09-Tanpa Waktu Istirahat

102 22 0
                                    

Kuharap aku mendapatkan 1 hari libur...

Dan... Tentu saja, tidak.

Pada siang hari setelah aku terbangun dari tidur, si Kuro sudah menyampaikan misi lain di kota yang tidak jauh dari sini. Karenanya, sekarang aku sedang berjalan tegak sambil menahan sakit. Menyeret kakiku ke kota yang ditunjukkan Kuro.

Itu adalah kota yang tampak... aneh? Kota itu cukup luas, dibagi menjadi dua oleh sebuah sungai yang keruh dengan selisih luas yang cukup untuk membangun sebuah stadion. Kedua sisinya begitu timpang, sisi timur sungai dipenuhi rumah-rumah besar sedangkan sisi baratnya yang lebih luas, dipadati oleh gubuk-gubuk yang tampak akan rata dengan tanah jika ada badai menerjang.

Aku masuk lewat gerbang yang ada di sisi timur. Seketika aku merasa menjadi gelandangan, karena di sekelilingku adalah orang berpakaian mahal dan memakai wewangian yang rasanya bisa tercium dari ujung jalan. Ini pada pake parfum segentong apa gimana, ya?

Menyeret kakiku, aku memandangi sekeliling. Mencari-cari pengumuman tentang tindak kriminal yang aneh atau apapun yang mungkin berhubungan dengan iblis. Sayangnya, yang kudapati hanya sekelompok gadis yang gemar bersolek tengah menggosip tentang anak pedagang yang tampan dan sebagainya.

Sepertinya bukan sisi timur yang harus kuperiksa. Karenanya, aku pergi ke sisi barat dengan melewati sebuah jembatan kayu yang luar biasa patut dikhawatirkan. Ada banyak papan yang lepas dan setiap langkahku menimbulkan suara derit keras.

Sisi barat berbau seperti sampah dan air comberan, berbanding terbalik dengan sisi timur. Aku melangkah di jalan-jalannya yang kotor, melihat anak jalanan yang duduk di gang-gang gelap sambil berpelukan satu sama lain dan memakan buah busuk dengan rakus.

Memprihatinkan... Sayangnya aku tidak bisa berbuat banyak karena aku tidak punya makanan dan kulihat tidak ada kios makanan di dekat sini. Dengan berat hati, aku melangkah semakin jauh menuju jalan-jalan sempit di antara gubuk-gubuk yang semakin lama diperhatikan semakin mengkhawatirkan.

"Kenapa pelancong muda sepertimu ada di tempat seperti ini, Nak?"

Aku terlonjak, memandangi sosok nenek yang tiba-tiba menyapaku dari teras sebuah rumah reyot. Dia tersenyum ramah tampak sangat kurus dan lemah.

"Ah... Saya... Hanya berjalan-jalan, Nek," Itu bukanlah kebohongan terbaik dan jujur saja merupakan salah satu kebohongan paling menyedihkan yang pernah kubuat. Tetapi, aku tidak tahu harus membuat alasan apa lagi. "Nek, apa ada yang menarik di sekitar sini?"

"Menarik? Apa yang menarik dari kota kumuh ini?" kekeh nenek itu santai.

"Ehey... Pasti ada yang menarik, kan..."

Nenek itu memandangi langit. "Mungkin yang menarik adalah Daiki-sama. Dia pedagang kaya, tapi sangat baik. Meski hanya keluar pada malam hari, katanya dia tidak suka menarik perhatian."

Oh... Pedagang kaya sangat baik... Keluar hanya pada malam hari...

Sangat khas iblis, eh?

"Oh, ya? Seberapa baik dia?" tanyaku.

"Dia sering memberikan pekerjaan bagi anak-anak muda. Perempuan menjadi pelayan di kediamannya dan laki-laki pun menjadi buruh dagangnya. Anehnya, gajinya sangat banyak." jawab nenek itu.

"Anak muda itu pulang setiap bulan?"

Nenek itu menggeleng. "Sayangnya tidak, pasti mereka sibuk. Keluarga hanya diberi gaji dan secarik surat ketik setiap bulannya."

"Eh, tidak pernah pulang?" tanyaku.

"Hm, tapi Daiki-sama selalu bercerita tentang anak-anak itu setiap kali memberikan gaji dan surat. Jadi, semua keluarga pun baik-baik saja."

The Girl of SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang