29 | dusta, semua yang kau ucapkan itu dusta

3.7K 495 190
                                    










29 | dusta, semua yang kau ucapkan itu dusta






Suara ketukan di pintu depan membuat semua yang ada di ruang tamu menoleh.

Lain dengan teman-temannya yang bengong dan bertanya-tanya, Ismail langsung berdiri dari tempat duduknya. "Cewek gue dateng juga akhirnya!"

Cowok idiot itu memakai sandalnya dan beranjak menuju pintu.

Zane—yang sudah tersingkir ke dapur karena capek di-roasting—berdecak pelan, agak deg-degan.

Adegan suami Regina dateng ngelabrak itu ... kapan, sih?

Ingatan Zane nggak bagus-bagus amat, jadi setiap Regina datang menginap, bawaannya jadi nervous melulu, karena mau nggak mau harus siap selalu.

Waktu itu ... weekday kan, ya? Kalau weekend, mudah saja Zane menyelamatkan Sabrina dan Iis—serta Agus dan Bimo—dengan membawa mereka bersantai ke salah satu villanya. Tapi kalau weekday, bagaimana Zane bisa menghindar dari bertemu dengan suami Regina?

Kalau dia sendiri sih, gampang saja. Mau menghindar atau tidak, tidak jadi masalah. Kejadian itu tidak membuatnya trauma sama sekali. Jadi, kalau pun pagi-pagi mendengar ribut-ribut dari kamar Ismail, ya tinggal kunci pintu saja. Sedang Sabrina dan Iis? Dua cewek itu tidak sepantasnya menjadi saksi mata.

Mail yang berbuat dosa, ya biar Mail yang menderita sendiri saja, ya kan?

Zane mungkin tidak berniat membuat terlalu banyak perubahan, biar masa depan bahagianya bersama Sabrina nggak kenapa-napa. Tapi at least, sedikit menyelamatkan mental Sabrina dan Iis seharusnya nggak ngaruh-ngaruh amat ke masa depan, ya kan?

Toh, saat kembali ke villa dan mendengar kejadiannya dari mulut Ismail, mereka tetap akan kena mental juga. Zane hanya mengkorting sedikit.

"Malem, semuanya. Aku bawa sate kambing." Regina menyapa semuanya dengan ramah.

"Waaah, kebetulan, Rei. Kita belum pesen makan malem. Dari tadi pada ribut, nggak pesen-pesen." Gusti menyambar dengan tak kalah ramah, mempersilakan Regina duduk.

Ismail mengambil alih bawaan Regina dan meletakkannya di meja, kemudian menyenggol Gusti supaya ikut beranjak ke dapur untuk mengambil piring dan sendok-garpu.

"Mau es teh, Rei?" Ismail berseru ke pacarnya yang menunggu di living room.

"Sama kayak yang lain aja. Air putih nggak apa-apa." Regina menjawab santun.

Tapi Ismail sudah setengah jalan menyeduh teh ke di dalam sebuah ceret. "Es teh aja, deh. Gerah."

Selagi Ismail membuat minuman, Gusti meletakkan setumpuk piring di depan muka Zane. "Bantu bawa ke depan, gue bawa gelas."

"Kok? Gue kan nggak ikut makan?" Zane berdecih pelan.

"Lah? Kenapa?" Kontan Gusti sewot, diikuti lirikan tajam Ismail.

"Gue darah tinggi." Zane menipiskan bibir, kemudian melenggang dari meja makan begitu saja, hendak menuju ke arah pintu.

"Ngambek dia, Man. Abis diledekin tadi." Ismail meminta pengertian Gusti.

Gusti menggeleng-gelengkan kepala, pasrah melihat tingkah sohibnya yang lebih drama daripada cewek. "Dia itu onta apa ayam, sih, sebenernya? Cemen amat."


~


Zane nggak bisa tidur setelah melihat Sabrina, yang kembali merintih-rintih—kali ini karena sakit punggung—dibawa masuk ke kamar Bimo.

#notdatingyetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang