Rafa pernah dengar bahwa hidup adalah tentang proses. Tentang bagaimana proses kita untuk tetap terus bertahan dan berjalan. Mungkin bisa dibilang, sistem proses dalam kehidupan berjalan layaknya butiran salju. Tak peduli sekecil apapun itu. Tak peduli jika itu hanya butiran yang rapuh. Jika terus dibangun dengan tekun, suatu saat itu akan menjadi sebuah bola salju raksasa. Mungkin sesekali bola salju tersebut akan hancur, tapi ketika itu terjadi, jangan menyerah tapi buatlah lagi yang jauh lebih besar.
Layaknya butiran salju impian yang berusaha dibentuk, Rafa juga pernah berjalan untuk itu. Tapi ketika dia melangkah, entah mengapa orang-orang disekitarnya terasa sudah berjalan sangat jauh. Meninggalkannya berdiri sendiri. Meninggalkannya dengan dunianya yang terhenti. Rafa selalu melihat kedepan, tapi bukan untuk melihat bagaimana sinar harapan bersinar lebih terang. Karena ketika melihat kedepan, yang Rafa lihat hanyalah punggung orang-orang yang mulai memudar. Rafa selalu berharap tak masalah jika hanya satu orang, tak apa jika hanya sesekali, siapapun yang ada disana berbalik dan mengulurkan tangan untuknya. Mungkin seperti yang Arisha lakukan malam ini.
"Gue punya semua kelihatannya, kan? Tapi sebenernya, gue ngga punya apa-apa. Ini sama sekali ngga ada artinya buat gue.....", Rafa terlihat berhenti sejenak sebelum akhirnya bicara lagi.
"..... Sejak masuk SMP, temen-temen, kakak senior semuanya ngerundung gue. Gue ngga tau ada salah apa gue sama mereka, sampai-sampai mereka semua ngelakuin hal sejahat itu ke gue. Dan ketika itu, ngga ada yang pernah nolongin gue sama sekali. Mereka semua seolah ngga liat kondisi gue yang menyedihkan itu setiap hari. Mereka ngelewatin gue seakan-akan ngga pernah ada sesuatu yang terjadi. Lo ngga akan pernah tau rasanya. Enakan jadi lo, anak baru tapi dapet banyak perhatian dari mereka, ngga kayak gue", jelas Rafa dengan tangan terkepal menahan tangis yang sangat ingin diluapkannya sekarang.
"Terus kalo dirumah, gue berharap ada orang yang mau dengerin cerita gue, atau paling engga ada yang sekedar tanya 'gimana sekolahnya?' 'hari ini gimana berat ya?' 'gapapa besok pasti lebih baik, istirahat dulu ya'. Tapi gue sadar ngga pernah ada yang dateng ke gue buat sekedar basa-basi kayak gitu. Papa mama gue selalu sibuk sama kerjaannya masing-masing. Ngga pernah ada satupun yang tau gimana sakitnya gue selama ini. Gue ngga pernah punya temen", sambung Rafa lagi dengan panjang lebar. Saat ini dia sudah menangis dan meraung sejadi-jadinya.
Dari balik pintu, ada Papa dan Mama Rafa yang lebih menangis dari itu. Mereka mungkin tidak meraung seperti Rafa, hanya menangis dalam diam. Tapi bukankah itu jauh lebih sesak dari kelihatannya? Mereka tenggelam dalam penyesalan dan perasaan bersalah masing-masing. Mereka terlalu mengukur kebahagiaan sang putra dari segi materi, padahal satu hal yang putranya butuhkan hanyalah dekapan hangat dari yang namanya keluarga. Sesederhana itu. Sementara Arisha mematung menatap nanar remaja yang tersungkur didepannya saat ini.
"Maaf, gue ngga tau ternyata luka lo separah itu", celetuk Arisha yang kemudian berlutut menyamakan posisinya dengan Rafa.
"Tapi sekarang, lo punya gue Fa. Kapanpun lo butuh, cari gue ya? Kalo lo butuh tempat buat cerita, temen main, atau rumah buat lo pulang kalo keluarga lo lagi sibuk, lo bisa dateng ke gue", Arisha remaja berusaha menenangkan.
Saat Arisha mengatakan hal itu, tembok besar yang menghalangi Rafa untuk menyamakan langkahnya dengan orang lain seakan rubuh tak bersisa. Hatinya menghangat, matanya memanas. Bulir bening kembali turun dengan bebas membasahi pipi dengan noda darah itu. Tapi kali ini dia tidak meraung, hanya sedikit terisak. Melihat Rafa yang mulai tenang, Arisha memberanikan diri menyentuh tangan kurus itu. Dingin, hanya itu yang dirasakan oleh Arisha. Arisha lalu mengambil cutter yang ada ditangan kanan Rafa.
"Lo bener, gue ngga tau apa yang lo alami. Tapi kata ayah, Tuhan ngga akan ngerubah nasib seseorang, kecuali orang itu mau berusaha untuk itu. Dan lo bisa mulai itu dari sekarang, karena lo udah punya temen. Nanti kita liat bareng-bareng gimana sistem usaha bekerja didunia ini, ya?", lanjut Arisha.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...