Senin pagi, terhitung sudah 5 hari semenjak insiden pengembalian cincin oleh Arisha. Dan selama itu juga Dean berada di Rumah Sakit Permata Depok. Di setiap harinya, setiap membuka mata yang pria itu tanyakan hanyalah tentang keberadaan gadisnya. Sometimes, Dean mungkin lupa dan masih menganggap Arisha sebagai tunangan yang akan datang padanya dan memperdulikannya. Juga, mungkin saja karena Arisha yang sudah mengisi hampir seluruh hatinya, sehingga sangat sulit untuk Dean menerima keadaan yang sebenarnya.
"Tadi malem Qianzy ke sini?"
"Qianzy mana? udah pulang ya?"
Pertanyaan semacam itu terus berulang setiap hari. Namun disetiap pertanyaan, jawabannya akan selalu sama 'tidak, belum' dan tak pernah berubah.
Hari ini hari ke-6, cuaca kota Depok cerah namun sebagian tertutup awan. Cuaca yang paling Dean sukai, karena memang dari awal pria itu penyuka hujan dan awan yang memenuhi cakrawala. Itu bagus, Dean suka hujan dan Arisha suka warna-warni pelangi. Kombinasi yang sempurna, bukan? Seakan menunjukkan bagaimana Dean rela jatuh sejatuh-jatuhnya ke permukaan bumi layaknya hujan, demi kemunculan pelangi yang begitu Arisha dambakan.
Tadi malam sempat turun hujan, namun pagi ini cukup cerah seakan mentari ingin menguapkan banyaknya air yang turun semalam. Karena memang begitulah siklus alam, hadir untuk pergi dan diganti dengan sesuatu yang baru-yang lebih baik. Layaknya sinar kemuning matahari pagi yang menyeruak masuk melalui celah jendela, nuansa ceria di luar sana ikut merasuk ke dalam sebuah ruangan Rumah Sakit berangka 007 itu.
"Karena kondisi pasien yang semakin baik dan stabil, pasien di bolehkan untuk pulang. Tetapi pola makan dan obatnya harus selalu di jaga dan di perhatikan ya Bapak dan Ibu?", titah dokter Iwan dengan ramah.
"Tentu dok", ucap Papa Haziq.
"Ah iya, ada sebuah kabar baik. Kemarin ada seseorang yang memberikan donor hati kepada Rumah Sakit ini. Jadi, pekan depan kita bisa menjalankan operasinya", ujar dokter Iwan lagi. Semua orang di sana selain dokter Iwan dan nurse cantik ber-name tag Indriyastuti itu, membulatkan mata hampir tak percaya.
"A-apa dok? Jadi, anak saya sudah bisa di operasi pekan depan?", tanya Mama memastikan.
"Iya, Insya Allah. Awalnya saya juga mengira itu akan butuh waktu yang lama, karena biasanya tidak terlalu banyak orang yang bersedia mendonorkan hati mereka. Karena tidak seperti ginjal, manusia hanya memiliki satu hati di dalam tubuh. Tapi alhamdulillah, Tuhan mengirimkan pertolongan melalui pendonor itu secepat ini", jelas dokter Iwan.
"Dok, kalau orang itu mendonorkan hatinya untuk saya, apa dia akan tetap baik-baik saja?", sahut Dean tiba-tiba. Membuat Dokter Iwan tersenyum ramah.
"Tenang saja. Biasanya dalam pencangkokan hati, hati dari si pendonor bisa tumbuh kembali kok", jelas dokter Iwan sembari memberikan tepukan pada bahu Dean.
"Kamu baik ya. Disaat seperti ini, masih memikirkan bagaimana keadaan orang lain", kata suster Indri.
"Iya dong, gimana udah cocok belum sama kriteria suami mbak?", Dean sedikit menyengir sembari menaik turunkan alisnya.
Suster Indri hanya tersipu dengan pipi yang bersemu sementara seisi ruangan termasuk dokter Iwan dan Eliza tergelak bukan main dengan kelakuan Dean.
Di sepanjang jalan pulang, tak hentinya Dean memamerkan deretan gigi putihnya. Hatinya cukup berbunga mengingat bagaimana dia akan bisa bertemu dengan Qianzy lagi, ah tidak, maksudku Arisha. Walaupun saat ini Dean sudah tidak memiliki hubungan istimewa lagi dengan Arisha, setidaknya Dean tetap bisa melihat wajah cantik milik gadis itu. Hanya dengan melihatnya saja sudah cukup untuk mengobati rasa rindu yang membuncah dalam hati Dean yang hampir mati.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...