07-Misi Pertama

112 19 2
                                    

Ah... Malam baru akan dimulai...

Menyadari bahwa aroma anyir darahnya semakin kuat, aku bergegas melompati pagar dan masuk ke halamannya. Mudah karena pagar itu sama sekali tidak tinggi. Aku mengaduh kala melihat halaman kecil rumah ini sama sekali tidak terawat,  membuatku sulit melintasinya.

Setelah bersusah payah menghindari sulur berduri entah dari tamaman apa, aku tiba di depan pintu rumah itu. Gelombang mual menerpaku kala indra menciumanku menangkap lebih banyak aroma anyir dari darah.

Aku meraih gagang nichirin dan menghunuskannya. Membuka pintu itu perlahan dan menyumpahi iblis yang tinggal di rumah ini. Keinginanku untuk berlari keluar dan memuntahkan semua isi perut semakin menjadi-jadi. Jujur saja, aku jauh lebih suka berada di gang penuh sampah ketimbang di rumah sebau busuk ini.

Kututup shoji dan melangkah lebih jauh. Mengerutkan kening kala lantai kayu berderit-derit di bawah beban tubuhku. Aku mendengar suara tangis, rintihan, muntah dan sebagainya.

Rasa jijik semakin menjadi-jad kala aku melihat tumpukan mayat wanita di ujung lorong. Semuanya sudah membusuk, dan aromanya luar biasa membuatku ingin muntah.

Setelah meyakinkan diri, aku membuka ruangan terdekat. Melihat beberapa gadis remaja tengah tidak sadarkan diri, mereka hidup dan itu yang paling penting. Kututup kembali shoji dan membuat catatan batin bahwa aku tidak akan bertarung di dekat ruangan ini untuk berjaga-jaga agar mereka tidak menjadi korban salah sasaran selama pertarungan.

Ruangan terakhir yang kucek sepertinya adalah ruangan tempat iblis itu makan. Kenapa aku bisa tahu? Karena semakin aku mendekat, semakin aku mendengar suara decapan dan kunyahan. Itu super duper menjijikan... Ew...

Kutendang shoji hingga jatuh menghantam lantai, menarik perhatian iblis yang sedang makan. Dia memandangiku, menyeringai dan memperlihatkan giginya yang tajam dan kuning serta memiliki noda darah kering. Ketahuan tidak pernah gosok gigi...

"Jangan menyeringai, bau mulutmu lebih parah dari tempat sampah." gerutuku.

Iblis itu mengabaikanku, tentu saja. "Makanan! Beruntungnya aku... Aku tidak perlu mencari bahan makanan lagi besok!"

Dengan gerakan lambat, iblis itu membuang tubuh wanita yang sedang ia makan tadi. Bangkit dan beranjak mendekat. Sinar rembulan yang menembus masuk membuatku dapat melihat sosoknya samar-samar.

Dia tampak seperti kakek-kakek normal. Yang tidak normal adalah matanya yang menjadi seperti kucing dan giginya yang tajam-tajam. Lalu tubuhnya juga aneh, seolah ada berton-ton daging dijejalkan paksa ke bawah kulitnya yang keriput dan melar. Rambut putihnya memiliki noda merah darah di sana-sini, iblis tidak suka mandi ya?

"Heh... Kakek, bertaubatlah! Sudah bau tanah juga..." gerutuku.

Mengabaikan perkataanku, iblis satu ini meninju lantai di dekatku menciptakan lubang di lantai kayu. Untung saja aku berhasil melompat mundur dan segera memasang kuda-kuda.

"Membunuh itu dosa besar, loh," kataku sambil menghindari serangan iblis di depanku ini. "Nanti kalau mati masuk neraka, loh."

"BERISIK! AKU LAPAR... KUBUNUH KAMU WANITA SIALAN!"

"Dih... Kok malah ngegas... Ngehina pula."

"BERISIK! MENYERAHLAH DAN JADILAH MAKANANKU!"

"Tidak mau, Kakek sialan!"

Sesaat sebelum iblis itu mendaratkan serangan untuk kesekian kalinya, aku pun menebas tangannya. Mataku membola kala melihat tangannya beregenerasi dengan cepat. Jauh lebih cepat dari iblis yang kutemui di seleksi akhir. Sepertinya iblis ini sudah memakan manusia lebih banyak dari yang kuduga.

"TIDAK ADA GUNANYA! AKU TAK TERKALAHKAN! AKU DAPAT BEREGENERASI DENGAN CEPAT! SERANGANMU TIDAK AKAN BERGUNA, WANITA SIALAN! MENYERAHLAH!"

"Hei, Kakek! Tidak terkalahkan apanya? Otakmu didengkul apa, ya?!" omelku, sudah muak dengan segala kesombongan iblis yang satu ini.

"HUH?! KAMU MEMBUATKU MARAH!"

"Kalau marah berarti ucapanku benar," kekehku. "Lagian kamu pasti kalah telak dari matahari, Dasar lemah! Lalu, paling kalau menyebut namanya di Marjan kamu langsung koid. Apanya yang tidak terkalahkan? Jangan membuatku tertawa ngakak!"

Serangan iblis ini menjadi lebih kuat. Artinya dia sudah mulai marah. Sesuai yang kuduga, dia iblis tak berotak yang serangannya berdasar pada emosi. Kalau begini, semuanya menjadi lebih mudah. Beruntungnya aku mendapatkan lawan tak berotak seperti ini.

Melihat serangan akan tiba, aku melesat mundur sejauh mungkin untuk menjaga jarak. Sekaligus menciptakan waktu lebih lama untukku memasang kuda-kuda yang kokoh.

Karena regenerasinya cepat dan dia sudah memakan banyak manusia, sepertinya bentuk pertama tidak akan cukup menebasnya. Kalau bentuk pertama tidak cukup, maka...

"Pernafasan kesedihan, bentuk ketiga: Pusaran Kesedihan."

Aku melesat ke arah iblis itu, melompat dan berputar di udara. Mengayunkan nichirin sekuat tenaga dan memisahkan kepala iblis itu dari tubuhnya. Lalu, aku mendarat tidak jauh dari tubuhnya yang terjatuh ke belakang.

"Lihat, kan? Kamu bahkan bisa kukalahkan hanya dengan 1 bentuk pernapasan. Bahkan hanya bentuk ketiga. Apanya yang tidak terkalahkan..."

Dengan santai, aku memasukkan nichirin kembali ke saya. Aku berjalan menuju kepala yang menggelinding tepat ke bawah lampu lorong yang berkedip-kedip layaknya lampu disko, membuat pusing.

Langkahku terhenti. Aku melotot kala melihat mata dari iblis yang satu ini.

Lowermoon.

"Sial... Padahal aku sudah akan memberi marechi pada beliau. Beliau pasti memberiku lebih banyak darahnya. Sial! Kenapa kamu harus merusak segalanya, J*l*ng?!"

Aku tidak marah karena dikatai j*l*ng saat ini. Karena aku jauh lebih tertarik pada kata "beliau".

"Hei, Iblis bau tanah! Maksudmu beliau itu..."

"Tuan kami! Dia pasti ada di kota ini, dan dia akan membunuhmu J*l*ng."

Sialan! Aku menendang kepala iblis itu karena menghalangi jalan. Menulis laporan bahwa aku menemukan orang yang hilang, mencantumkan alamat. Aku tidak peduli apakah tulisan itu dapat dibaca atau tidak karena aku hanya akan meletakkan ini diam-diam di pos patroli dan pergi sebelum aku dapat bertemu si Marjan.

Terburu-buru, aku menyelipkan lipatan kertas itu di ikat pinggang. Pasti kertas itu akan lecek dan robek-robek, karena kujejalkan dengan asal. Tapi, aku tidak peduli.

Aku bergegas keluar, mencoba menutupi seragam kisatsutai dan nichirin dengan haoriku yang untungnya lumayan panjang. Untuk berjaga-jaga kalau berpapasan dengan si marjan tanpa sengaja.

Aku melangkah keluar dan meninggalkan pintu terbuka begitu saja. Aku melompati pagar. Menjejak dengan mudah, baru saja aku hendak mengambil jurus seribu langkah alias kabur, aku pun seolah melihat bahwa rencanaku hancur di depan mataku.

Di ujung gang, di satu-satunya jalan yang dapat kulalui untuk pergi ke jalan utama. Ada sosok pria berdiri di sana, agak tersembunyi di kegelapan. Bahkan dengan sedikit sinar bulan aku sudah dapat mengidentifikasi siapa orang itu.

Memakai setelan tuxedo dan topi yang menghiasi kepala berambut hitam bergelombangnya. Lalu, wajah datar dan mata seperti kucing. Siapa lagi kalo bukan antagonis utama anime ini, Marjan.

Tanganku refleks memegang nichirin yang tersembunyi di balik haori. Aku hendak melewatinya dan berpura-pura bahwa aku hanyalah warga sipil biasa sambil berharap dia tidak menyerang. Tapi sayangnya, angin berhembus mengibarkan haori-ku hingga memperlihatkan seragam kisatsutai dan nichirin yang tadi mati-matian kusembunyikan.

Lihatlah wajahnya yang mengeras itu. Aku menelan ludah kala melihat seringai jahat khas antagonisnya terukir.

"Kisatsutai, rupanya..."

Oh... Dead End...

to be continued

The Girl of SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang