04-Selesainya Seleksi Akhir

181 30 1
                                    

Ini hari keenam. Matahari terbenam beberapa jam yang lalu. Dan sekarang aku baru saja membunuh iblis kelima malam ini. Semakin lama, aku membutuhkan lebih banyak waktu untuk memenggalnya. Tapi bukan berarti membuatku kesulitan dan kabur ketakutan.

Jujur, aku tidak tahu sisa berapa yang masih hidup. Tapi, sudah tidak ada jeritan ketakutan lagi. Mungkin sesekali, tapi sudah sangat jarang. Entah karena sisanya kuat atau mentalnya udah breakdance... aku juga penasaran tiba-tiba.

Melihat tidak ada iblis di sekitarku, aku melonggarkan genggaman pada gagang nichirin. Aku juga memperlambat lariku, menghemat tenaga.

Telingaku menegak kala mendengar ada jeritan. Ketakutan dan kesakitan. Aku melesat, terkesima dengan kecepatan yang kumiliki. Padahal di dunia nyata, kecepatanku menengah ke bawah kecuali kalo dikejar anjing atau kecoak terbang.

Aku mendarat sempurna di dahan pohon. Memuntahkan isi perut kala melihat ada mayat perempuan yang sangat mengenaskan. Iblis itu sangat memilah, mengeluarkan organ dalamnya dan membuangnya sembarangan.

"Oh... Ada makanan lagi..."

Aroma anyir darah membuatku muntah lagi. Kututup hidungku dan memuntahkan semuanya, meringis kala merasakan asam lambungku naik ke tenggorokan.

Ueh... Aku paling lemah sama pemandangan thriller yang menjijikan dan brutal seperti ini. Mendingan aku melihat yang horor, meski akhirnya aku akan teriak-teriak gak jelas.

"Heh, kalo makan dihabisin napa!" gerutuku. "Menjijikkan!"

Iblis itu tertawa, aku muntah lagi kala mendapati ada beberapa daging yang tersembur keluar. Joroknya...

"Aku ini pemilih... Tapi, kalau kamu mau, aku akan menyantapmu seluruhnya..."

"Baik sekali," ejekku. "Tapi maaf, aku tidak mau mati tanpa jasad apalagi berakhir sebagai kotoranmu."

Aku memanjat ke dahan yang lebih tinggi. Melebarkan kuda-kuda, menghunuskan nichirin. Tanpa menunggu, aku melesat dan menyerang iblis itu.

"Pernafasan kesedihan, bentuk kesatu: Tebasan Menangis."

Menyadari lehernya lebih keras dari iblis-iblis sebelumnya, aku langsung melompat mundur. Bisa gawat kalau nichirinku patah kala malam masih cukup panjang.

Kuubah kuda-kuda dan melemaskan pergelangan tangan agar tidak terlalu kaku. Untuk mengatur detak jantung, aku menghirup napas perlahan dan itu juga efektif untuk menenangkanku kala sedang panik atau marah.

Aku menyerang kembali. Mendengus kesal kala melihat bahwa iblis itu kembali menghindarinya dan menyerang. Kali ini aku tidak siap dengan serangan balasan, terpukul di perut dan terdorong ke belakang. Aku meringis kesakitan kala punggungku menabrak pohon, semoga tidak patah tulang.

"Ah... Belum mati? Sayang dekali..." gumam iblis itu. "Apa kuhancurkan sekalian tulangnya saja, ya? Kalau begitu, semua bagiannya pasti dapat kumakan tak bersisa!"

Rupanya iblis ini sudah memikirkan dengan cara apa ia memakanku. Luar biasa, bahkan aku masih bisa berdiri tegak dan dia sudah berbicara tentang menyantapku. Aku merasa diremehkan dan itu menbuatku kesal.

"Aku masih bisa berdiri, Bodoh!" gerutuku.

Iblis itu menoleh, tertawa lagi. "Tidak apa! Dalam 2 pukulan lagi kamu akan mati, seperti bocah-bocah lainnya."

"Kalau begitu, aku akan memenggalmu sebelum mendapat pukulan yang kedua."

"Tidak akan bisa!" seru iblis itu, tertawa terbahak-bahak. Dia tampak seperti antagonis sombong di anime.

"Yah... Tidak akan tahu kalau tidak dicoba kan?"

Menghindari serangan iblis, aku melompat mundur. Berlari menjauh, bersembunyi dalam bayang-bayang pepohonan dengan harapan dapat menyembunyikannya sesaat.

Kusentuh punggungku, menghela napas lega kala tidak merasakan cairan merah lengket di punggung. Setidaknya tidak ada luka parah, selain goresan di sana-sini.

Kupasang kuda-kuda dan mengeratkan genggapan pada pedang nichirin. Aku harus mengakhirinya di sini jika ingin beristirahat. Punggungku nyut-nyutan, meski tidak berdarah pasti ada lebam di sana.

"Pernafasan kesedihan, bentuk ketiga: Pusaran Kesedihan."

Aku melakukan pergerakan memutar dengan cepat dan menggunakan tenaga yang lebih besar dari biasanya. Dalam beberapa kali putaran, kepala iblis itu pun menggelinding entah kemana. Tidak melihat kepalanya lagi, aku tersenyum bangga pada diriku sendiri.

"Aku sudah bilang, kan?" kekehku. "Aku akan memenggalmu sebelum kamu mendaratkan serangan lagi padaku."

"Sialan... Sialan! Kubunuh kamu!"

Aku meliriknya sinis. "Bertaubatlah, Kawan. Api neraka itu lebih menyiksa dibandingkan sinar matahari."

Kusarungkan kembali nichirin dan melangkah pergi. Tujuanku adalah sungai, aku duduk di rerumputan. Melepaskan haori dan membasuh luka di tangan dan kaki dengan air. Sayangnya, aku tidak bisa membersihkan luka di punggung. Akan kuminta Rei melakukannya ketika aku pulang nanti.

Lelah, aku merebahkan diri. Memeluk nichirin untuk berjaga-jaga. Aku memandangi langit malam yang seperti permadani hitam tak berujung dengan bintang yang tersebar dan tampak begitu kecil seperti glitter.

Ah... Aku mengantuk...

Kuharap... tidak iblis tidak menggangguku lagi malam ini...

***

Hari ketujuh.

Aku berhasil tiba di titik akhir. Menghela nafas dan memandang sekeliling. Hanya ada satu orang lagi. Karena anaknya si Kagaya itu belum datang, aku memutuskan untuk pergi ke pinggir. Duduk di bawah pohon, menyandarkan punggung dan memejamkan mata.

Angin berhembus lembut, membuatku tambah mengantuk. Suara gemerisik dedaunan yang saling bergesekan berpadu sempurna dengan suara derak-derak pelan dari dahan-dahan pohon yang diterpa angin, sebuah lagu pengantar tidur yang sempurna.

Aroma bunga wisteria tercium samar-samar, terbawa angin. Seperti lilin aromaterapi, menambah keinginanku untuk segera terlelap saat itu juga.

Aku mengantuk, kemarin malam aku tidak jadi tidur karena mendengar jeritan-jeritan di sisi lain hutan. Karena terlalu jauh, aku memutuskan pasrah dan membiarkannya. Tidak ada gunanya aku ke sana, paling iblisnya juga sudah pergi.

Ah... Kuharap proses seleksi ini cepat selesai...

Ingin rasanya aku segera pulang. Kembali ke rumah, menyantap makanan lezat dan hangat yang dibuat Rei. Beristirahat di kamar yang nyaman, hangat dan berbau seperti ocha kesukaan Sousuke. Mengingat itu semua hanya membuatku semakin ingin cepat pulang.

Aku juga ingin bercerita pada mereka. Tentang iblis yang kubunuh, keseharianku di hutan dan sebagainya. Memikirkan reaksi mereka membuatku mengulas senyum senang.

Ah... Aku ingin pulang...

Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Napas orang itu juga pendek-pendek, bukan 2 anak macam robot itu... Mungkin peserta seleksi?

Sebenarnya bukan urusanku, tapi aku pun membuka mata. Mencari sosok yang baru datang itu. Tidak terlihat jelas karena dedaunan pohon yang rimbun. Aku bangkit, mengambil beberapa langkah untuk melihatnya.

Jujur, ini sama sekali tidak penting. Tapi entah kenapa aku merasa sangag penasaran dan aku merasa bahwa aku harus melihat orang ini.

Aku menyibakkan dedaunan yang menjuntai hingga menghalangi pandanganku dari orang yang baru tiba ini. Ketika aku melangkah keluar dari pepohonan rimbun itu, orang baru ini tengah mendongak dan tanpa sengaja memandangiku juga. Matanya membola, sepertiku. Kami juga sama-sama mengeluarkan suara terkediap, menutup mulut saking kagetnya sambil mengambil satu langkah ke belakang. Dan kami refleks saling menunjuk.

Oh... Aku tidak percaya ini...

Aku membekap mulut dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan kupakai untuk saling tunjuk dengan orang di depanku ini.

"KAMU?!"

to be continued

Ku-update sekarang karena takut lupa.

Semoga bisa menghibur kalian di waktu ngabuburit ini!

The Girl of SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang