10. Singer Wannabe

409 105 10
                                    

Pembunuh kanibal yang telah membunuh Johnny masih menjadi buronan yang dicari seiring berjalannya waktu. Meskipun publik masih berduka atas tragedi tersebut, ada satu individu yang diam-diam merayakannya, yaitu Rosé. Dia merupakan orang yang paling bersinar di kota tersebut. Kehidupan sehari-hari para penduduk lainnya tampak suram dan kelabu, sehingga mereka mulai melupakan kejadian pembunuhan itu. Sementara itu, pianis yang telah meninggal itu semakin terkenal, lagu-lagunya diputar di mana-mana. Hal ini selalu menyinggung Jaehyun, membuatnya merasa menyesal namun dia terpaksa harus menyembunyikan tindakan Rosé.

Sudah dua minggu sejak pemakaman, semua kembali normal di kota tersebut. Namun, ada perubahan yang terjadi di hadapan mata semua orang, meskipun tidak ada yang menyadarinya kecuali Lucas. Dia memperhatikan bahwa Jaehyun menghabiskan terlalu banyak waktu di kamarnya, membaca buku-buku tentang okultisme, makhluk mitologi, dan harta karun. Baru-baru ini, ia juga melihat bahwa Rosé dan tuan muda itu menghabiskan banyak waktu bersama.

Parfum vanila yang harum membawanya kembali ke masa-masa yang penuh gairah yang baru saja terjadi minggu lalu. Matahari terik memancar seperti peluru saat ia tanpa sadar berjalan di bawah sinarnya tanpa menggunakan tabir surya. Belalang-belalang melompat-lompat di udara kering, menciptakan decakan-decakan kecil saat dia menggelungkan lengan bajunya, membiarkan angin hangat menderu dan menggelitik kulitnya yang terasa begitu hidup saat dia tiba di rumah gadis yang baru saja dia mulai puja-puja dengan penuh semangat.

"Kau suka berkebun?" tanya Rosé, yang kecantikannya benar-benar memancar ketika dilihat dari dekat. Ia mengenakan topi hitam dengan tepi yang lebar, sarung tangan kulit hitam yang menutupi tangannya, serta sepatu bot hitam yang menambah kesan kontras dengan gaun putih panjang yang mengalir di tubuhnya.

"Tidak," jawab Jaehyun lugas.

Tiba-tiba, tawa lembut pun keluar dari bibir gadis itu. Ia melangkah menuju ke taman bunga di mana dahlia-dahlia sedang mekar indah. Dia membungkuk, memetik satu bunga dahlia dengan lembut, dan mengendusnya sedikit untuk merasakan aroma yang wangi. Pandangannya terpesona oleh keindahan bunga-bunga di sekelilingnya.

"Semuanya terasa begitu baik," gumam Rosé. "Aku berharap bisa hidup dalam momen seperti ini selamanya bersamamu."

Sekarang setelah ia menegakkan dirinya, bibirnya dengan lembut mencium kelopak dahlia yang dia pegang. Setelah itu ia memasukkannya ke dalam saku baju Jaehyun dan tersenyum lebar. Dia bersenandung begitu dia berbalik, meninggalkan pria itu dalam keadaan linglung dengan rona merah muda lembut menghiasi di pipinya.

Suasana terik di taman segera mereda ketika energi yang dulu menyesakkan berubah menjadi suasana yang menenangkan di sekitar. Rosé berseri-seri ketika Jaehyun dengan cepat memalingkan muka saat sudah hadir di sampingnya.

"Kau lucu saat sedang bingung," komentarnya membuat pria itu semakin tersipu malu. Rosé selalu menjadi orang yang pemberani setiap kali mereka sendirian dan begitu pula sebaliknya ketika mereka berada di depan umum.

"Hentikan," gumam Jaehyun melalui sikapnya yang pemalu, walau begitu wajahnya tetap tidak berubah, seperti dipahat dari sananya.

Rosé yang ada di sampingnya berbalik menghadapnya sebelum bergerak mendekat dan meninggalkan ciuman lembut yang panjang di pipinya, ia menghela napas sebelum bergeser ke bibir. Ia baru menarik diri ketika suara gemeresik semak-semak muncul di taman itu.

"Cuacanya semakin terik," ucap Rosé setelah menoleh. "Maukah kau mampir ke studioku sebentar? Aku punya piano, kau pasti akan menyukainya."

Diundang berkunjung dengan kedok melihat piano tentu membuat lelaki seperti Jaehyun tertarik. Pikirannya mengembara ke mana-mana, tetapi dia bukan orang cabul. Karena itu ia menahan diri, begitu tangannya ditarik oleh Rosé untuk langsung masuk ke studionya yang dekat dengan pondok di mana para pelayan tinggal.

Meskipun tidak ada serangga yang membuat bulu kuduk berdiri, kertas-kertas bertuliskan not musik berserakan di lantai. Sofa panjang berbahan kulit terlihat segera setelah mereka masuk. Satu-satunya jendela di samping sofa menyediakan oksigen.

"Maaf, studioku selalu berantakan." kata Rosé, seraya duduk di depan piano.

Jari-jarinya yang panjang dengan lembut memainkan tuts hitam dan putih, musik berdering melalui telinga Segera, Jaehyun duduk di sofa, lututnya terbuka lebar sementara kedua tangannya dirapatkan dan punggungnya dibungkukkan. Awalnya dia menikmati, hingga beberapa lama kemudian dia memanggil.

"Kita perlu bicara," katanya mendadak, di antara dentingan piano yang ditekan Rosé sampai akhirnya dia berhenti. "Apakah kau sudah mencoba makan hewan?"

"Kenapa aku harus melakukannya? Aku tidak lapar, aku masih kenyang."

"Aku mau membantumu keluar dari kutukan ini," cetus Jaehyun terang-terangan. "Tapi tampaknya kau tidak peduli soal itu."

Rosé mengangkat tangannya dari tuts lalu menyilangkan lengannya dan terkekeh menyepelekan, "Menjadi jelek adalah kutukan. Menjadi idola orang-orang dan tidak terbunuh bukanlah kutukan, Jeff."

Tak mau menyerah, Jaehyun memegang pundaknya. "Roseanne, tolong.." Dia terus mengemis.

Rosé menurunkan tangannya darti piano dan menunduk. "Jadi kau memang tidak suka padaku." Ia mencibir lalu menoleh ke arah Jaehyun.

"Tidak, bukan berarti aku tidak menyukaimu. Aku--"

"Pakailah jas yang bagus malam ini," potong Rosé. "Aku akan tampil di sekolah nanti malam."

• • •

Hari itu akan diadakan pentas seni di sekolah menengah atas. Oleh karena itu, para siswa dan warga sekolah akan merayakan pesta yang meriah pada malam itu. Sebagai pendamping sekaligus pengawas setia, Jaehyun mengenakan tuksedo dan memilih pergi ditemani asistennya, untuk menonton pertunjukan Rosé di sana.

Di bagian belakang panggung pementasan, gadis itu sudah memakai gaun coral muda berbahan tile, dengan pita hitam yang diikatkan di pinggangnya. Rambut panjangnya tergerai dan bagian bawahnya bergelombang. Dia melamun, menatap cermin meja riasnya.

Bibirnya pucat, pipinya mengecil, kantung matanya menggelap, dan muncul bintik-bintik hitam karena sinar matahari. Kesal dengan penampilannya sendiri, dia mengepalkan tinju dan membenturkan tangannya ke cermin. Cermin itu retak, membuat bayangannya semakin buruk, tetapi kemudian bola matanya melirik lipatan koran di meja rias. Di dalamnya tertera potret Jaehyun ketika dia diwawancarai.

"Ya ampun!" seru panitia acara yang ikut menemani dan menyaksikan. "Kau baik-baik saja?"

"Menurutmu?"

Sontak panitia itu menyambar kain sambil menyeka pecahan kaca di meja rias, "Jangan khawatir, aku akan melakukan yang terbaik. Wajahmu akan kubuat sangat--"

"Berhenti mengoceh dan lakukan pekerjaanmu!"

Di sisi lain, tepukan tangan nan meriah menjadikan Jaehyun terpaksa membuka matanya lagi dan mendapati dirinya mengantuk di antara penonton. Seorang lelaki tua berjas yang merupakan kepala sekolah membungkuk hormat di atas panggung setelah menyampaikan pidato panjangnya.

Atmosfer panggung pun meredup. Penerangan di atasnya selama beberapa saat tidak dinyalakan. Dari tengah tempat duduk penonton terdengar bisikan-bisikan orang yang menunggu penyanyi tampil dalam acara. Barulah giliran Rosé muncul, dengan stand mic dan lampu kuning menyinari wajahnya. Di belakangnya beberapa musisi siap mengiringi nyanyiannya.

"Hari ini kita telah kedatangan penyanyi yang baru saja debut, ini dia Rosé!"

Senar bass, terompet, dan biola mulai beraksi. Ketiganya menyatu, melebur menjadi satu. Sebuah ciri khas dari lagu lama bergenre blues dan folk, Regret oleh Lim Ah Young. Para tamu yang hadir pun terdiam, menyimak dan menyaksikan gerak-gerik gadis di atas panggung, selaras dengan hentakan tempo lagu saat bernyanyi.

BELDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang