"Untuk saat ini, kita pantau aja dulu sekalian kumpulin bukti. Asli, sih, gue nggak nyangka banget kalo ternyata selama ini LOVORENT disalahgunakan kayak gini."
Kalimat panjang yang dikatakan oleh Kanaya dua hari lalu, tengiang di kepala Lavisha hingga sekarang. Berhubung jadwalnya bekerja kembali normal, alhasil ia memiliki cukup banyak waktu untuk membantu Kanaya dan LOVORENT mengumpulkan bukti-bukti yang dapat mengungkap betapa busuknya beberapa agent LOVORENT yang bermain 'nakal' di belakang.
Masalahnya, yang mereka bawa adalah nama LOVORENT. Bahkan setelah dicari tau, cukup banyak orang yang mengenal LOVORENT sebagai tempat penyedia jasa prostitusi online. Selain itu juga, terdapat lebih dari sepuluh pengguna yang telah 'bermain nakal' dengan para agent yang sialnya sama-sama memiliki rating tertinggi di aplikasi.
Mendirikan LOVORENT sebagai penyedia jasa teman kencan memang penuh risiko. Terlebih lagi dengan paket-paket yang disediakan, kontrak dan beberapa kemudahan lain yang membuat para agent dan user terbilang bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Sejak awal perusahaan ini berdiri, Kanaya sudah menyadari betapa tingginya risiko tersebut. Akan tetapi, gadis itu menyimpan tingkat kepercayaan yang cukup tinggi kepada para agent yang menjadi tanggung jawabnya itu. Namun, siapa sangka jika ada saja orang-orang yang sengaja berniat 'menghancurkan' nama baik LOVORENT dengan cara seperti ini?
Sementara itu, Lavisha sendiri merasa takut. Entahlah, padahal bukan dirinya yang salah, tetapi karena sudah menjadi bagian dari LOVORENT sejak perusahaan ini berdiri membuat Lavisha merasa jika jiwa dan nyawanya berada di tempat ini. Kalau LOVORENT bermasalah, pasti dirinya juga akan terkena imbasnya.
Lavisha memijat dahinya yang terasa berdenyut. Matanya menatap fokus pada layar komputer yang menyala di hadapan, menampilkan data-data milik para agent yang jumlahnya lebih dari tiga puluh lima orang itu. Para agent juga terdiri dari laki-laki dan perempuan. Semua dituntut untuk profesional dalam melakukan pekerjaannya sehingga tidak mungkin, bukan, jika mereka melanggar aturan yang sudah sejak lama disediakan oleh perusahaan?
"Gila, sih. Dalam tahun ini aja dia berhasil gaet lebih dari dua puluh orang. Nggak bisa bayangin kalo ternyata semuanya ... astaga." Lavisha menggeleng tak percaya sambil mengacak rambutnya frustrasi. "Pantesan aja dia kaya raya sekarang."
Gadis dengan rambut pendek itu mulai mencari formulir yang diisi oleh para user yang memilih si agent pemilik rating tertinggi di aplikasi itu dan mendapatkan lebih dari tiga puluh lima formulir yang diisi selama setahun terakhir---dalam sistem perhitungan tanggal dan bulan agent bersangkutan bergabung dengan perusahaan. Akan tetapi, dari semua itu hanya kurang lebih dua puluh di antaranya yang berhasil sampai tandatangan kontrak.
Sebanyak itu dan yang menjadi pikiran Lavisha hanyalah bagaimana jika semua kontrak yang telah ditandatangani ternyata memiliki pelanggan yang serupa?
Perlu digarisbawahi, 'agent' yang tengah ia selidiki ini hanya melayani user yang memilih paket dengan masa kontrak tak lebih dari satu Minggu. Entahlah, mungkin karena paling populer hingga Kanaya memberikan kemudahan untuknya dalam memilih lamanya masa kontrak.
Asyik membaca-baca formulir dan data milik si agent, Lavisha dikejutkan dengan dering ponsel miliknya yang langsung membuat gadis itu memilih segera menjawabnya tanpa perlu melihat siapa si penelpon. "Ya, halo?"
Beruntungnya, Lavisha menyadari jika telepon yang masuk barusan, tujuannya adalah ponsel miliknya, bukan milik kantor. Sehingga ia tidak sampai salah menggunakan sapaan dan intonasi suara. Ingat, bukan, semisal sedang dalam posisi menjadi operator, suaranya harus dibuat mendayu-dayu?
Rupa-rupanya yang menelepon adalah satpam LOVORENT. Agak bingung juga sebab tidak biasanya penjaga keamanan itu menghubunginya seperti ini. Misalnya iya, pun, paling ketika Lavisha memesan makanan atau membeli suatu barang via online yang kemudian dititipkan melalui perantara satpam kantor. Maklum, perusahaan ini tidak memiliki OB atau OG yang bekerja full dan hanya datang untuk membersihkan kantor di pagi dan malam hari dengan sistem shift.
Satpam yang menghubunginya mengatakan jika ada seseorang yang datang dan ingin memberikan sesuatu, tetapi ketika diminta menemui Lavisha langsung ke dalam, orang itu berkata dirinya masih memiliki pekerjaan lain. Jadilah Lavisha agak terburu-buru menyudahi pekerjaannya---tak lupa mengamankan kembali data-data yang barusan ia buka---sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.
"Orangnya cewek apa cowok, Pak?" tanya Lavisha seraya berjalan dengan langkah lebarnya. Jujur saja, ia tidak suka membuat orang lain menunggu, makanya Lavisha memastikan jika dirinya harus bergerak lebih cepat.
Saat di lobi, Lavisha dikejutkan dengan orang yang beberapa waktu terakhir sedang ia selidiki, memasuki kantor. Lavisha tidak bodoh, ia melihat dengan jelas bagaimana bentuk bibir gadis itu yang sedikit lebih bengkak daripada biasanya.
"Hai, Sha. Mau ke mana?" tanya si 'agent', basa-basi.
Lavisha menyunggingkan senyum tipis. "Ke depan bentar," jawabnya kemudian. "Duluan, ya, Mbak Sita."
Fresita Dania, namanya. Usianya dua tahun di atas Lavisha, makanya ia menyebut gadis---yang entahlah memang masih pantas disebut 'gadis' lagi atau tidak---itu dengan sembutan 'mbak'. Fresita atau Sita sendiri bergabung dengan LOVORENT di tahun kedua perusahaan ini berdiri. Namun, sejak ia baru saja menjadi agent, pelanggan yang memilihnya langsung berdatangan. Entahlah, mungkin karena wajahnya yang ayu dan tubuhnya yang indah itu.
Beruntungnya Lavisha berhasil menguasai ekspresi wajahnya agar tidak terlihat jika dirinya sedang merasa 'terkejut' dan tertekan di waktu bersamaan. Ya, tertekan karena tiba-tiba saja teringat soal video panas yang ditunjukkan oleh ibunya beberapa waktu lalu. Tentunya ia bukan orang bodoh yang tak dapat mengenali siapa pemilik wajah yang berada dalam video itu.
"Mbak Lavisha, benar?"
Entah sudah berapa kali ia merasa kaget hari ini, yang ini, ini adalah yang kesekian. Ketika sampai di lobi, ia dihadapkan dengan seorang wanita berpakaian formal yang terlihat begitu dewasa dengan penampilannya itu. "A-ah, iya, dengan saya sendiri."
Wanita itu kemudian menyunggingkan senyum ramahnya, seraya menyerahkan sebuah paper bag yang entah isinya apa. "Kedatangan saya kemari karena hendak mengirimkan pesan dari atasan saya. Mohon diterima, Mbak Lavisha."
"I-ini apa, ya?" Lavisha bertanya dengan wajah bodoh saat diulurkan paper bag berukuran kecil begitu saja.
"Untuk isinya, Mbak Lavisha bisa lihat sendiri nanti. Saya izin pamit karena masih ada pekerjaan." Tanpa perlu repot-repot menjelaskan, wanita dengan setelan formal itu langsung berpamitan kepada Lavisha yang masih clueless. Namun, sebelum wanita itu benar-benar pergi, ia sempat berkata, "Ah iya, Mbak. Pesan dari atasan saya, beliau meminta saya untuk memastikan jika Mbak Lavisha harus datang."
Baru saja Lavisha hendak bertanya mengenai maksud dari 'datang' yang disebutkan, wanita itu malah sudah memasuki mobil---entah pakai kekuatan apa hingga bisa berlalu secepat itu.
Lavisha menggaruk kulit kepalanya yang mendadak terasa gatal. Diambilnya sesuatu yang berada di dalam paper bag yang ternyata isinya adalah sebuah undangan. "Um? Siapa yang nikah?" gumamnya seraya membaca tulisan yang tertera dalam kertas super tebal berwarna hitam itu.
"Bentar-bentar." Dahi gadis itu mengernyit saat membaca sebuah nama yang tertera ada undangan tadi. "AYG Corp.? Ayang, ya, ini maksudnya?"
Di posisi kebingungan seperti ini, pun, masih sempat-sempatnya Lavisha berpikiran random. Namun, saat ia menyadari satu hal, gadis itu otomatis melebarkan matanya karena kaget. "Gila! Inikan perusahaan besar yang biasanya gue lewatin kalo mau ke apartnya Ezra!"
ס+!×
Rabu, 27 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVORENT✓
Romance16+ "Kalau begitu, boleh nggak, saya ganti agennya sama Mbak operatornya aja?" Bukan sekali dua kali, tetapi sudah sangat sering Lavisha mendengar pertanyaan seperti itu ketika dirinya memposisikan diri sebagai operator di aplikasi penyedia jasa tem...