Sepulang sekolah, Mentari, Adilla dan Tia memutuskan untuk mampir ke rumah Rahel. Rumah Rahel lumayan jauh dari sekolah, tapi karena mereka naik mobil, perjalanan dari sekolah ke rumah Rahel jadi lebih cepat.Kompleks perumahan Rahel, terlihat sangat sunyi. Hanya ada beberapa mobil yang di parkir di pinggir jalan dan rumah-rumah yang terlihat kosong. Rahel bilang, para tetangganya memang selalu sibuk, hingga tidak ada waktu untuk berkumpul atau mengobrol. Rumah Rahel yang paling besar dan paling megah di kompleks perumahan itu. Tidak terlalu besar sih seperti rumah Dean, pekarangan rumahnya juga tidak terlalu luas dan tampak sunyi seperti rumah-rumah disekitarnya.
Rahel tinggal sendiri, orangtuanya selalu tinggal di luar kota karena urusan pekerjaan, begitu juga dengan kakaknya yang berkuliah di luar negeri. Rumah itu dulu ditinggali neneknya dan saat neneknya meninggal, Rahel memutuskan untuk tinggal di rumah itu. Bersama pembantu dan satu supir. Ia juga memelihara seekor anjing, yang selalu menggonggong ketika melihat orang baru.
Mentari, Adilla dan Tia sudah tidak takut dengan gonggongan anjing Rahel, karena mereka sudah pernah datang ke rumah Rahel saat belajar kelompok di rumah Dean.
Rahel langsung mengajak teman-temannya ke dalam kamarnya dan menyuruh bibi untuk membawa minuman. Rahel mengajari Tia cara bermain PS2 yang hebatnya Tia langsung mengerti. Adilla dan Mentari sudah berbaring di kasur empuk milik Rahel, sambil membaca novel dan komik. Nyaman seperti berada di rumah sendiri.
Rahel langsung duduk di depan komputer, ia menyalakan komputernya dan membuka pesan di Yahoo messenger lalu membuka grup chat kelasnya. Matanya melotot, melihat Andra mengirimkan pesan, yang langsung disambut emot ketawa dari teman sekelasnya.
"Gila sih Andra."
Mentari yang sedang membaca novel, langsung menoleh ke arah Rahel yang sedang duduk di depan komputer.
"Kenapa?"
"Masa tuh cowok bilang, Pak Budi mirip Piccolo. Emang sih anjing, anak durhaka." Rahel tetap melihat ke arah monitor, jeraminya menari-nari di atas papan ketik membalas pesan Andra dengan makian.
Adilla yang sedang meminum air, langsung tersedak dan terbatuk-batuk. Sementara Mentari hanya menatap Rahel bingung.
"Piccolo siapa?"
"Itu loh, raja iblis di dragon ball, " jawab Rahel tidak sabar, ia kembali mengetik dengan emosi.
Mentari mengangkat bahu, ia sudah lupa dengan beberapa karakter di kartun masa kecilnya itu.
Adilla dan Mentari langsung mendekat ke arah Rahel.
"Emang anak kurang ajar, tapi... beneran namanya Budi?"
"Budi Setiawan," ralat Mentari.
Adilla langsung terkekeh. "Kenapa sih, namanya harus Budi?"
"Emang kenapa sih dengan nama Budi?"
Adilla memutar matanya malas. "Lo kayak nggak tau aja, nama Budi kan sering kita jumpai di buku-buku SD." Adilla tertawa lagi. "Gue jadi ingat, gue sampai hafal tuh nama, gara-gara muncul terus di buku bahasa indonesia."
"Benar." Rahel mengangguk, jeraminya sudah tidak di keyboard. "Pas pertama kali dia perkenalan diri, gue juga mau ketawa sih. Tapi tetap aja, Pak Budi kan orang tua."
Adilla menguap. "Lo terlalu serius kayak Tasya, nanti besok kita liat. Dia emang mirip Piccolo atau nggak."
Rahel memutar matanya malas. "Kita udah lihat kali, lo aja yang belum. Emang lo tadi ke mana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Pagi, Mentari
Fiksi RemajaCerita tentang Mentari, Adilla, Tasya dan Dean yang melewati masa remaja di awal tahun 2000-an Cerita ini terinspirasi dari drama korea populer, Repply 1988