6 | go with the flow

14.5K 1.8K 198
                                    


Apakah setelah mengabaikan Regina, Ismail, dan semua orang, lalu pergi tidur sejak pagi hingga sore, Zane tiba-tiba terbangun di pelukan Sabrina di kamar apartemennya di Jakarta?

No fuckin way.

Meski sudah ditahan-tahan, dia terpaksa melek jam lima teng karena kelaparan. Dan yang pertama dijumpai olehnya adalah Sabrina keluar dari pintu kamar sebelah, dengan rambut semerah Mustang GT.

Zane sampai tercengang selama beberapa saat. Berpegangan erat-erat pada handle pintu kamarnya biar tidak pingsan di tempat.

Ya Tuhan, kenapa mimpinya awet banget sih?

Dan kenapa hari ini adalah hari di mana Sabrina kelihatan paling alay di matanya!?

Zane ingin menjitak pacarnya itu, kalau perlu menjedotkan ke tembok biar mereka berdua sama-sama bangun dari hal apapun yang membingungkan ini.

"Udah balik otak lo?" Sabrina Tanjung, belahan jiwanya tiga tahun mendatang itu menyapanya dengan gaya paling menyebalkan semuka bumi. "Ckckck. Kacau banget lo kalau lagi mabok. Jangan diulangi lagi, ya. Setidaknya, jangan di sini, pas lagi bareng-bareng cewek orang. Untung Bimo baek, lo ngoceh manggil-manggil 'Babe' ke pacar orang, dia kagak ambil pusing. Kalau yang lo panggil itu Regina atau Mbak Iis, bisa tinggal nama lo digebukin Bang Mail sama Bang Linggar."

Nyenyenyenye.

Zane menutup pintunya kembali, tidak sanggup menghadapi dunia.


~


Seolah menjilat liur sendiri, tidak sampai tiga puluh menit kemudian Zane kembali keluar kamar, dengan pakaian terbaik yang ada di lemarinya.

Apalagi yang akan dia lakukan kalau bukan menjemput Rachel? Dan mungkin dilanjut makan seafood sambil melihat sunset?

Tadinya Zane pikir, hidupnya akan segera kembali normal, jadi apa salahnya beramah-tamah?

Eh, apes. Setelah bangun tidur pun dia masih di sini, terlanjur mencegah Rachel pindah menginap di Mariott, dan bahkan menawarkan diri untuk menjemputnya setelah acara yang dia hadiri selesai, seperti sepatutnya yang dia lakukan apabila dia bukanlah Zane yang datang dari 2021.

"Elo dua tingkat lebih keren semisal pake sepatu yang tadi pagi, Bang. Gue nggak bilang sepatu lo yang sekarang nggak keren, tapi kebanyakan warna nabrak, bikin sakit mata. Mending ganti sama sepatu yang tadi pagi." Sabrina—yang kali ini duduk di sofa tamu berempat dengan Bimo-Agus-Mail—kembali ngoceh begitu melihatnya turun.

Tapi Zane tidak sedikitpun berniat menengok penampilannya dua kali.

Pertama, dia kesal pada Sabrina yang bisa-bisanya tidak punya firasat kalau kelak akan berjodoh dengan dirinya, dan malah diam saja dirangkul-rangkul Bimo.

Kedua, Zane sudah merasa keren. Nggak butuh dua bahkan sepuluh tingkat lebih keren lagi, segini saja sudah cukup.

"Yee, somsek. Nengok aja kagak. Padahal tadi pagi manggil gue 'Babe'!" Sabrina berdecih, makin mendekat ke rangkulan Bimo, seolah sengaja memanas-manasi Zane.

Bimo dan yang lain ketawa.

"Jawab dong, Zane. Kalaupun nolak sarannya, minimal bilang. Sabrina emang asal nyeplos ngasih saran tanpa diminta, tapi maksud dia baik, kan? Biar elo makin kece, apalagi mau ngedate." Bimo mendadak sok bijak. Bikin Ismail dan Agus tersenyum bangga punya teman kayak dia, sementara kedua temannya itu kemudian beralih menatap Zane dengan tatapan mencela, menunggunya bertindak.

Zane terpaksa senyum. "Thanks, sarannya, Sabrina. Tapi niat gue emang mau bikin orang sakit mata, kok. Jadi sorry, saran lo gue tolak mentah-mentah."

Bagaimana rasanya ngomong seperti itu ke pacarnya sendiri? Ngenes tapi rada-rada puas. Toh Sabrina belum jadi pacarnya di masa ini, dan seingat Zane, dulu hubungan mereka memang kurang baik. Kalau Zane bersikap sebaliknya, nanti dia dikira mabok lagi, kayak tadi pagi!

Sekali lagi, Zane menjeblakkan pintu. Tapi kali ini pintu depan, yang justru membuatnya terpaksa menghadapi dunia.


#TBC

#notdatingyetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang