18 | segemoy ulat sagu

4.9K 784 152
                                    


Komen, gak??!! Kalo gak, yaudah. #AuthorPundung


Zane bangun di pelukan Bimo.

Menjijikkan, tapi ya udah lah, ya. Bimo tetap perlu diapresiasi karena telah menjaganya semalam suntuk.

Dengan mesra, Zane membisikkan ucapan terima kasih pada sang teman yang masih terlelap itu, sebelum kemudian merayap turun dari kasur dan beringsut keluar kamar.

Sudah bisa ditebak, begitu dia membuka pintu, yang pertama kali menyambut bukanlah sunrise, melainkan pelototan dari Sabrina.

"Udah diizinin numpang tidur, pake peluk-pelukan sama pacar orang segala!" Cewek jutek itu menyembur, seolah-olah Zane beneran doyan pada mas-mas blasteran Magelang-Pontianak yang masih ngorok di dalam kamar itu. Padahal mah amit-amit.

"Lo ngintip?" Zane balik bertanya.

"Ngapain ngintip? Orang pintu nggak dikunci. Tinggal buka aja!" Sabrina nyerocos.

Terlalu lapar untuk berdebat, Zane memutuskan mengangguk. "Iya, iya. Gue mewakili Bimo minta maaf kalau tuh anak semaleman peluk-peluk gue. Namanya juga tidur. Nggak sadar. Mungkin doi kebiasaan meluk guling, jadi refleks meluk apa aja yang ada di sebelahnya, yang kebetulan itu gue. Udah ya, kalian abis ini jangan berantem. Masih pagi. Nanti yang lain keganggu."

"Gue mau berantemnya sama lo, bukan sama Bimo!"

"Lho? Kan Bimo yang meluk gue? Terus salah gue di mana? Gue korban, Sabrina."

"Kan elo yang minta pindah kamar!"

"Tapi apa gue minta dipeluk?"

"Au ah!" Sabrina menyikutnya supaya menyingkir dari pintu kamar Bimo, supaya dia bisa masuk.

"By the way, lo bau asem. Mandi dulu gih, sebelum Bimo bangun dan ilfeel sama lo."

Zane menyempatkan diri mencari gara-gara sebelum kemudian menguap dan berlalu dari situ.

Hmm, capek juga berlagak tolol.


~


Melihat Ismail membawa Regina ke villa mereka pagi ini, membuat Zane menghela napas panjang ribuan kali.

Sebagai pria normal, Zane paham si Mail tidak bisa membiarkan Regina lolos begitu saja dari jangkarnya.

Dibanding Sabrina—yang kini sedang sibuk memamah biak pisang goreng dicocol saus sambal dengan muka konyolnya—Regina memang terlihat seperti wanita sejati.

Cantik, badannya bagus, pembawaannya classy, supel, seru diajak ngobrol. Apalagi karena dia bos Mail dan Agus di tempat kerja, sudah pasti isi kepalanya nggak bikin mual.

Ah, agaknya Zane harus berhenti membanding-bandingkan, jika tidak ingin move on dari Sabrina sebelum waktunya.

Alih-alih memandang Sabrina yang sekarang mentah-mentah, dia harusnya mengingat-ingat betapa menggemaskannya Sabrina tiga tahun mendatang. Betapa mereka berdua saling cinta mati.

"Kenapa, lo? Masih nggak enak badan?" Iis menyenggol lengannya, dan Zane segera sadar kalau dia kelamaan bengong. "Mau gue aja yang nyetir?"

"Nggak, dong. Gue aja, masa elo? Udah sehat banget, nih." Zane menyahuti ucapan temannya dengan manis, meski sebenarnya malas pergi.

Antara bosan dengan Bali dan seisinya, muak membayangkan drama yang akan terjadi beberapa minggu mendatang, juga capek bertengkar dengan Sabrina.

Akhirnya, setelah selama ini bersemangat memisahkan Sabrina dari Bimo, sekarang untuk pertama kalinya, Zane merasa tidak begitu berambisi.

#notdatingyetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang