PULAU

1.1K 28 0
                                    

"Apa kita bisa pulang?" tanya Jemy menyadari mereka hanya berdua di atas kapal yang sudah hancur dan terombang-ambing di tengah samudra Pasific.

"Aku juga tidak tahu," jawab Adam terdengar bodoh.

Mereka sama sekali tidak melihat daratan dan mungkin masih akan terus terombang-ambing tanpa tahu akan dibawa ke mana, karena mesin kapal juga mati dan tanpa layar. Semua alat navigasi juga tidak ada yang berfungsi setelah terendam air.

"Semua ini karena perbuatanmu!" tuding Jemy mengunakan jari telunjuknya yang masih bercat kuku cantik.

"Semoga ada yang segera menemukan kita."

"Berdoalah sering-sering kalau begitu!"

Samudra Pasifik sangat luas dan mereka sama-sama tidak tahu telah terseret ke mana. Jemy terduduk di atas dek sambil mencengkram kepalanya karena rasanya ingin menangis tapi percuma karena dia tahu itu hanya akan membuatnya cepat dehidrasi. Gadis itu mulai berpikir jika mungkin mereka telah selamat dari badai tapi akan segera mati kelaparan setelah ini.

"Kenapa tidak ada makanan sama sekali di dalam kabinmu?" jengkel Jemy yang sudah membongkar tumpukan beda tak berguna di dalam kabin tapi tetap tidak menemukan apapun yang bisa disebut makanan. Dia hanya menemukan sepasang sepatunya sendiri yang kemudian dia lempar ke atas dek.

"Aku tidak berencana untuk melakukan perjalanan."

"Sial sekali hidupku sejak bertemu denganmu!" Jemy kembali menendang hells-nya yang basah.

"Sepertinya ada box minuman di bawah jok, buka saja." Adam malah kembali menyuruh.

"Kenapa kau tidak coba membantu dan hanya berbaring di situ!"

"Aku berjemur, semua pakaianku basah sampai ke dalam."

Jemy juga tahu karena bukan Adam saja yang basah, dirinya pun juga basah apa lagi air di dalam kabin juga masih menggenang dan dirinya harus menceburkan diri lagi ke sana. Tapi sekarang mereka lebih butuh makanan dari pada pakaian kering.

Jemy segera kembali masuk ke dalam kabin karena tidak mau membuang energi dengan berdebat dan setelah bersusah payah ternyata dia hanya menemukan satu botol air mineral.

"Kau benar-benar miskin, dan kita akan segara mati kelaparan setelah hangus terpanggang matahari!"

"Mungkin teman-temanku sudah meminumnya," santai Adam seolah tanpa rasa khawatir sama sekali jika mereka akan segera dehidrasi.

Sebenarnya Adam tahu jika mereka semakin terbawa ke Selatan karena itu dia lebih pasrah tiap kali melihat kompas dari jam tangan yang masih melingkar di pergelangan lengannya. Hanya itu satu-satunya benda yang dia miliki dan masih berfungsi dengan benar tapi takberguna.

Setelah sehari terombang-ambing dan hanya berbagi satu botol air mineral akhirnya Jemy mulai ingin ikut menyerah dan pura-pura bodoh seperti pria di sebelahnya. Hari sudah mau kembali petang dan mereka masih sama sekali tidak tahu gelombang akan membawa mereka ke mana.

"Kenapa kau mau menikahi saudariku?" tanya Jemy tiba-tiba.

"Kau lihat sendiri dia cantik cerdas dan wanita baik-baik. Aku ingin wanita seperti itu yang melahirkan anak-anakku. "

"Ku kira kau cerdas, tapi masih primitif menganggap wanita seperti idukan babon!" ketus Jemy yang langsung malas untuk membahasnya lagi dan rasanya lebih baik dia gunakan energinya untuk memikirkan hal lain.

Jemy segera ingat pekerjaannya. Beberapa minggu menjelang Oscar adalah waktu tersibuk bagi orang-orang dengan profesi seperti dirinya. Jemy khawatir jika dirinya sampai tidak bisa kembali tepat waktu. Dan itu sama mengkhawatirkan dengan keselamatan hidupnya.

Sebelumnya Jemy memang hanya berencana cuti beberapa hari dan akan segera kembali paling tidak satu minggu sebelum malam penghargaan. Tahun ini dia mendapatkan tugas untuk menangani tiga orang artis yang agak rewel. Salah satu dari mereka ingin sedikit perubahan dengan rumbai di gaunnya. Karena itu Jemy harus meminta perijinan dari pihak Versace untuk bisa merubah sedikit gaun rancangannya. Acara penghargaan yang sudah mepet tapi dirinya belum juga mendapatkan balasan dari rumah mode ternama Itali itu. Jemy sempat agak stres apalagi dia masih harus pulang ke Indo untuk menghadiri pertunangan kakaknya dan malah dapat bencana lagi seperti ini.

Hari sudah kembali pagi dan sudah semalaman mereka berdua hanya berbaring di atas dek tanpa alas apa lagi selimut. Di dalam kabin masih penuh air dan tentu Adam tidak akan bakal mau mengurasnya.

Jemy terbangun oleh suara burung camar yang terbang di atas mereka. Dia cuma menyeringai silau karena masih belum sepenuhnya sadar dan malah cuma berbaring menyaksikan burung-burung itu berterbangan. Pelan-pelan otaknya mulai kembali berkumpul dan berfungsi karena langsung ingat jika keberadaan burung-burung itu menandakan mereka sudah dekat dengan daratan. Jemy segera terkesiap bangkit untuk memastikan.

"Adam cepat bangun, sepertinya aku melihat pulau!" seru Jemy ketika berdiri sambil ber jinjit-jinjit.

Adam yang sebenarnya masih terkejut dengan teriakan nyaring gadis itu segera ikut berdiri sambil masih menggeliat dan mengacak ikal rambutnya.

Sepertinya bukan pulau yang besar tapi itu benar-benar daratan. Perlahan tapi pasti arus gelombang mulai membawa kapal mereka menepi dan Jemy sudah tidak sabaran karena melihat garis pantainya yang berwarna putih dengan barisan pohon kelapa dan perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Meski kelihatanya tidak berpenghuni tapi pulau kecil itu tetap terlihat seperti surga yang dapat mereka temukan di tengah lautan.

Mereka langsung melompat turun dari kapal dengan luar biasa senang karena tadi mereka pikir sudah benar-benar akan mati terombang-ambing di tengah samudra. Sangking senangnya sampai mereka lupa jika kapal mereka sudah kembali terbawa arus ke tengah.

"OH Tuhan!!!"

Mereka berdua hanya bisa syok, pasrah, dan merasa benar-benar bodoh.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Jangan tanya aku. Tadi kau sendiri yang buru-buru mengajakku turun."

Jemy kembali lemas dan terduduk di pasir pantai sambil menyaksikan benda itu semakin menjauh dan hilang.

Adam masih berdiri menjulang di depannya, memasukkan kedua tangan ke kantong celana dan masih lengkap dengan sepatu ketika mengedikkan alis untuk mengejek Jemy yang bahkan sudah tidak beralas kaki.

Jemy langsung telentang menjatuhkan diri ke atas pasir sambil kembali menyaksikan burung-burung camar yang beterbangan di atas mereka dan berisik.

"Apa mungkin akan ada pesawat terbang yang bisa melihat kita? " ucap gadis itu sambil masih setengah berkhayal dirinya baik-baik saja.

"Mungkin kita bisa membuat simbol darurat yang bisa dilihat dari angkasa."

Meski terdengar asal tapi sepertinya saran Adam memang benar. Jemy juga sering melihat hal seperti itu dilakukan di film-film.

Gadis itu segera bangkit dan berlari ke pantai yang lebih terbuka untuk segera menulis simbol SOS di atas pasir.

"Tidak akan ada yang bisa melihat jejak kaki kecilmu dari angkasa," komen Adam melihat hasil pekerjaannya.

Jemy memang hanya menggaruk pasir dengan kaki, tapi kenapa dia sebal karena Adam hanya bisa mengkritik tanpa mau membantu berusaha.

"Ya sudah, kau begitu pikirkan bagaimana caranya! "

"Kita butuh sesuatu yang mencolok."

Akhirnya mereka sepakat untuk menarik beberapa batang kayu besar untuk membuat labang SOS mereka.

"Sesering apa pesawat akan lewat? " tanya Jemy begitu mereka baru selesai.

"Mana aku tahu."

Mereka masih sama kepayahan karena harus menyeret batang kayu yang lumayan besar.

"Sebaiknya kita tunggu. "


SURVIVAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang