Prologue

1.5K 167 22
                                    

Rumah Sakit Jiwa Gonjiam, dengan segala keanggunan dan misterinya, seperti sebuah novel hidup yang teranyam di tengah pepohonan rimbun di puncak bukit Gwangju, Korea Selatan. Sejak era pertengahan tahun 1950-an, bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu atas perkembangan kota, tetapi juga menjelma sebagai entitas yang menyebar ketakutan, memancarkan aura intimidasi yang tak terelakkan.

Bangunan megah ini bukan sembarang konstruksi, melainkan sebuah mahakarya arsitektur yang menjulang tinggi di atas tanah, menciptakan siluet yang menantang langit dengan garis-garis tajamnya. Gonjiam, namanya sendiri menciptakan rahasia yang mengelilingi setiap batu bata dan tiang penyangga, memanggil para pencari petualangan dan penggemar misteri untuk menjelajahi keunikan serta ketakutan yang mungkin tersembunyi di dalamnya.

Rumah sakit jiwa ini tidak hanya menjadi saksi bisu bagi kehidupan pasien biasa yang mencari pemulihan mental, tetapi juga menyimpan kisah-kisah kelam prajurit yang pernah mengalami depresi dan trauma dalam perang. Gonjiam menjadi tempat di mana para pahlawan yang terluka secara emosional mencari kedamaian dan kesembuhan, mencoba menyusun kembali diri mereka di tengah-tengah keheningan dan ketenangan yang disediakan oleh dinding-dindingnya yang megah.

Kisah misteri yang mengitari rumah sakit ini merambah ke setiap sudut, melibatkan lorong-lorong gelap dan kamar-kamar tertutup yang dipenuhi rahasia. Bagian dalam Gonjiam menjadi panggung bagi berbagai kisah yang menggugah imajinasi, menciptakan citra ketakutan yang melekat pada setiap sudut bangunan.

Meskipun terkenal sebagai tempat pengobatan terkemuka, aura misterius yang melingkupi Gonjiam masih terus menggetarkan hati mereka yang melewati daerah sekitarnya. Terletak di bukit yang terjal dan dikelilingi oleh pepohonan lebat, rumah sakit ini memberikan kesan aneh, membingungkan penduduk sekitar dengan suara-suara misterius yang kadang-kadang terdengar dari dalam temboknya yang tinggi.

Kehadirannya yang dominan di dekat pemukiman penduduk menimbulkan pertanyaan besar di benak mereka. Bagaimana mungkin suatu tempat yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi para pasien yang sedang mencari pemulihan dapat memiliki dampak yang begitu mengganggu bagi yang melewati di sekitarnya? Gonjiam, di tengah keindahan alam sekitarnya, berdiri sebagai monumen kelam yang menarik para penasaran untuk memecahkan teka-teki dan menjelajahi rahasia yang tersimpan di balik pintu-pintu tertutupnya.

"Jeffrey, sebelum kita memulai wawancara ini, kami ingin kau menyebutkan nama aslimu, usia, dan keadaan yang membawamu ke sini."

Jeffrey yang disebut namanya, mengenakan setelan jumpsuit putih lengan pendek yang wajib bagi pasien yang tinggal di sana. Dia duduk diam di meja baja, menghadap dua orang yang berkunjung hari itu.

Orang yang memperkenalkan dirinya sebagai detektif bertubuh tegap, dengan rahang persegi dan rambut cokelat tebal yang mulai memutih di pelipisnya. Dokter yang duduk di sebelahnya adalah orang yang kurus, gugup, dengan kepala berkilauan dan mata tegas. Keduanya menghabiskan 10 menit terakhir dengan diam membaca arsip kecil yang disimpan oleh pemerintah.

Kedua orang itu memperhatikan, Jeffrey membalas dengan ekspresi bosan yang kosong. Ia tahu apa yang ada di dalam arsip itu tidak banyak, karena menurut dokumen itu ia telah menghilang dan diduga tewas sejak lama. Dengan seringai bosan, pria paruh baya itu bersandar di kursinya dan berkata, "Aku Jeffrey Shin, umurku empat puluh dua tahun."

"Baiklah. Tiga hari yang lalu, kami menemukan beberapa mayat di suatu mansion. Kami memiliki bukti bahwa kau berpartisipasi dalam pembunuhan itu. Kami perlu tahu, siapa mereka? Dan kenapa kau melakukannya?"

"Kalian benar-benar mau tahu?" Jeffrey menjawab. "Pertama-pertama, pemuaian waktu telah memberi pandangan bahwa besaran waktu, panjang dan juga massa adalah besaran relatif atau dinamis."

Sementara dia terus mengoceh di luar topik, dua pria di depannya saling menoleh dan memberi kode dengan gelengan kecil. Meskipun mereka mulai bangun dan bersiap untuk meninggalkan ruangan, Jeffrey terus mengulangi kalimat teori sains itu berulang-ulang dan menghiraukan mereka.

"Permisi," kata detektif itu sambil melewati pintu, menemui kepala penjaga di sana. "Sepertinya dia belum cukup pulih, sebaiknya kalian menanganinya lagi."

Setelah kepala penjaga menunduk hormat, ia memberi kode dengan tolehan kepala kepada para petugas di sampingnya. Para petugas itu masuk ke dalam kamar Jeffrey berada, dan suara teriakan serak nan lantang pun terdengar begitu si detektif dan dokter meninggalkan tempat.

Sebuah suntikan jarum tebal ditikam pada leher Jeffrey, yang lengannya dipegang oleh dua petugas. Dalam posisi tak berdaya dan lemas, dia perlahan-lahan dilepaskan hingga ambruk ke lantai. Lalu para petugas berseragam serba putih itu keluar dan kembali mengunci pintu besi yang mengurungnya dari luar.


Saat dia berbaring di lantai dengan posisi miring, air matanya keluar dalam diam. Sinar matahari dari jendela berjeruji yang terletak hampir ke langit-langit menyinari tubuhnya layaknya lampu sorot.

BELDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang