang berani berjuang. Namun nanti, ketika bintang mulai rapuh, ia meledak menjadi serpihan. Makanya saya bilang bintang berani melepaskan."

"Berarti saya bintang yang pengecut, ya?"

"Gimana kak?"

"Saya bukan bintang yang bisa melepaskan. Tapi setau saya, setelah bintang meledak, serpihannya akan kembali membentuk bintang yang baru."

"Tapi kak, butuh waktu yang lama untuk menjadi bintang yang sempurna. Butuh waktu yang lama agar sinarnya mampu sampai ke bumi. Belum lagi, jika nanti pancaran cahayanya kalah dengan gemerlap lampu kota."

"Gak harus sempurna untuk menjadi bintang, Astra."

Aku menunduk. Astra, nama itu menyebalkan. Aku tidak suka di panggil dengan nama Astra.

"Seharusnya kita bisa bahagia Astra."

"Kak, bahagia itu untuk orang-orang yang paham bahwa ia memang berhak mendapatkan tawa. Dan saya tidak termasuk."

Kak Rigel menyandarkan punggungnya di batang pohon. Terlihat frustasi dengan obrolan yang tercipta di antara kita.

"Harusnya kamu paham bahwa kamu berhak untuk bahagia. Susah jika harus menjadi sempurna Astra. Seperti bintang yang di masukkan ke dalam stoples. Tidak bebas."

"Memangnya bintang bisa di masukkan ke dalam stoples?"

"Itu sebuah perumpamaan Astra. Seperti kupu-kupu, tapi saya ganti dengan bintang. Karena kamu bintangnya."

"Iya kak, saya memang bintang. Tapi saya bukan bintang yang di pikirkan orang-orang."

"Lalu kamu bintang yang seperti apa?"

"Bintang yang cahayanya kalah dengan sinar lampu kota."

"Lampu kota itu hanya bisa menyinari sebuah kota. Tapi bintang bisa menyinari satu pulau. Jika kamu mau, saya bisa membimbing kamu menjadi bintang yang akan bersinar terang. Mengalahkan lampu kota. Saya akan selalu berdiri di sebelah kamu. Dan akan menemani kamu."

"Kak, bersanding dengan kakak seperti menggapai bintang. Enggak akan pernah bisa."

"Ya, menggapai bintang memang sulit. Kamu tergapai oleh saya Astra, tapi tidak pernah bisa saya genggam. Kamu harus tau, bahwa itu lebih menyakitkan dari bintang yang cahayanya mulai pudar."

Kak Rigel beranjak pergi, ia lebih dulu memasuki bangunan sekolah. Aku hanya bisa diam menatap punggung tegapnya yang perlahan menghilang tertelan jarak.

"Kak, membicarakan bintang gak akan pernah ada habisnya. Sama seperti masa lalu." Ujar ku



🌌🌌🌌

Holaaa!! Selamat hari Minggu!
Hari libur gini kalian di rumah aja, atau udah di perjalanan mudik nih?

Semoga Rigel dan Astra bisa menemani hari kaliann!!

BINTANG DALAM STOPLES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang