Mentari tidak habis pikir melihat banyak makanan di meja, padahal ia sudah bilang kepada Linda, hanya dua orang saja yang akan datang ke rumah. Nasi kuning, mi goreng, ikan, tahu, tempe, sayur dan sambal.Adilla sudah tidak sabar, ia cepat-cepat mengambil piring. Sementara Dean dan Dewi masih tampak malu-malu.
"Ma...,kan udah Tari bilang, nggak usah masak banyak-banyak. Mereka datang cuma mau kerja tugas doang, " bisik Mentari ketika berada di dapur bersama Linda sambil mencuci piring .
"Nggak apa-apa, " kata Linda sambil tersenyum dan masih fokus mencuci piring, "kamu kan jarang ajak teman ke rumah."
Mentari menghela napas. "Bukan itu masalahnya, Ma... nanti kalo makanannya nggak dihabisin gimana? "
"Tenang aja, nanti gue yang bawa pulang sisanya," ucap Adilla sambil mengambil beberapa piring bersih, Mentari hanya menatapnya datar dan Linda tertawa kecil.
"Boleh kan, Tante? "
"Boleh kok, Dilla makan aja sepuasnya di sini. "
Mentari memutar matanya malas, dan Adilla pergi sambil membawa beberapa piring.
"Ma... Bang Indra di mana? "
"Lagi cari ayam, kemarin sih merah nggak pulang ke rumah." Linda berdiri lalu membersihkan tempat cuci piring. Mentari mengikutinya lalu berdiri saja di samping Linda.
"Bang Indra ke tolak lagi ya, Ma? "
Linda terdiam, menghentikan kegiatannya dan menatap anaknya. Mentari sudah tau, tentang Linda yang sudah tidak bekerja lagi, saat ini Linda hanya bergantung dengan tabungan milik suaminya.
Linda menghela napas, lalu lanjut membersihkan tempat cuci piring. "Kamu berdoa aja, semoga Bang Indra bisa dapat kerja yang halal."
Mentari mendesah malas, lalu ia berbalik meninggalkan dapur dan menuju ke meja makan, berkumpul bersama teman-temannya. Ia sudah banyak berdoa, tapi Indra tetap saja di tolak. Sekarang Indra masih bekerja serabutan, yang gajinya masih belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mentari jadi ingin kuliah, terus setelah lulus ia ingin bekerja apa pun untuk menghasilkan uang banyak. Tapi, Mentari tau, semua itu tidak mudah. Ia ingat dengan tetangganya yang tinggal di dekat warung mbok Ati, sudah lulus kuliah tapi masih belum mendapatkan pekerjaan.
Mentari jadi tau, mendapatkan pekerjaan jauh lebih sulit, di bandingkan mengerjakan soal untuk lulus sekolah. Maka itu, Mentari berusaha untuk tidak mengeluh. Ia menuruti perkataan Linda, untuk terus sekolah. Tapi, ia juga bosan menunggu, dan kadang-kadang ia iri dengan teman-temannya yang bisa menjalani kehidupan SMA yang bahagia, tanpa beban pikiran. Seperti Adilla, misalnya.
"Anak-anak, ayo makan! " ajak Linda sambil memberikan piring kepada mereka.
Dean tersenyum lebar, sambil menerima piring dari Linda.
"Ayo Wi, makan!" Adilla merebut piring Dewi, dan menyendok nasi kuning banyak-banyak, membuat Dewi panik.
"Jangan banyak-banyak, Dil."
"Gak apa-apa, gue tau lo lapar, makan aja sepuasnya, anggap rumah sendiri." Adilla meletakkan piring di depan Dewi, pemilik piring itu menelan ludah. Apa ia bisa menghabiskan nasi sebanyak itu, sepertinya Dewi harus menghabiskan makanannya, karena tidak enak dengan Ibu Mentari.
Dean tertawa, Adilla sudah bersikap seperti rumah Mentari adalah rumahnya sendiri, sementara si pemilik rumah hanya diam saja. Dean jadi terharu dengan persahabatan mereka. Dean berniat untuk mengambil sedikit nasi, tapi Adilla sudah menyendokkan nasi di piringnya, banyak seperti punya Dewi.
"Nggak usah malu-malu, Dean. Udah makan aja, lo pasti nggak pernah makan nasi kuning kan? Nih gue kasih banyak ke elo. "
Dean tersenyum paksa, melihat nasinya yang terlalu banyak. Astaga, padahal ia tidak pernah makan nasi sebanyak itu. "Ma-makasih... "

KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Pagi, Mentari
Подростковая литератураCerita tentang Mentari, Adilla, Tasya dan Dean yang melewati masa remaja di awal tahun 2000-an Cerita ini terinspirasi dari drama korea populer, Repply 1988