Jenguk

4 0 0
                                        


Suasana pagi hari di sekolah sudah tampak ramai. Anak-anak manding sudah selesai menempelkan selembaran di mading sekolah. Ada puisi, cerita pendek dan beberapa pengumuman penting sudah tertempel di mading. 

Bukan puisi atau cerita pendek yang membuat Tia berdiri di depan mading sekolah pagi ini, ia fokus membaca pengumuman penting. Pengumuman beasiswa yang menarik perhatiannya pagi ini. Tia sudah berdiri lumayan lama di depan mading, ia sengaja melakukan itu karena terlalu malas untuk masuk kelas.

"Beasiswa ya...? "

Tia sama sekali tidak kaget dengan kedatangan Rahel yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya, Rahel ikut membaca pengumuman tentang beasiswa dengan wajah serius.

"Lo... beneran serius mau kuliah di luar kota?" tanya Rahel yang masih fokus menatap mading.

Tia mengangguk sambil membuka sebagian kancing jaketnya. Subuh tadi  hujan deras, dan akhirnya mulai berhenti pagi ini. Rahel menggesek kedua telapak tangannya, masih kedinginan.

"Kalo gitu, nilai lo harus bagus dong. Minimal sering masuk lima besar."

"Pasti dapat, " ucap Tia yakin. "Aku kan orang miskin."

Rahel menghela napas. "Amin... semoga lo dapat beasiswa terus jadi orang kaya."

Tia mengangguk, lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan ke kelas.

"Tapi, kalo lo beruntung, mungkin bisa dapat juara satu atau dua."

Tia menggeleng. "Ngga akan pernah, kalau masih ada Dean, Tasya dan Agung."

Apa yang dikatakan Tia benar, ia bukannya tidak percaya diri hanya saja tiga orang itu yang memang terlalu pintar, apalagi Agung yang rencananya akan mengikuti olimpiade. Selama SMP, Tia tidak pernah keluar dari tiga besar, nilainya selalu sempurna dan sering menjadi kebanggaan wali kelasnya. Saat pertama masuk SMA, Tia percaya diri bahwa ia masih bisa mempertahankan juaranya. Tapi sialnya ia bertemu Dean, teman satu SMP-nya yang paling pintar, lalu ada Agung dan Tasya. Tia sedikit stres, karena ia mendapat rangking sepuluh saat caturwulan pertama. Ia tidak menyangka dan mulai sadar akan posisinya. Tapi Tia tidak menyerah, ia mulai belajar bersama Dean, Tasya dan Agung. Tia jadi sedikit mengerti dan nilainya perlahan-lahan naik, ia mendapat rangking lima saat caturwulan ketiga kemarin dan mendapat pujian dari Bu Rika.

Tia hanya ingin mempertahankan peringkatnya yang sekarang, karena tidak mungkin ia mengalahkan Agung dan Tasya apalagi Dean. Menurut Tia, itu semua tidak akan terjadi.

"Ya... kan ngga ada yang tau. Makanya lo semangat belajarnya, biar bisa dapat beasiswa, biar bisa kalahin Tasya atau Agung."

Tia melirik datar sahabatnya itu. "Dari tahun kemarin udah semangat belajar."

"Lebih semangat lagi dong!" ucap Rahel dengan semangat, Tia hanya balas menguap. "Elo tuh keliatan lemah terus tau, kayak ngga pernah sarapan. Sekali-kali teriak kek, masa kemarin lo dapat juara lima muka lo kayak ngga ada senang-senangnya. Gue, Tari sama Dilla bahkan hampir nangis saking senangnya."

"Iya... iya..."

Rahel melirik jengkel, seperti biasa Tia hanya akan merespon seadanya, padahal ia sudah bicara panjang lebar. Rahel lalu berpikir, dan satu topik pembicaraan muncul di kepalanya.

"Eh, pulang sebentar jadi kan ke rumah sakit?"

Tia berpikir sebentar, Rahel menebak pasti Tia lupa siapa yang dirawat di rumah sakit.

"Siapa yang sakit?"

Benar ternyata, dia lupa.

"Dean, Tia.... Dean, teman SMP lo!"

Selamat Pagi, MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang