Kelas Pak Herman kini sedang berlangsung. Pagi yang cukup cerah kini menjadi pagi yang suram untuk mahasiswa dan mahasiswi fakultas Hukum. Mereka semua fokus dengan penjelasan dari sang dosen killer tersebut. Tak ada yang berani mengobrol atau sekadar bergerak di ruangan itu. Setiap pasang mata hanya terfokus pada wajah sedikit keriput sang dosen, sambil sesekali mencatat hal-hal yang sekiranya penting. Tapi tidak dengan Arisha. Setelah hatinya tenang karena Dean kembali percaya padanya, ia harus mendapat kabar yang membuat jantungnya serasa melorot sampai lutut.
"Jadi, bisa kamu jelaskan bagaimana maksud antinomi keadilan dan kepastian hukum dengan tujuan hukum, Arisha Qianzy?", tanya Pak Herman pada Arisha. Namun tak ada jawaban setelahnya, Arisha masih termenung memikirkan mengenai panggilan pagi tadi.
"Arisha?!", nada Pak Herman mulai meninggi.
"I-iya pak, kenapa?", ucap Arisha dengan terbata-bata.
"Bisa kamu jelaskan bagaimana maksud antinomi keadilan dan kepastian hukum dengan tujuan hukum?", ulang Pak Herman.
"A-anu pak, itu...", Arisha memejamkan mata, ia tak tau harus menjawab bagaimana. Jujur saja, Arisha belum pernah belajar tentang istilah antinomi keadilan dan ketika dijelaskan dia justru sama sekali tak mendengarkan.
'Mampus Arisha, pasti disuruh keluar ruangan.', batinnya.
"Maaf pak, saya kurang mengerti.", Arisha menjawab dengan menunduk. Seisi ruangan begitu terkejut, begitu juga Dean dan Pak Herman. Karena setau Dean, Qianzy nya itu cukup untuk bisa dibilang jenius. Pak Herman menghela nafas panjang.
"Kalian semua tau, ketika kelas saya, tidak boleh ada yang tidak menjawab, atau tidak bisa menjelaskan jawabannya. Kalian harus mulai bertanggung jawab atas diri kalian sendiri. Sekarang Arisha, kamu keluar!", usir Pak Herman. Memang sudah biasa jika kelas pak Herman, mahasiswa ataupun mahasiswi yang tidak memperhatikan dan tidak bisa menjawab pertanyaan akan diminta keluar. Melatih tanggung jawab katanya.
"Iya pak. Sekali lagi saya minta maaf", Arisha membungkukkan badannya sebagai bentuk permintaan maafnya, kemudian berjalan gontai keluar. Dean tau gadis itu sekarang pasti sedang merutuki dirinya sendiri. Dean menjadi merasa bersalah. Apakah Qianzy nya menjadi seperti dipenuhi beban pikiran karena kemarahannya tadi? Tapi setahu Dean, Arisha itu profesional, dia tidak akan membawa masalah pribadi kedalam urusan pendidikan dan karirnya. Lalu apa yang dipikirkan gadis itu sekarang? Entahlah, Dean juga tidak tahu.
❤
"Kenapa ngga dimakan, hm?", tanya Dean pada Arisha. Mereka sekarang berada di angkringan gado-gado depan kampus.
"Zy?", panggil Dean lagi karena Arisha tidak menjawab apapun. Tentu saja Arisha tidak menjawab, karena walaupun raganya sekarang bersama disini bersama Dean, hati dan pikirannya mengarah ke tempat lain. Dan itu adalah ke tempat Rafa. Bahkan sedari tadi Arisha hanya memainkan makanannya, tanpa menyuapkan sesendok pun kedalam mulutnya.
"E-eh iya De, kamu ngomong apa tadi?", tanya Arisha. Netra coklatnya terlihat menyiratkan kekhawatiran dan kesedihan yang mendalam.
"Itu kenapa gado-gadonya ngga dimakan? Biasanya kalo ada gado-gado langsung habis 3 porsi", jawab Dean disertai candaan untuk sekedar menghibur kekasihnya yang sekarang hanya menatap saus kacang dipiringnya dengan sendu.
"Ngga suka ya? Atau mau makan yang lain?", tanya Dean.
"Aah, engga kok. Kamu kan tau aku suka banget sama gado-gado", Arisha tersenyum canggung.
"Terus kenapa ngga dimakan? Lagi mikirin apa sih kayaknya ngga fokus banget dari tadi?", tanya Dean sembari merapikan anak rambut Arisha yang menutupi wajah kecilnya ke belakang telinga.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...