12-Pilar

120 20 2
                                    

Hari-hari berlalu.

Pada hari itu, tiba-tiba kami dipanggil ke Kediaman Ubuyashiki oleh Oyakata-sama. Beliau mengirimkan surat langsung lewat hashira serangga. Isi surat itu benar-benar formal dan ditulis dengan penuh hormat.

Karena itu perintah Oyakata-sama, maka si Mba Ara-ara pun tidak bisa melarang. Dia akhirnya membiarkan kami pergi setelah memastikan kondisi kami membaik. Ia bahkan menyuruh kakushi untuk mendampingi, mungkin karena takut kami keluyuran dulu atau semacamnya. Padahal tidak mungkin kami keluyuran, kami saja masih memakai pakaian pasien.

Dua bocah macam robot itu menyambut dan membawa kami ke ruangan tempat Oyakata-sama menunggu. Mereka menutup fusuma setelah kami masuk.

"Kalian sudah datang?"

Atensiku berpusat pada sosok Oyakata-sama. Duduk dengan tegak, mengulas senyum lembut yang rasanya selalu terpampang di wajahnya.

"Iya, Oyakata-sama. Kami sudah tiba." kataku setelah memikirkannya berkali-kali.

"Silakan duduk."

Berbagi tatapan dengan Hana, kami pun memutuskan untuk duduk berdempetan. Berhadapan dengan Oyakata-sama.

"Selamat siang, Anakku. Apa langit masih sama birunya di luar sana?" tanyanya.

"Selamat siang, Oyakata-sama. Langit masih biru seperti biasanya." jawabku dengan seluruh rasa hormat yang kupunya.

"Semoga kebahagiaan dan kesejahteraan terus tercurah pada anda, Oyakata-sama." Kali ini, Hana yang membuka mulut.

"Kalian juga, Anakku."

Suasana hening sesaat. Aku maupun Hana tidak ada yang punya niat untuk memecah keheningan yang terasa super canggung ini. Sementara pemimpin kisatsutai di depan kami ini tetap diam, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Apa kalian sehat, Anakku?"

"Ya, Oyakata-sama," jawab Hana pelan. "Luka kami sudah mulai membaik berkat Kocho-san."

"Senang mendengarnya," sahut Oyakata-sama. "Anakku, inginkah kalian menerima gelar pilar?"

Ahahaha... Sudah kuduga. Seperti fanfic yang kubaca di dunia nyata, dijadikan hashira adalah hal resmi.

Jujur, aku tidak mau. Semakin tinggi jabatanku, semakin besar tanggung jawabnya. Semakin besar tanggung jawab akan membuat seorang mati-matian memenuhi tugasnya. Itu artinya, mempertaruhkan nyawa-waktu-kebahagiaan. Pertaruhan yang luar biasa besar.

"Saya tidak pantas menerima gelar itu, Oyakata-sama." tolakku sehalus mungkin.

Hana terbata-bata, menyahut. "B-Begitu juga saya."

"Kenapa begitu?"

Melihat Hana hendak menjawab, aku pun mengangguk. Tanda bahwa aku menyerahkan jawaban pertanyaan itu pada temanku yang satu itu.

"Kami baru lulus dari seleksi," kata Hana. "Lalu, baru menyelesaikan beberapa misi pun kami sudah babak belur."

"Tapi, kalian menyelesaikan misi yang seharusnya untuk peringkat yang lebih tinggi," jelas Oyakata-sama. "Lalu, kalian bertemu dengan uppermoon, kan? Kamu juga (f/n)-san, kamu bertemu Kibutsuji. Kalian bertemu dengan iblis yang diburu dan belum pernah para pilar, dan kalian bahkan berhasil selamat."

"Itu hanya keberuntungan belaka, Oyakata-sama," elakku. "Kami selamat berkat matahari."

Oyakata-sama mengangguk. "Memang, mungkin kalian hanya beruntung. Tapi saat ini, kalian adalah satu-satunya jejak yang ditinggalkan uppermoon dan kibutsuji."

Sepertinya ini tidak akan berakhir. Oyakata-sama tidak tampak akan menyerah untuk membujuk kami agar mau bergabung menjadi pilar. Bahkan sepertinya seorang pemimpin di depanku ini siap untuk merendahkan dirinya dan memohon.

The Girl of SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang