Mentari dan Adilla berjalan lemas menuju kelas. Tidak ada pertengkaran atau kejahilan Adilla seperti biasanya, saling diam hingga akhirnya mereka sampai di kelas, di sambut oleh Tia dan Rahel yang sama lemasnya dengan mereka."Gimana? " Rahel langsung bertanya dengan tidak sabar ketika Adilla baru duduk di bangkunya.
Adilla menghela nafas. "Hancur. "
Mentari langsung menjatuhkan kepalanya di meja, menutupi wajahnya. Sementara Tia mengangguk-angguk dan Rahel hanya menatap kasian ke Adilla yang sama murungnya dengan Mentari.
"Sia-sia aja kita belajar. " Tia mulai bersuara sambil makan mi mentahnya. "Ngga ada yang masuk di otak."
Rahel menghela nafas, sementara Mentari dan Adilla hanya diam saja. Sebentar lagi ujian akhir di mulai, Mentari dan Adilla di suruh untuk menghadap Bu Rika. Bu Rika memberi nasihat, mengatakan kepada mereka untuk belajar dengan benar, karena di kelas nilai mereka berdua yang terendah terutama Mentari. Bu Rika juga mengatakan agar Mentari tidak tidur di kelas dan Adilla tidak membolos lagi, jika mereka masih tidak berubah, maka Mentari dan Adilla terancam tidak naik kelas.
Mentari tidak menyangka, nilainya lebih rendah daripada Rio dan teman-teman nakalnya. Kalau sama Adilla sih, dia biasa saja, tapi sama Rio... Rasanya Mentari mau pindah sekolah saja, sangat melelahkan untuk orang bodoh sepertinya.
Sementara Adilla, dia jadi sedikit menyesal karena terlalu meremehkan guru-guru yang sudah berusia lanjut. Ia sering berbohong, mengatakan ingin ke kamar mandi, tapi ia malah pergi bersama Intan dan tidak kembali sampai jam pulang sekolah. Ternyata guru-guru itu tahu ia berbohong dan melaporkan kepada wali kelas, lalu Bu Rika mengancamnya akan memberi tahu Gina, jika Adilla tidak berubah. Sebenarnya Adilla tidak peduli, saat SMP dia jauh lebih nakal daripada yang sekarang. Sering berkelahi, tidak acuh pada guru, bahkan ia pernah membuat Gina sangat marah dan mereka tidak saling bicara selama seminggu. Tapi, Adilla ingin menjadi dokter. Dan hal itu yang membuat ia murung.
Setiap pulang sekolah, mereka selalu mampir ke rumah Tia. Kadang-kadang belajar, lalu setelah itu mereka berkaraoke. Melupakan pelajaran dan lebih banyak membahas lagu-lagu baru dan aktor-aktor tampan, yang tidak ada hubungannya dengan masa depan.
Tia menguap lebar, ia memasukkan bungkus mi-nya di kantong baju. "Gimana kalau kita belajar sama anak-anak pintar? "
Tiga orang yang sedang murung itu langsung menatapnya. Mentari mengubah posisi duduknya, dan menatap Tia dengan wajah mengantuk.
"Apa? "
"Ya... Belajar. " Tia terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Kalau belajar sendiri kita bisa bodoh terus, gimana kalau ajak anak-anak pintar belajar bareng? Walaupun Rio dan teman-temannya sering buat onar, tapi di kelas ini anak pintar lebih banyak. Ini kan kelasnya anak Fisika."
Apa yang dikatakan Tia ada benarnya, mereka langsung menatap seluruh kelas. Kelompok Rio sedang duduk sambil bercerita dengan suara nyaring, ada beberapa di antara mereka yang duduk di atas meja. Sisanya, sibuk membaca buku dan mencatat. Kalau saja Rio dan kelompoknya tidak ada, mungkin kelas ini jadi kelas yang paling sunyi di sekolah. Mata mereka terhenti, menatap ke bangku depan—ada Tasya, Dean dan Agung yang sibuk mencatat. Wajah Rahel kembali muram.
"Emang... Mereka mau terima kita? " tanya Rahel dengan suara pelan, tapi masih bisa di dengar temannya.
"Lo!" Adilla tiba-tiba berseru, ia kembali bersemangat sambil memukul-mukul bahu Mentari—yang dibalas dengan Mentari yang memelototinya. "Lo dekat kan sama Dean? Suruh dia aja, dia pasti mau ajari kita. "
"Benar, Dean pasti ngga akan nolak. " Tia ikut membenarkan.
Adilla semakin bersemangat, ia mulai mendorong-dorong Mentari. "Udah sana, bujuk dia. Lebih cepat lebih baik. "
![](https://img.wattpad.com/cover/264840209-288-k183105.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Pagi, Mentari
Novela JuvenilCerita tentang Mentari, Adilla, Tasya dan Dean yang melewati masa remaja di awal tahun 2000-an Cerita ini terinspirasi dari drama korea populer, Repply 1988