7 | gotcha!

5.6K 846 136
                                    


Walau banyak pilihan lain, kalau ke Bali belum makan seafood Jimbaran, rasanya belum afdol. Maka dari itu, setelah menjemput Rachel di Mariott, Zane menawarkan untuk makan di sana.

Rachel langsung setuju.

"Temen-temen lo jam segini pasti belum pada makan. Mau dibungkusin sekalian?" Rachel yang baik hati dan tidak sombong bertanya ketika tidak sampai tiga puluh menit kemudian mereka berdua sudah duduk di salah satu meja strategis sebuah rumah makan, menatap sunset sambil membolak-balik buku menu.

"Nggak usah." Tentu saja Zane langsung menolak berbaik hati pada cecunguk-cecunguk yang tidak pantas disebut teman itu. Dia nggak akan lupa bagaimana seharian ini tidak satu pun di antara mereka yang memperlakukannya selayaknya teman. Kenapa juga dia harus memikirkan urusan perut mereka? Meski begitu, Zane harus tetap menunjukkan citra yang baik di hadapan Rachel. "Udah mabok seafood mereka. Kemarin habis ngeborong di Kedonganan."

Yes, he lied.

Mereka nggak pernah ke Kedonganan sama sekali. Sekalinya makan seafood bakar di Villa, Zane tinggal makan doang, nggak tahu Bimo dan yang lain-lain dapat seafood-nya dari mana.

"Bakar-bakar sendiri? Pada jago masak ya, temen-temen lo."

Zane mengangguk. "Ceweknya si Bimo tuh, kecil-kecil gitu berjiwa pembantu."

"Jahat banget." Rachel menabok muka temannya pakai buku menu sambil tertawa.

Akhirnya, mereka memutuskan memesan paket untuk dua orang saja biar lauknya nggak kebanyakan. Karena meski bentukannya tampak seolah strict banget menjaga diet, Rachel hanyalah warga negara Indonesia asli, yang kalau makan nggak bisa nggak pakai nasi.

Seafood platter mereka tiba setengah jam lebih kemudian karena antrean cukup panjang.

Wangi bumbunya sangat menggoda. Tapi baru makan sedikit, Zane bertanya-tanya, "Kurang pedes nggak, sih?"

Rachel menautkan alis. "Emang nggak mesen yang pedes."

"Pantes." Cowok itu manggut-manggut.

"Lo kan nggak doyan pedes." Rachel menambahkan, membuat Zane mendadak teringat Sabrina dan jadi kesal lagi.

Tuh cewek udah bikin lidah Zane jadi terbiasa dengan rasa cabe. Padahal dia nggak pernah suka sebelumnya.

"Iya sih." Zane berusaha mengabaikan hal-hal yang membuatnya nggak nafsu makan.

Merasa peka, Rachel menawarkan solusi, "Mau pesen yang lain?"

"Enggak, nggak usah." Zane segera menolak. "Nanti nggak abis."

Tapi tetap saja, karena keinginan lidahnya belum terpenuhi, meski perut sudah kenyang, sampai beberapa jam kemudian, rasanya masih ada mengganjal. Masih ada hasrat yang belum terpuaskan.

Mana dalam perjalanan menuju parkiran, Rachel pakai menawari pula. Jadi makin sulit Zane menahan hawa nafsu.

"Serius, udah nggak pengen? Nanti nggak bisa tidur lho." Begitu kata si cewek. "Kalau mau, ayo sebelum balik, mampir nyari yang pedes-pedes dulu."

Zane menimbang-nimbang sejenak.

Dalam hati merasa heran, karena nggak biasanya dia serewel ini terhadap makanan.

Dia hampir nggak pernah menginginkan sesuatu yang remeh sebegininya.

Tapi karena bukan perkara sulit untuk dipenuhi, dia pilih menuruti keinginanya saja.

"Ya udah deh, ayo," katanya memutuskan. "Coba bantu cari, ceker pedes adanya di mana, Rach."

"Hah? Ceker?" Satu hal lagi yang bikin Rachel ternganga. "Beneran?"

"Iya." Zane mengangguk mantap.

Syukurlah, ada kios yang menjual makanan tersebut tidak jauh dari tempat mereka berada saat ini, meski bukan searah dengan jalan pulang. Dan Zane memutuskan untuk take away saja karena sudah malam.

Tiba di villa, Zane basa-basi menawarkan yang dia beli ke yang lain, tapi dengan kampretnya Sabrina ngelirik doang.

"Maaf Bang, nggak doyan."

Mana ada nggak doyan, bangsaaat? Zane melotot. Siapa biang kerok yang bikin dia mimpi terlempar ke masa lalu gini kalau bukan Sabrina sialan??

Sambil menahan dongkol, Zane menuangkan bungkusan ceker pedasnya ke satu loyang kaca besar, untuk dipanaskan sebentar.

Rachel mencicip sedikit, sementara Zane makan dengan lahap, walau kelihatan sangat tersiksa.

Entah dia sudah habis berapa gelas air dalam kurun waktu lima belas menit saja.

"Minumnya air hangat, coba." Melihat muka temannya merah padam, dengan keringat bercucuran, dan mulut tidak henti-hentinya mendesis khas orang kepedasan, Rachel berinisiatif menuangkan air hangat dari dispenser dan mengulurkan padanya. "Lo kenapa deh? Kalau nggak doyan, ya nggak usah dipaksa."

"Doyan, kok." Zane mencomot ceker terakhir dan menyedot dagingnya yang lunak. Bumbu rica-ricanya memang enak. Rasa daun jeruknya segar. Tapi bukan itu alasan dia bisa makan dengan lahap, melainkan karena kebakaran jenggot melihat Bimo dan Sabrina sok asyik sendiri berduaan di lounge depan kolam.

Kalau dulu dia merasa Bimo adalah salah satu yang paling waras di antara dia dan teman-temannya yang lain, maka kali ini Zane bisa melihatnya dengan kaca mata lain.

Bimo itu predator, anjing! Bisa-bisanya kepikiran membawa pacar ABG-nya untuk tinggal bersama! Walau cuma dua bulan, dan Zane yakin temannya itu masih punya setitik moral untuk mencegahnya melakukan hal-hal gila dengan pacarnya, tapi tetap saja predator! Cowok waras mana ada yang berkelakuan seperti itu??

"Rach, menurut lo, kalau orang seumuran kita pacaran sama yang usianya belasan, katakanlah tujuh belas, baru banget punya KTP, termasuk grooming apa enggak?" Zane nyeletuk nanya sembari menjilat sisa bumbu yang menempel di gloves-nya.

Rachel menelengkan kepalanya sejenak, menyipit memandang siluet Bimo dan Sabrina tidak jauh di depan. "Lo lagi ngomongin Bimo?"

"Enggak," Zane cepat mengelak. "Secara umum aja, menurut lo gimana."

"Yaa ... nggak bisa langsung digeneralisir juga. Dua puluh-dua satu, sama tujuh belas, sejauh mana sih gap-nya? Apalagi kalau circle pergaulannya sama, background lain-lainnya sama. Ditambah, misal pihak yang lebih muda ini ambil sekolah fastrack, udah biasa bersosialisasi sama yang setahun-dua tahun lebih tua. Nggak bakal terasa jauh gap-nya. Ada juga yang lebih muda malah lebih dominan. Tergantung karakter dan situasi. Nggak selalu yang lebih muda rentan jadi korban grooming, dan nggak selalu yang tua itu manipulatif."

Mendengar jawaban Rachel yang panjang dan tidak memihak padanya itu, habis sudah sisa-sisa semangat juang Zane hari ini. Si cowok pun bangkit, melempar bekas glove-nya ke tong sampah, lalu memasukkan loyang kosongnya ke dishwasher.

"Udah. Gue kayaknya udah ngantuk banget."

Rachel melongo. "Nggak begah itu perut, abis makan langsung tidur?"

"Makan? Makan mah udah dari tadi di Jimbaran. Yang barusan ini kan ngemil."

"Serah lo deh." Rachel cuma sanggup geleng-geleng kepala.

Zane memberi tahu temannya untuk langsung menyusul masuk saja kalau sudah ingin tidur juga. Pintunya tidak dia kunci.

Bagusnya, baru beberapa saat berusaha untuk rileks dan merem di kasur, mengabaikan rasa-rasa meriang dan melilit, Zane segera terlelap.

Beberapa saat kemudian, dia terbangun setelah tidak lagi sanggup menahan sakit perut yang kian lama jadi kian luar biasa.

And, gotcha! He finally wakes up in a different bed!


#TBC

#notdatingyetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang