Sebenarnya, ini adalah hari terakhir Lavisha tinggal di kediaman Ezra, sebab besok, Tante Anya dan Om Brian yang merupakan orang tua lelaki itu akan kembali dari urusan mereka. Kondisi Ezra pun perlahan-lahan mulai membaik.
Ezra bahkan sudah dapat berjalan walaupun masih tertatih-tatih dan dengan gerakan yang sangat lambat. Hanya tangannya saja yang masih membutuhkan perawatan lebih.
Akan tetapi, entah kenapa kalau dilihat-lihat, justru Ezra tampak jauh lebih manja sekarang. Seolah-olah tidak mau ditinggal barang sebentar saja. Selain itu, permintaannya soal makanan pun jadi aneh-aneh. Mentang-mentang ia tahu jika Lavisha bisa memasak, lelaki itu malah jadi seenaknya.
Seperti sekarang contohnya, Ezra meminta Lavisha untuk membuatkannya mi instan dengan kuah yang pedas. Beruntungnya gadis itu menurut saja, toh, tidak ada salahnya. Ia juga sedang ingin memakan menu serupa. Apalagi selama berada di kediaman Ezra, kehidupannya terasa sangat baik. Makan teratur dengan lauk yang enak pula walaupun hasil masakan sendiri. Tidak seperti hari-hari biasanya, deh.
Namun, satu hal yang jadi masalah adalah karena Ezra yang belum bisa memegang alat makannya sendiri—masih harus disuapi. Jadi rasanya kurang puas jika makan mi instan tidak langsung dihabiskan alias makan sedikit-sedikit karena terpotong rutinitas menyuapi bayi besar serupa Ezra.
Beruntungnya karena sudah lumayan terbiasa dilakukan selama sepuluh hari terakhir, Lavisha dapat melakukannya dengan baik. Sambil makan, keduanya juga mengobrol kecil agar tidak sepi-sepi amat. Padahal, televisi menyala di hadapan dan tengah menayangkan film dari aplikasi premium berbayar, tetapi keduanya malah memilih berbicara sambil makan.
Ponsel milik Lavisha berbunyi saat keduanya baru saja menghabiskan setengah makan malam mereka. Hanya sebuah pesan masuk, tetapi suaranya lumayan berisik. Kebetulan, ponsel milik Lavisha itu berada tepat di tengah-tengah dirinya dan Ezra, begitu juga dengan ponsel milik lelaki itu yang disimpan bersebelahan.
Ezra yang memang dasarnya kepo, langsung menatap layar ponsel milik gadis itu yang menyala. Menampilkan lockscreen berupa foto seorang wanita tua dengan gadis kecil yang memeluk pinggangnya. Sayangnya, Ezra tidak bisa melihat jelas potret itu, sebab Lavisha segera meraih ponselnya dan membaca pesan masuk tadi.
"Di sini dekat dengan fotokopian nggak?" Tiba-tiba saja Lavisha bersuara setelah membaca pesan, membuat Ezra yang tadi hanya diam menanti si gadis selesai dengan urusannya, menoleh.
"Nggak tau," balasnya. "Emang mau ngapain?"
"Nge-print sesuatu." Gadis itu menjawab seraya tetap memperhatikan layar ponselnya karena sedang membaca sesuatu. "Beneran nggak tau, yang deket di sini fotokopian di mana?"
"Ya elah, ngapain jauh-jauh?" Ezra berujar sewot. Tangan kirinya bergera meraih sendok yang berada di mangkuk mi miliknya, kemudian mengaduk-aduk makanan itu karena bosan. "Di kamar gue, kan, ada mesin print, Sha."
Lavisha cengo. "Masa, sih? Sumpah, gue nggak tau."
"Ya lagian, lo bolak-balik ke kamar gue, ngapain aja sampe nggak sadar ada mesin print dekat meja kerja gue, heh?"
Gadis dengan rambut pendek itu hanya memberikan cengirannya, tanda ia benar-benar tidak mengetahui apa pun. "Ya, sori. Nggak begitu perhatian, sih, soalnya. Kan, nggak sopan merhatiin isi rumah orang."
Ezra menghela napas pendek. "Santai aja kali, kalo sama gue, mah. Kan, biar gimanapun, lo harus mulai membiasakan diri."
Kali ini, Lavisha tidak mengerti dengan maksud ucapan lelaki di sampingnya itu. Alhasil, dahi gadis itu berkerut samar karenanya. "Maksudnya gimana, ya?"
"Ah, maksud gue, kan, lo bakal jadi agent gue sampai kontraknya selesai. Artinya ya, lo pasti bakal sering ke apartemen gue, kan?"
"Oooh." Lavisha mendesah lega. "Gue pikir apaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVORENT✓
Romance16+ "Kalau begitu, boleh nggak, saya ganti agennya sama Mbak operatornya aja?" Bukan sekali dua kali, tetapi sudah sangat sering Lavisha mendengar pertanyaan seperti itu ketika dirinya memposisikan diri sebagai operator di aplikasi penyedia jasa tem...