Eps. 17: Problem Anak Gadis?

111 24 1
                                    

Tiada hari tanpa menggombal. Begitulah agaknya prinsip hidup seorang Fabiantara Ezra. Lavisha yang baru mengenalnya kurang dari dua bulan saja sudah merasa hafal akan segala tingkah lelaki itu.

Terkadang, Lavisha sampai berpikir jika Ezra pastinya seorang yang senang menggoda para gadis seperti sosok lelaki buaya kebanyakan. Akan tetapi, Ezra malah berkata jika ia tidak memiliki pengalaman apa pun perihal cinta. Percaya? Tentu saja tidak. Kebanyakan 'buaya' memang sering berkata begitu untuk merayu calon mangsanya, bukan?

"Mau ayamnya lagi, nggak?" Lavisha bertanya, sembari menyodorkan sendok berisi nasi dan lauk ke hadapan Ezra yang duduk tenang di kursinya.

Ezra menggeleng, kemudian sambil senyum-senyum tidak jelas, lelaki itu tiba-tiba saja berujar, "Tapi kalau misalnya lo mau nambah rasa sayang lo ke gue, boleh banget haha."

Tuh, kan. Apa Lavisha bilang tadi? Gombal bagi Ezra itu sepertinya sudah menjadi barang wajib yang harus dilakukan setiap waktu. Mungkin lelaki itu akan sakit kalau sampai tidak menggombal sehari saja.

Respons yang selalu Lavisha berikan pun selalu sama. Diam sebentar, sebelum akhirnya menjulid dalam hati. Wajahnya dibuat berekspresi sedatar mungkin, baru setelahnya berdecak pertanda kesal terutama saat melihat betapa tengilnya wajah Ezra di hadapannya sekarang. "Apaan banget, sih, lo? Nggak nyambung banget jadi orang."

"Tapi lo salting, kan?"

"Dih, najis banget. Kagak, ya!"

Selalu saja berakhir seperti ini, atau paling tidak saling mengejek satu sama lain. Begitulah kiranya siklus hidup sepasang kekasih yang terhubung dalam sebuah ikatan kontrak selama kurang lebih dua bulan terakhir.

Kondisi Ezra pun memang sudah jauh lebih baik daripada sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, agaknya lelaki itu merasa jika Lavisha adalah pengasuhnya, maka dari itu, Ezra keenakan untuk makan dengan cara disuapi oleh Lavisha dengan alasan jika tangannya masih sering sakit jika dipakai melakukan sesuatu. Lavisha pun tipe orang yang iya-iya saja sih, toh, ia juga masih dalam mode 'orang bayaran' yang tentunya akan digaji dengan sejumlah uang jika ia melakukan pekerjaannya dengan baik.

"Btw gue mau nanya soal LOVORENT, deh."

Lavisha mengalihkan tatapannya dari piring di hadapan, kemudian menatap Ezra dengan serius. "Tanya apaan?"

Entah karena sok tahu atau bagaimana, tetapi Lavisha bisa dengan jelas melihat raut wajah Ezra yang terlihat ragu. Buktinya lelaki itu hanya diam saja, sementara Lavisha sudah sibuk menerka-nerka apa kiranya yang akan dikatakan oleh 'pacarnya' itu.

"Kenapa, deh?" Lavisha bertanya seraya menggerakkan tangannya di depan wajah Ezra. Takut-takut lelaki itu kesambet karena terlalu banyak melamun.

Ezra menggeleng singkat. "Di LOVORENT tuh, bisa perpanjangan masa kontrak nggak, sih?"

"Bisa." Lavisha menjawab seraya menepikan piring di hadapannya, kemudian menuang air ke gelas untuk kemudian diberikan kepada Ezra. "Memangnya kenapa?"

Lagi-lagi, lelaki 24 tahun itu menggeleng. "Cuma nanya doang," jawabnya. Ia menerima gelas berisi air  yang Lavisha berikan menggunakan tangan kiri dan meminumnya dalam beberapa tegukan.

Lavisha menghela napas---entah kenapa terdengar begitu lega di telinga Ezra. "Kirain lo mau perpanjangan kontrak."

"Emang kenapa? Lo nggak mau?"

Gadis berambut panjang itu menggeleng. "Ya gimana ya ...? Menurut gue sih, sayang aja gitu kalo misalnya lo buang-buang uang lagi cuma buat bayar jasa gue. Nggak pengin coba agent lain, gitu?"

"Kenapa harus agent lain?"

Lavisha mengangkat bahu tanda tak begitu mengerti dengan apa yang ia katakan tadi. "Kan mereka jauh lebih populer dari gue. Ratingnya juga bagus-bagus, pasti pelayanan juga jauh lebih bagus lagi dari gue. Selain itu juga mereka jauh lebih profesional daripada gue yang hobi telat ini."

Ezra diam saja saat Lavisha berceloteh ini dan itu. Ia dapat melihat dengan jelas jika gadis di hadapannya tersebut sedang merasa insecure dengan dirinya sendiri.

"Coba, lo inget nggak? Berapa kali gue telat selama jadi agent lo?"

"Dengan lo yang datang lengkap dengan tampang capek dan mata panda kayak nggak tidur sebulan, ya kali gue nggak coba ngertiin alasan apa yang bikin lo terlambat." Ezra mendengkus, kemudian mendekatkan wajahnya pada Lavisha yang otomatis terdiam melihat apa yang dilakukan oleh lelaki itu. "Ditambah lagi lo yang selalu bawa-bawa perkara orang rumah lo yang beginilah, begitulah. Lo pikir gue nggak merhatiin selama ini?"

Lavisha membuang wajah ke samping, enggan menatap Ezra yang kini memperhatikannya secara intens. "So-sori kalo misalnya lo keganggu sama sambatan gue setiap ketemu," ujar gadis itu kemudian. Ia menarik mundur kursi yang diduduki agar posisinya dengan Ezra tidak begitu dekat.

"Lo punya masalah sama keluarga lo?" tembak lelaki dengan tinggi 180 sentimeter itu, membuat Lavisha kembali menatapnya walaupun hanya sebentar.

Dengan ragu, gadis itu berdeham. "Y-ya, gitulah. Biasa. Problemnya anak gadis, lo tau sendiri, kan?"

"Nggak tahu." Ezra menjawab dengan intonasi datar. "Gue bukan anak gadis dan di rumah gue juga nggak ada anak perempuan. Adek gue laki-laki semua. Jadi, apa problem anak gadis yang nggak gue tahu itu?"

"Ya ada, lah, pokoknya." Lavisha kali ini membalas dengan ogah-ogahan. "Lo nggak perlu tau."

Ezra lagi-lagi mendengkus. Kalau saja lengannya sudah sembuh total, mungkin ia akan membawa Lavisha berdiri dan mengukungnya di tembok seperti di drama-drama picisan yang biasa ditonton sang ibu. "Masalah nggak bakal selesai kalau nggak diceritakan, Sha. Lo harus berbagi masalah lo, seenggaknya kalaupun gue nggak bisa bantu, beban di pundak lo berkurang dikit."

"Nggak semua masalah bisa diceritakan juga, kan?" Lavisha membalas dengan nada yang sedikit ketus. Kentara sekali jika gadis itu merasa tidak nyaman. Ia lantas berdiri, membenahi piring bekas makanan Ezra tadi dan membawanya ke wastafel dapur.

Kali ini, Ezra diam saja. Ia mengerti jika gadis itu belum siap menceritakan isi hati dan permasalahan yang dialaminya. Ezra juga sadar jika dirinya sudah tidak sopan karena berusaha mengorek privasi seseorang. Namun, rasanya tidak tega juga jika harus mendapati wajah Lavisha yang tampak begitu lelah saat tiba di kediamannya setiap beberapa hari sekali karena tuntutan pekerjaan dan kontrak yang telah disetujui.

Ezra hanya ingin Lavisha lebih terbuka, setidaknya kalau bukan kepada dirinya, bisa kepada sang ibu yang hampir setiap malam selalu saja mengeluhkan bagaimana wajah lelah milik Lavisha yang cukup mengganggu pikirannya. Wanita yang telah melahirkan tiga orang anak lelaki itu merasa jika beban yang gadis muda itu tanggung cukup berat.

Kalau saja status Lavisha bukan sebagai kekasih sang putra, mungkin ibu kandung Ezra itu tidak akan rusuh meminta sang putra untuk mengorek sisi kehidupan kekasihnya jauh lebih dalam demi kebaikan bersama.

Tak berselang lama, Lavisha kembali setelah mencuci piring bekas makan tadi. Gadis itu kini terlihat sok sibuk dengan membenahi meja makan dan menutup sisa makanan yang ada menggunakan tudung saji. Kentara sekali jika si gadis berambut pendek tersebut tengah berusaha menghindari Ezra yang kini dengan terang-terangan menatapnya.

"Selasa depan gue izin nggak ke sini, ya." Saat suasana hatinya sudah mulai tenang, Lavisha akhirnya bersuara. Gadis itu meraih ponsel yang sejak tadi diletakkan di atas meja, kemudian menggulir layarnya. Ezra tidak tahu apa yang sedang Lavisha kerjakan dan ia hanya menjawab dengan dehaman pelan atas ucapan gadis itu tadi.

"Dua hari sekalian sama Rabu. Nggak apa-apa, kan?" tambah gadis yang kini mengenakan kemeja kotak-kotak hitam putih dan rok sepan putih selutut itu, merasa kurang puas dengan jawaban Ezra tadi yang hanya berupa dehaman.

Namun, bukannya menjawab, Ezra malah balik bertanya---tepatnya menuntut gadis itu agar menjawab pertanyaannya dengan jujur. "Bilang sama gue, selama ini lo nggak diperbudak sama keluarga lo sendiri, kan?"

ס+!×
Rabu, 20 April 2022
#JayDay!

LOVORENT✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang