Semenjak sore langit sudah kelabu, menandakan bagaimana hujan akan kembali menyapa bumi dengan dingin, sekali lagi. Menjelang waktu maghrib, rintik hujan pertama turun. Disusul jutaan rintik lainnya yang berlomba-lomba mencapai kering kerontangnya bumi sebab pemanasan global yang terjadi. Menyebabkan bau petrikor menjalar diseluruh kota Depok.
Seharusnya cuaca menenangkan seperti ini dapat membantu saraf-saraf untuk lebih rileks. Namun, sebuah kenyataan bagai pil pahit terpaksa harus ditelan mentah-mentah oleh beberapa orang di malam dingin itu.
Layaknya bumi yang membiarkan dirinya basah oleh kedatangan hujan, orang-orang itu juga tak bisa melakukan apa-apa.
Seperti yang dialami Eliza sekarang ini. Selepas sholat isya' tadi, baru saja ia menandaskan secangkir kopi Americano buatannya sendiri. Merebahkan dirinya pada kursi santai dekat balkon kamar sembari menghirup aroma khas hujan dan kopi yang membaur, memanjakan indra penciuman serta menemani serpihan memori pekan lalu, dimana ia pergi bersama Dean. Seseorang yang bagaikan gula pasir dalam kopi pahitnya.
Eliza dan Dean memiliki cukup banyak kesamaan. Mungkin karena itulah mereka mampu bersahabat selama 2 tahun ini tanpa perselisihan yang berarti. Atau mungkin juga, sebab munculnya perasaan yang tak dapat terkendali.
Eliza ingat ketika orang-orang sering berkata padanya 'tak ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan'. Membuat Eliza mendecih sembari tersenyum tipis, sebab memang seperti itulah adanya.
Dean dan Eliza sama-sama menyukai hujan. Sering kali ketiganya-dengan Arumi-bermain air hujan layaknya anak berumur 5 tahun didepan rumah Dean. Setelah itu sama-sama menyeruput kopi dengan krim susu tebal buatan Mama Ana. Dilanjut dengan membaca novel-novel tebal di teras rumah, ditemani puluhan kelopak bunga lavender yang segar sebab air hujan yang menjadi favorit Arumi.
Tak sedikit dari buku yang mereka baca berakhir tak bahagia. Seolah menggambarkan bagaimana Dean dan Eliza yang sepakat untuk memeluk luka mereka lebih dalam dibanding melupakannya.
Bukannya putus asa, hanya saja kata Dean novel-novel dengan sad ending cukup mengajarkan banyak hal. Tentang bagaimana hidup yang tak selalu berjalan manis. Mengenai sulitnya perjalanan hidup yang sering membuat menangis. Mengenai bagaimana rumitnya permasalahan yang terkadang membuat kita harus mengorbankan semuanya. Serta tentang bagaimana rasanya kehilangan dan mengikhlaskan. Terkadang juga akan ada bagian dimana mereka digambarkan sebagai orang yang melangkah pergi meninggalkan semua hiruk pikuk dunia yang melelahkan.
Eliza tersenyum simpul sesaat sebelum ia ingat bahwa hari ini dirinya sama sekali belum mengunjungi Dean. Praktek-praktek yang dijalaninya hari ini membuatnya bahkan tak bisa bertanya 'apa kabar?' pada dirinya sendiri. Sebab pasti jawabannya tak baik. Karena itu dirinya berakhir di balkon kamar ditemani kopi pahit ini seorang diri.
Sebelum Eliza mengetik sesuatu pada kolom chat nya dan Dean, ponselnya lebih dulu berdering. Tanpa pikir panjang ia menekan log hijau, membuat panggilan itu tersambung.
Gadis itu sangat ingat bagaimana Arumi menangis tersedu ketika di sambungan telepon, mengatakan bahwa Kakaknya baru saja mengalami kecelakaan.
Ia ingat tentang bagaimana ia berjalan tergopoh ke Rumah Sakit dengan derai air mata. Ia juga ingat bagaimana dirinya sama sekali tak menikmati hujan gerimis yang turun malam itu, padahal sebelum ini ia tak pernah ingin tertinggal satu tetes pun rintiknya. Dan saat ini, tepat didepan matanya air mata jatuh berguguran begitu banyak berlomba dengan derasnya hujan yang mulai turun lagi diluar sana. Suara erangan kesakitan karena ditinggal pergi menggema diseluruh ruangan, menyamarkan suara hujan yang sangat disukainya.
YOU ARE READING
COIN || Dean Abimana Putra
Romance"Zy, kamu tau warna Coin?" Gadis itu hanya diam sambil menggelengkan kepala lucu mendapati pertanyaan tiba-tiba seorang Dean. "Coin itu sejenis abu-abu, dia sering dibilang warna abu-abu, padahal dia ngga seabu-abu itu buat dilihat", yang laki-laki...