1. Oh, Yeah!

361 22 7
                                    

Bayangkan apa yang kamu rasakan saat bisa berjumpa kembali dengan kekasih yang amat sangat kamu cintai setelah tiga tahun lamanya berpisah.

Kalau aku? I'm going crazy. Why?

Ketika kupikir ia sudah sepenuhnya melupakanku, atau mungkin tengah menjalin hubungan kisah kasih dengan pria asing, juga bahkan telah menikah dan menempuh hidup baru dengan pasangannya yang lain, tapi nyatanya, ia berdiri di hadapanku, di tengah luasnya ruang area kedatangan, dan kedua matanya menatapku dengan pancarannya yang hangat.

Ia menunggu kepulanganku.

Entah dari mana juga ia bisa tahu kalau hari ini aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku, ke tempatnya berada. Padahal sebisa mungkin aku menutupinya, khawatir kalau ia sudah memiliki kehidupannya sendiri dan aku tidak akan mempunyai harapan untuk sekali lagi masuk ke dalamnya. Mau ditaruh di mana mukaku ini kalau aku menggembar-gemborkan kepulanganku, namun ternyata ia sudah bahagia dan tidak memerlukanku lagi.

Sebetulnya aku masih kesal padanya. Karena paksaannya, karena sikapnya yang terlalu keras kepala, karena keputusannya yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, dengan terpaksa aku pergi jauh meninggalkannya sendirian. Ia bersikeras untuk menanggung semuanya, menghadapi cobaan berat ketika kebohongan hubunganku dengannya terbongkar oleh wartawan.

Hei! Apa yang bisa kulakukan untuknya saat itu? Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah bocah ingusan yang tidak punya apa-apa. Aku yang kala itu berada di sisinya hanya karena mengikuti alur yang sudah direncanakannya dari awal. Aku yang tidak punya pendirian dan tidak sanggup untuk melangkah.

Tapi ketika melihat sosoknya lagi saat ini, ketika menatap kedua bola matanya yang basah dan sebentar lagi air di dalamnya akan meluap keluar, emosi yang kurasakan mendadak sirna.

Ia yang terus berada dalam pikiranku. Ia yang enggan lenyap dari hatiku. Ia yang merupakan segalanya bagiku. Akhirnya hari ini, aku bisa melihatnya lagi.

"Who am I?" Pertanyaan itu mulai kuajukan padanya.

Sesi tanya jawab sudah menjadi pola kebiasaan kami berdua. Dimulai ketika aku pertama kali tiba di kantornya, berdiri kaku dan canggung di hadapannya dan sekretarisnya, menjawab setiap pertanyaan aneh yang mereka layangkan padaku. Siapa juga yang menanyakan tinggi dan berat badan saat interview?

Aku yang saat itu masih terlalu polos—intinya, stupid—dan mengira bakal diterima sebagai staf arsitek di perusahaannya. Ternyata ia menjebakku supaya menerima tawarannya, tawaran untuk berpura-pura menjadi calon suaminya demi harta warisan keluarga yang diincarnya. Yes, she's evil. Definitely, pure evil.

Tapi, kalau saja saat ini ia mengajukan penawaran yang sama sekali lagi, mungkin aku bakal melompat-lompat kegirangan layaknya orang gila. Biarlah tatapan mata semua orang di bandara melekat pada diriku yang mirip kesurupan setan. Karena jawabanku sekarang sudah pasti, iya! Aku setuju! Aku mau menjadi calon suamimu!

"Antony Darmawangsa. 28. Architect, Hartanto Developer Company, Los Angeles," jawabnya, tentu paham benar mengenai status profesiku.

Awalnya harga diriku sempat jatuh, tergoler lemas di atas aspal, dan rasanya sudah seperti ribuan kaki menginjakku di atas jalan yang berlumpur dan kotor penuh debu. Euh, atau lebih cocok dikatakan kalau aku saat itu bagaikan terlindas oleh truk tronton yang muatannya terlampau berat.

Ketika kukira aku telah mapan, ketika kurasa sudah bisa berdiri dan memiliki penghasilan dengan kemampuanku sendiri, ketika akhirnya aku bisa kembali padanya dengan membusungkan dada penuh kepercayaan diri, tapi ternyata, aku harus dihadapkan dengan kenyataan pahit. Aku masih sepenuhnya berkegantungan padanya.

Mirip seperti seorang adik laki-laki yang tidak bisa diandalkan dan terus memerlukan bantuan dari kakak perempuan yang usianya lima tahun lebih tua, aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang arsitek di sebuah kantor developer terkemuka di Los Angeles yang nyatanya belakangan kuketahui masih merupakan perusahaannya.

Tapi, baru kali ini kusadari bahwa itu hanyalah pikiran bodoh di dalam otakku saja. Pikiran tolol yang muncul karena rasa tidak percaya diri yang selalu membebani ke mana pun aku pergi.

"My friend, my boyfriend, my fiancé, my husband-to-be, my man ... my everything," jabarnya dan air mata akhirnya mengalir jatuh ke kedua pipinya.

Ya, ucapannya membuktikan segalanya. Wanita di hadapanku menerimaku seutuhnya. Perbedaan status dan usia bukan merupakan penghalang baginya.

Ia tidak melihatku sebagai seorang pengganggu yang bakal merugikan dirinya. Ia mau untuk mengisi kekuranganku, dan semoga di kemudian hari, aku juga bisa mengisi kekurangannya. ... Tapi, apa kekurangannya, yah? Ia begitu sempurna di mataku. Hmm ... nanti akan kupikirkan. Atau aku tanya langsung saja ke orangnya? Biar gak ribet. ... Oh! Aku ingat! Ya itu tadi, keras kepala. Tapi bagaimana cara menghilangkan sifat jeleknya itu? Hmm ... satu pertanyaan lagi perlu kupikirkan malam ini juga. Secepatnya aku harus menemukan jawabannya.

Tapi, setelah dipikir lebih dalam lagi, kenapa memangnya kalau aku bekerja di perusahaannya? Aku gabung ke dalamnya juga atas dasar usahaku sendiri. Semuanya merupakan jerih payahku, dengan kedua tanganku, dan berbekal keringat yang sepenuhnya keluar dari pori-poriku. Seratus persen tanpa bantuannya sama sekali.

Ya, Antony. Sudah cukup. Tidak lagi. Aku tidak mau terus menerus seperti saat itu, sepenuhnya tidak berdaya dan hanya bisa mengandalkannya saja. Culun sudah tidak ada dalam kamusku.

Lihat nih usahaku. Setiap harinya sit-up dan push-up, lari puluhan kilometer, dan jangan lupakan rutin mengangkat karung beras puluhan kilogram. Alhasil, wanita di hadapanku ini juga tidak bisa menolak keberadaan roti sobek yang sudah sejak lama didambakannya akhirnya melekat di perutku, 'kan?

Oh! Mau tahu apa pengorbananku yang paling berat? Demi dia, aku harus berlatih memakai contacts yang awalnya membuat mataku perih dan merah. Kacamata tebal yang dibencinya akhirnya bisa retired juga. Tidak sepenuhnya pensiun, sih. Aku masih mengenakannya hanya di dalam rumah saja.

Tuh. Buktinya ia pun berani melangkahkan kedua kakinya untuk semakin mempersempit jarak antara aku dengannya. Kenapa juga aku masih harus merasa takut?

Oh, my God! Semakin ia berjalan mendekat, paras cantiknya semakin jelas di kedua netraku. Ini semua bukan mimpi, 'kan? Ia betul berada di hadapanku, 'kan? Tidak lucu kalau aku sudah emosional begini, tapi ternyata, yang berjalan mendekat adalah tukang bebersih. Itu sih alamat aku harus segera mendaftarkan diri ke rumah sakit jiwa terdekat karena tidak bisa membedakan mana yang merupakan halusinasi dan mana yang asli.

Ia sekali lagi melangkahkan kedua kakinya maju hingga sosoknya tepat berada di hadapanku. "You're mine," lanjutnya seraya menarik tubuhku ke dalam pelukannya.

Ya. Wanita keras kepala ini benar berada di sini. Hangat tubuhnya betul kurasakan. Ia bukanlah fatamorgana belaka.

Biarkanlah yang sudah berlalu. Yang penting adalah masa kini. Olivia bersamaku lagi untuk memulai lembaran yang baru.

"Gladly," jawabku seraya meraih tubuh mungilnya dengan erat dan tidak akan pernah kulepaskan lagi untuk selamanya.

Oh, yeah!

Just KiddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang