бочка жизни

165 81 1
                                        

Ruangan itu benar-benar gelap tanpa. Jika mengingat kondisi gudang yang memang tidak mempunyai fentilasi atau semacamnya, wajar jika gelap gulita, membuat mereka agak kesusahan untuk bernafas.

Tapi, suara seretan benda besi terdengar, telinga mereka seolah tersayat oleh nyaringnya suara tadi. Jay bahkan sampai tidak berani melangkah barang sejengkalpun dari tempatnya berdiri.

Di sisi lain, Nicholas mencoba menghentikan darah yang keluar dari kakinya itu dengan kemeja yang ia pakai, masabodo dengan kegaduhan para sahabatnya nanti kala melihat tubuh bagian atas Nicholas terekspos sempurna, toh mereka sama-sama lelaki.

"Kalian siap?"

Suara itu membuat Jay menelan kasar ludahnya. Berbeda dengan permainan-permainan sebelumnya, permainan kali ini sangat menguras kewarasan. Bagaimana tidak? Jika Jay dan Nicholas salah ambil tindakan, mau tidak mau mereka harus kehilangan salah satu dari mereka.

"Siap!" Jay seolah menguras habis rasa takutnya. Menabung rasa takut bukan hal yang bagus, ketakutan sering merebut semuanya, Jay trauma akan itu. Lebih baik gagal setelah mencoba. Kalaupun ia harus kehilangan, Jay tidak akan berlarut dalam penyesalan nantinya.

Setelah kata siap yang keluar dari mulut seorang remaja bermana Jay, ruangan gelap mendadak terang, memperlihatkan kelima teman-temannya yang sudah tidak sadarkan diri dengan mata tertutup kain hitam.

Kadang Jay bingung, seberapa cerdas otak pemilik game ini? Menciptakan berbagai permainan dengan petunjuk dan cara main yang luar biasa hebat, bodoh jika mereka bertujuh menganggap enteng itu semua.

"Nicholas?" Jay mencari keberadaan saudaranya, Nicholas, yang sedari tadi hanya bisa tersenyum sambil menahan sakit.

"Lo masih bisa hidup buat dua jam kedepan, kan?"

Nicholas malah menatap benci oknum yang bertanya. "Emang lo kira gue selemah apa, Jay? Cuma luka kayak gini mah biasa, kayak digigit nenek megalodon. Tenang. Kalau nanti gue mati, gue percaya kalian semua bisa nyelesain semua permainnya."

Apakah Jay terharu dengan kata-kata Nicholas barusan? Tentu tidak. Baginya Nicholas tetaplah rubah kecil yang selalu minta di bakar hidup-hidup.

"Bantu gue, oke?" Anggukan dari Nicholas membuat Jay kembali menatap ke depan. "Tapi mereka berlima gak mati, kan?" Entah angin dari mana, ketakutan Jay tiba-tiba kembali datang tanpa kenal tempat dan situasi.

"Nggak. Mereka masih hidup. Masih nafas. Tenang, Jay. Jangan panik," ucap Nicholas mencoba mencairkan rasa takut yang membekukan keberanian saudaranya.

"OKE! GUE SIAP!" teriakkan dari Jay menggema.

"Permainan kali ini sangat mudah. Di bawah salah satu dari lima teman kalian ada tong berisi air panas yang masih mendidih."

"Terus?" Jay memotong ucapan.

"Memotong pembicaraan orang lain bukan hal yang baik, Jay."

"Iya, maaf."

Suara misterius tadi kembali terdengar.

"Pilih salah satu dari dari mereka, orang yang terpilih itu akan masuk ke dalam tong besar dibawahnya. Jika tongnya berisi air dingin, kalian bisa beristirahat dan kembali bermain di esok hari. Tapi, jika tongnya berisi air mendidih, bukan tidak mungkin jika esok hari kalian hanya bermain dengan enam personil."

Jay geram, hatinya tak terima. Rasa benci dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. "Kenapa harus ada yang mati!"

"Karena itu konsekuensinya."

"Harusnya kepala sekolah nggak jadiin kita boneka kayak gini!" Sesabar-sabarnya Jay, ia tetaplah manusia normal yang memiliki hak untuk protes.

"Dari sini kalian sadar kalau menjadi pintar tidak selamanya menyenangkan."

Suara tadi menjadi suara terakhir yang terdengar. Setelah itu, sebuah pisau dengan ketajamannya luar biasa jatuh dari atas. Jay bukan orang yang bodoh, ia bahkan sadar kalau pemilik game menyuruhnya untuk melemparkan benda tajam itu tepat sebuah tombol. Tombol yang terletak diatas mereka yang tergantung.

Jay memandangi pisaunya sambil memikirkan beberapa kemungkinan, beberapa alasan jika sekiranya ia akan kehilangan, alasan yang ia akan berikan kepada empat yang tersisa.

Nicholas berujar dari belakang. "Apapun alesannya, gue bakal tetep percaya sama lo!"

"Kasih gue saran, Nicholas!"

"Gak bisa, Jay. Maaf. Darah gue berkurang banyak, gue gak bisa konsentrasi."

Hembusan napas terdengar begitu berat. Kali ini Jay benar-benar menunduk. Menyembunyikan gurat kesedihan. Ia bukan sedih karena permainannya yang sulit, ia hanya takut jika ia salah memilih dan berakhir dengan kesalahan yang fatal. Kesalahan yang mungkin menimbulkan perpecahan diantara mereka.

"Sudah siap, Jay?"

Yang terpanggil mulai meluruskan pandangan; memfokuskan Indra penglihatannya. Ragu, awalnya Jay ragu karena matanya tidak bisa berfungsi dengan normal. "Lo harus yakin, Jay! Lo harus percaya sama diri lo sendiri! Jangan selalu terobsesi sama hasil yang positif! Lo juga manusia, ngelakuin kesalahan itu hal yang wajar!" Jay memotivasi dirinya sendiri.

Dan sekarang, pisau tajam itu sudah mengudara, Jay sudah membidik dimana senjatanya akan mendarat.

Dan—yap!

Pisau mendarat di tombol bagian atas Kai yang masih tak sadarkan diri. Sedetik kemudian, talinya terputus—Kai masuk dengan cepat ke dalam tong besar dibawahnya, berbarengan dengan uap khas air yang masih mendidih.

Tak perlu dijelaskan betapa berdegup kencangnya jantung Jay dan Nicholas saat itu.

FailedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang