15#EMERALD

89 44 118
                                    

Selasa pagi ruangan anak hukum cukup riuh. Ditambah Danan yang masih bicara mengenai banyak rumor yang berpendar tentang Dean dan Eliza, membuat telinga Arisha panas.
Arisha semakin tidak suka dengan arah pembicaraan ini, apalagi wajah Danan dan Rafa yang menatapnya penuh harap untuk sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan aneh mereka.

Juga dengan semua 'dengar-dengar' yang Danan dengar, entah darimana ia mendapatkan berita itu. Pasti Mahasiswa dan Mahasisiwi gabut yang sedang tidak dan belum menggarap skripsi yang menyebarkan rumor seperti ini. Kehidupan orang lain layaknya hiburan dan topik hangat yang sangat wajib dibicarakan bagi mereka. Mungkin kampus-kampus di Indonesia kini membutuhkan jurusan Manajemen Perghibahan untuk manusia sejenis Danan. Tapi Arisha memilih tidak peduli, tinggalkan persoalan Danan, namanya juga Cabe Kampus. Arisha tidak mengerti bagaimana Razeta menghadapi Danan selama ini.

'Kenapa harus si Eliza sih, kenapa tugas kemanusiaannya tidak diperpanjang seumur hidup saja. Lalu apa Dean sedang bersama Eliza saat ini? Ah engga-engga. Engga boleh.', batin Arisha di tengah keributan manusia-manusia sekitarnya.

Hatinya terasa sedikit sesak. Padahal Arisha tahu seharusnya dirinya tak perlu begitu, dia memang egois. Lalu tanpa menjawab barang sepatah katapun semua pertanyaan Danan, Arisha melesat secepat mungkin keluar dari ruang kelas fakultas Hukum itu. Meninggalkan Danan dengan segala gerutuannya.

Disebuah bilik kamar mandi wanita Universitas Indonesia, Arisha duduk terpekur menekuk lutut-memeluk dirinya sendiri. Gadis itu menangis tersedu sambil sesekali memukul pelan dadanya yang terasa penuh. Hatinya tidak bisa berbohong, dia begitu merindukan Dean sekarang. Hanya beberapa hari tanpa Dean saja, separuh hidup Arisha rasanya hilang dan membuatnya tidak tahan. Bagian lucunya, dulu Arisha berpikir bisa hidup tanpa Dean.

Ditambah lagi saat ini Arisha harus menghadapi kenyataan bahwa ia akan segera dipinang. Walaupun hanya bohongan, tetap saja di pinang bukan? Lalu, bagaimana jika rencana ini tidak berhasil, haruskah ia hidup dengan pria yang tidak dicintainya? Mengapa Tuhan memisahkannya dengan laki-laki yang amat disayanginya, kemudian dipaksa untuk menerima pria yang amat dibencinya seperti ini? Apakah Rafa memang lebih baik untuknya daripada Dean sendiri? Entahlah. Dalam bilik yang sepi, pikiran Arisha terlalu ramai untuk dihadapi sendiri.

Pada akhirnya Arisha memuntahkan segala sesak dadanya-menangis sejadi-jadinya. Sampai lima menit berselang, dering ponsel menghentikan tangisnya.

'Bank Nasional Ica'

Nama itu terpampang begitu jelas dilayar ponselnya. Setelah menetralkan kembali nafasnya yang sedikit tersengal, Arisha menggeser log hijau-mengizinkan panggilan itu untuk tersambung.

"Assalamualaikum, sayang", sapa seseorang dari seberang panggilan.

"Waalaikumussalam Bun, ada apa?", jawab Arisha.

"Nanti selesai kelas langsung pulang ya, bantuin siap-siap", ujar Bunda menginterupsi.

Jantung Arisha serasa melompat keluar mendengar hal itu dari Bunda. Matanya kembali memanas, menandakan cairan bening akan segera keluar dari netra indahnya. Arisha juga tak habis pikir, kenapa Bunda tiba-tiba sangat bersemangat akan pertunangan ini. Padahal sepengetahuan Arisha, Bunda pasti akan lebih memilih Dean ketimbang Rafa. Sama seperti dirinya.

"Ca, denger Bunda kan?", titah Bunda lagi sebab tak kunjung mendapat jawaban.

"I-iya Bun",

"Yaudah, Bunda tutup dulu ya teleponnya,  ada banyak kerjaan di rumah, Assalamualaikum", ucap Bunda terdengar begitu senang.

"Waalaikumussalam", cicit Arisha pelan.

Sesaat Arisha mengusap wajahnya kasar,  kemudian berdiri mengahadap cermin di wastafel kamar mandi. Untung saja kelas sedang berlangsung sekarang, jadi kamar mandi lebih lengang dan membuat Arisha leluasa untuk menangis disana. Katakanlah Arisha seperti penunggu kamar mandi kampus saat ini.

COIN || Dean Abimana PutraWhere stories live. Discover now