"Gue sayang sama Dean, Sha..."
Setelah bagaimana Eliza mengakui tentang bagaimana perasaannya pada Dean selama ini, tak ada yang bersuara di antara mereka. Ada jeda yang tidak sebentar antara keduanya. Jeda yang dingin sebab terlalu banyak kebencian diantara Arisha dan Eliza, atau mungkin karena yang biasanya membawa kehangatan pada hati mereka telah pergi.
"Kenapa lo ngga jujur dari awal?", tanya Arisha memecah keheningan.
"Karena gue takut. Gue takut setelah gue jujur ada jarak canggung antara gue dan Dean. Karena dia berharga banget buat gue", jelas Eliza. Kini raganya yang lelah ikut ia istirahatkan pada kursi kayu tua di utara danau yang terlihat begitu tenang.
"Terus kenapa lo punya keberanian buat deketin dia lagi setelah dia jadian sama gue?", tanya Arisha mengintimidasi.
Nada bicaranya yang begitu dingin seakan memberi tahu Eliza bahwa gadis itu tak seharusnya melewati batasannya.
Mendengar pertanyaan itu, Eliza berdecih pelan.
"Gue benci lihat lo yang ngga pernah lihat ke arah Dean dengan tatapan yang sama kayak apa yang Dean kasih ke lo. Gue bisa kasih tatapan yang lebih tulus daripada lo Sha", gadis itu bersedekap dada, namun menghujani Arisha dengan tatapan yang sama tajamnya dari tempatnya duduk saat ini.
Arisha juga tak mau kalah. Ia menatap Eliza dengan tatapan kebencian yang dimilikinya. Menyebabkan keduanya kini saling melempar tatapan tajam, dan seolah setiap kedipan dari kedua manik mata mereka merupakan tabuhan genderang perang yang menggema.
"Tapi lo ngga bisa walaupun lo ingin Liza!", geram Arisha.
"Kalau bahasa tubuh dijadikan patokan perasaan, terus apa gunanya hati? Cara orang mencintai itu beda-beda, lo ngga bisa samain. Karena semua orang ngga kayak lo. Everyone have their own way", imbuh Arisha.
Arisha mulai muak dengan Eliza. Arisha pikir Eliza adalah gadis cantik dengan integritas tinggi. Rupanya Eliza tak ubahnya gadis bucin dengan pemikiran sempit. Mungkin untuk mata kuliah, ia juaranya. Tapi kemampuan Arisha dalam pemahaman tentang manusia jauh lebih baik. Setidaknya Arisha tidak pernah menuntut orang-orang disekitarnya untuk mencintainya. Arisha juga cukup sadar diri, tak seperti Eliza.
Lalu layaknya danau tenang yang menyimpan banyak bahaya didalamnya, Eliza beranjak dari tempatnya duduk. Dengan bola mata yang mulai menggelap layaknya langit Depok saat ini, ia menyodorkan sesuatu pada Arisha.
Sebuah amplop berwarna mauve dengan aroma yang begitu khas. Aroma woody favoritnya selama 1 setengah tahun terakhir-aroma yang menjadi ciri khas Dean. Lembut nan menenangkan namun tetap tegas, mirip pria itu.
"Dean titip ini ke gue, buat lo", cicit Eliza. Saking lirihnya, Arisha kesulitan untuk memahami apa yang gadis itu katakan. Namun aroma yang sudah sedikit tersamarkan-mungkin sebab parfum Eliza, sudah cukup mampu menjelaskan semua rasa keingintahuan Arisha.
Dengan tangan yang bergetar, Arisha meraih amplop itu. Kini matanya kembali memanas. Sebab ketika ia menyentuh amplop itu, rasanya pria itu ada di sini. Dean ada di sini. Memeluknya, mendekapnya, mengelus punggungnya yang bergetar sebab tangis, sembari mengatakan 'semua akan baik-baik saja' seperti biasanya.
"Dibaca, gue tunggu di mobil", lalu Eliza menghilang diantara banyaknya pepohonan besar yang menjulang di sini.
Setelah melenggang pergi dari hadapan Arisha, tujuan Eliza bukan langsung ke mobil. Setidaknya ia harus mengucapkan sampai jumpa yang layak untuk mewarnai kepergian bukan?
Bukan sebuah ucapan selamat tinggal-seperti yang dikatakan orang-orang kebanyakan, karena baginya tak ada perpisahan dengan kata selamat. Alih-alih selamat tinggal, ia akan mengucapkan sampai jumpa. Karena ia yakin, suatu saat nanti dirinya pasti akan bertemu dengan Dean lagi. Setidaknya sekali lagi, di alam yang berbeda.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...