Dibawah remangnya lampu kota yang terguyur derasnya hujan, Dean melihat semuanya. Tentang bagaimana Rafa memperlakukan Arisha. Tentang bagaimana Arisha yang meringis disana. Juga tentang bagaimana ia membiarkan hatinya lebih lara tertampar kenyataan didepannya.
Dari trotoar yang mulai ramai oleh pengendara sepeda motor yang ikut berteduh, atau sekedar berhenti untuk memakai jas hujan dan kembali merayap pada jalan utama Pitara Raya, Dean melangkahkan kakinya bimbang.
Hingga akhirnya, tepat ditengah-tengah ruas jalan yang cukup lengang, Dean secara tiba-tiba menghentikan langkah lebarnya.
Apa benar dia harus ikut campur seperti ini?
Dean menyugar rambutnya yang lepek sebab air hujan. Lalu tanpa bergerak lagi, ia memutuskan untuk berhenti. Tidak maju, juga tidak mundur barang selangkah pun. Seperti dulu, Dean ragu untuk maju, lagi.
Ditengah kegundahan dan keraguan yang memenuhi isi kepalanya, secara tiba-tiba sebuah sinar berwarna orange dari sebuah mobil Jeep jenis Wrangler menyilaukan netra coklat terang miliknya. Dean menoleh kearah cahaya itu, tangan kirinya secara refleks tergerak untuk menutupi matanya dari sinar menyilaukan itu.
Pikiran Dean menjadi kosong saat ini. Dan walaupun ia ingin menyingkir, raganya seolah mati dan tak bisa bergerak. Organ tubuhnya seolah mengalami dis-fungsi secara total. Tulang-tulangnya seakan tak ada untuk menopang raganya. Yang Dean tahu hanyalah tak ada waktu untuk sekedar maju ataupun mundur sekarang.
Suara teriakan menggema, namun yang lebih jelas terdengar adalah isi kepalanya sendiri yang begitu ramai. Siapa yang tahu langkahnya yang ragu itu adalah deretan langkah yang akan mengantarkannya kembali pada penciptanya. Siapa yang menyangka, langkah yang terhenti itu barangkali adalah langkah kaki terakhirnya diatas muka bumi.
Diantara keramaian, Dean sadar ia sudah diberi waktu untuk memilih terus melangkah ataupun berbalik dan kembali, namun dia ragu dan berhenti ditengah perjalanan. Sekarang biarkan mobil Jeep itu yang maju menghempasnya bersama semua keraguan dihatinya.
Brraaakkkk!
Dentuman keras antara kap mobil dan tubuh Dean menggema di seluruh Jalan Pitara Raya yang ramai, seolah menyadarkan pada semua pasang mata yang menyaksikan bahwa ini bukanlah mimpi. Kejadian itu nyata, rasa sakitnya nyata, semuanya nyata.
Tubuh jangkung pria yang tergeletak lemah di atas aspal basah seolah menandakan bahwa semuanya memang sudah seharusnya berakhir sekarang.
Dan entah bagaimana kejadian persisnya peristiwa mengenaskan itu, yang jelas ketika mobil itu menghantam tubuhnya dengan keras, Dean merasa seolah diterbangkan tinggi ke udara kemudian dihempaskan dengan begitu kuat. Rasa sakit menjalar diseluruh tubuhnya, lebih sakit dari semua yang pernah ia rasakan selama ini. Dean merasa dunianya berputar lalu jatuh dan bagian-bagian hidupnya ikut berserakan menjadi kepingan kecil bersama tubuhnya yang terpelanting ke jalan utama malam ini.
Semua rasa sakit raganya, sakit hatinya, perjuangannya yang tak pernah dilihat secara pantas, harapannya dan harapan orang-orang atas dirinya berakhir di aspal dingin ini. Suara teriakan panik orang-orang yang menyaksikan, decit rem yang begitu memekakkan telinga, serta bunyi klakson dan rintik hujan yang mulai turun lagi terdengar begitu samar ditelinga Dean. Satu-satunya hal yang pria itu ingat dan dengar hanyalah senyum indah dari Qianzy-nya dan bagaimana cara gadis itu memanggil dan menatapnya. Dean tau ada banyak cinta yang tidak bisa dengan bebas diungkapkan disana.
Matanya memburam, suara derapan langkah yang mendekat, wajah-wajah yang mengerumuninya lebih samar dari detik sebelumnya. Walaupun lambat laun hujan turun semakin deras, orang-orang tetap berkerumun menyaksikan betapa hancurnya pria itu saat ini.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...