"Tapi takdir Zy, takdirku. Apakah Allah menakdirkan aku buat pulang ke kamu atau pulang ke DIA lebih dulu", Dean tersenyum sumir kemudian menarik nafas panjang.
Arisha tidak mengerti dengan apa yang Dean katakan padanya. Layaknya sebuah firasat yang menghampiri, Dean seperti orang yang sebentar lagi akan.... Ah, tidak. Pasti bukan itu. Bukan, jangan. Arisha menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan pikiran buruknya.
"Kok kamu ngomongnya gitu sih?", tanya Arisha dengan air muka khawatir.
"Maksudku, kan ngga ada yang tau apa yang bakal terjadi kedepannya. Bisa aja aku dulu, bis-", ucapan Dean terpotong.
"Bisa aja aku duluan yang pergi. Aku tau De, it's journey of life. Sejauh apapun kita lari, sejauh apapun kita melangkah ujungnya pasti kematian, iya kan? Tapi gapapa, ayo tetep saling ada buat satu sama lain sampai saat itu tiba. Entah kapan itu terjadi. Entah nanti kamu dulu, atau aku dulu itu biar jadi urusan Tuhan", titah Arisha memotong ucapan Dean.
Dean tersenyum getir mendapati lampu lalu lintas yang berubah merah sembari mendengarkan dengan seksama apa yang Arisha ucapkan dibelakang sana. Suasana lantas berubah. Perasaan bahagianya hilang begitu saja dilahap sesak yang membunuh diam-diam.
"Zy, janji jangan pergi ya sampai waktu itu tiba? Pergi kalo aku udah ngga bisa buat kamu bahagia. Cari orang lain yang bisa bahagiain kamu lebih dari aku", cicit Dean. Begitu pelan, layaknya tikus yang mencicit. Siapa yang tau pria itu ternyata menitikan air mata dibalik kaca helmnya.
Semakin malam atmosfer sekitar menjadi lebih dingin. Namun, Dean merasakan kehangatan dari rengkuhan tangan Arisha di pinggangnya. Sementara tangan kiri Dean menggenggam jari jemari lentik Arisha, berusaha menyalurkan kehangatan miliknya melalui hal itu.
"Aku ngga akan ninggalin kamu walau waktu itu udah tiba De, ngga ada laki-laki yang pernah treat aku lebih baik daripada kamu dan Ayah. Aku bakal disamping kamu selamanya. I love you", Arisha kembali menyandarkan kepalanya di punggung pria itu. Memejamkan manik matanya yang dipenuhi cairan seperti kaca bening yang perlahan meluruh pada punggung tegap didepannya.
"I love you too, Qianzy", ucap Dean dengan menahan tangisan semampunya.
'Mungkin saat ini, kamu tidak tau tentang kondisiku yang sebenarnya, tidak apa. Biarkan waktu yang menyampaikan semuanya padamu, karena jika aku, aku tidak tau bisa mengatakannya atau tidak. Setidaknya kamu akan mengerti walau ketika itu waktuku benar-benar selesai'
❤
"Rafa!", panggil Arisha ketika melihat Rafa dengan kemeja hitamnya sedang berkaca pada kaca mobil miliknya. Gadis itu kemudian sedikit berlari untuk mengejar Rafa yang berada sekitar 5 meter dari tempatnya berdiri saat ini.
"Apa?", jawab Rafa dengan malas. Padahal pagi ini terlalu ceria untuk dihabiskan dengan malas.
"Lo udah baikan?", tanya Arisha setelah sampai didepan Rafa.
"Udah, buktinya gue udah ngampus"
"Gue khawatir banget kemarin, syukur kalo lo udah baikan", tutur Arisha dengan tulus.
Namun tanpa gadis itu duga, Rafa secara tiba-tiba memeluknya. Gadis itu sempat sedikit terhuyung karena Rafa menumpukan semua berat badannya padanya.
"Raf, lu ketempelan? Jauh-jauh gih", risihnya.
"Gini bentar", bisik Rafa. Arisha tidak tahu kenapa atau ada apa. Namun tanpa pikir panjang akhirnya gadis itu balik merengkuh tubuh tegap didepannya.
Satu pekan setelahnya...
"Heh, lo", panggil Dean kepada seorang pria jangkung yang sedang membelakanginya. Sementara yang dipanggil kini menoleh.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...