10. Wejangan Mas Aji

190 49 35
                                    

Dengan sangat tidak minat, sore itu Lian berjalan seorang diri memasuki parkiran Sakti Mahesa. Tadinya ia beramai-ramai dengan teman-temannya—Tata, Kiera, Juanda, dan Cello—tetapi tiba-tiba ketiga kawannya itu memutuskan untuk kembali ke kantin lagi karena baru sadar jika Juanda tertinggal tanpa sengaja.

Sebenarnya Lian ingin ikut, tetapi tak jadi karena Aji pasti akan ngomel panjang lebar jika ia terlambat lebih lama lagi.

Nah, kan, benar, Aji sudah menelepon lagi dan ini yang kedua kalinya. Padahal sekarang Lian berada tak jauh dari motor kakaknya itu, tapi mengapa Aji tidak merasa ada ikatan kuat antarsaudara yang tiba-tiba sok mencari-cari dan menemukan Lian di sana.

Namun yang namanya Lian sama saja. Alih-alih segera berjalan menuju di mana sang kakak berada, dia malah menerima telepon itu. "Kenapa?"

"Kamunya di mana?"

Lian terkikik tertahan, berjalan perlahan sampai ke belakang kakaknya tepat. "Di sini," ucapnya.

Lian menyengir lebar ketika Aji menoleh dengan tampang terkejut, yang kemudian Aji jadi memutar mata jengah menahan kesal.

"Dari mana, sih?" tanya Aji kemudian.

"Nyari ayang," katanya asal, Aji tak menanggapi sebab tahu itu hanyalah omong kosong. "Mas niat amat bawa dua helm?" tanya Lian baru sadar kalau helm miliknya juga ikut nangkring di motor kakaknya.

Sementara Aji yang sejak tadi sudah ada di sana hanya mengerutkan dahi, lantas laki-laki itu menoleh ke belakang. Tangannya bergerak untuk memberikan helm hitam itu kepada Lian. Dalam hatinya Aji jadi membatin, bener juga.

Betul, kakak beradik ini memang satu sekolah, bahkan berada di jurusan yang sama. Namun walau satu sekolah dan satu tujuan, momen di mana kakak beradik ini berangkat bersama bisa dihitung pakai jari.

Sebab, alih-alih memilih cara yang lebih praktis, justru Lian lebih senang menyusahkan diri dengan setiap pagi selalu meminta berangkat diantar oleh abang atau papa. Alasan terkuat karena gadis itu tidak mau dan tidak pernah mau dibonceng motor kakaknya kalau tidak sedang sangat amat terpaksa. Dan kalau bukan karena sore ini abang sedang ada keperluan, Lian tidak akan pulang bersama motor tak ramah penumpang itu.

Aji tampak berpikir sejenak, keningnya bahkan mengkerut tampak serius sekali. "Tadi, sih, niatnya mau boncengin cewek sebelah. Cantik banget. Tapi karena Mas ini seorang kakak yang baik dan bijaksana, Mas nggak tega kalau harus lihat kamu pulang sendiri."

Si adik melengos keras. "Ya, udah. Aku bisa, kok, pulang bareng Tata apa Cello. Terus tadi katanya Kie juga nggak latihan paskib, aku bisa minta nebeng Kie sama kak Jes." Lian jelas merajuk.

"Cie ngambek, nih, cie," sahut Aji malah terkikik. Lantas tahu-tahu, dia meraih helm yang masih saja digenggam oleh Lian lalu memasangkannya dengan asal-asalan. Aji tambah tergelak saja ketika melihat rambut adiknya itu maju semua hingga menutupi wajah. Bahkan sepanjang mengeluarkan motor, ia tetap tertawa meski Lian menatapnya dengan menyeramkan. Dia tahu kalau adiknya itu dongkol setengah mati. "Bareng Nabil aja sana."

Mata Lian memicing. "Apa, sih????"

"Cie salting." Dan Aji semakin gencar meledek. "Kemarin kayaknya akrab banget, tuh."

"Aku emang akrab?????"

Aji tergelak. "Tadi pagi tuh Mas disuruh sama abang bawa helm dua," kata Aji menyuruh Lian segera naik karena takut kalau memblokir jalan. "Soalnya nanti kamu malah terlantar nggak ada yang jemput," lanjutnya sampai tiba-tiba sebuah pukulan panas mendarat di pundak.

"Males, ah, sama Mas. Aku mau minta jemput papa aja, biarin pulang Maghrib sekalian," rajuk gadis itu sudah siap-siap mau kembali turun.

Tapi Aji langsung menahannya. Berabe kalau adiknya ini ngambek. "Iya, iya, maaf. Mas bercanda ajaaa," ucapnya melotot panik. "Ini helm emang buat kamu, orang punya kamu juga."

Lian hanya melengos, tak menjawab. Gadis dengan cardigan berwarna hijau mint itu bahkan tetap diam ketika motor mulai berjalan keluar. Selain karena masih kesal, Lian juga berusaha memposisikan diri supaya tidak jatuh dari atas motor.

Perlahan-lahan saja mereka bergerak, ikut bergerombol dengan para penghuni Sakti Mahesa yang tak mau mengalah saling berebut jalan keluar. Bisingnya suara knalpot saling sahut-sahutan, seolah itu sebuah aksi protes mengapa mereka terus terjebak di sana. Namun di sisi lain, asap yang keluar itu menambah rasa engap dan panas di tengah-tengah kerumunan.

Jalanan sangat ramai, jelas. Jam pulang sekolah begini memang bersamaan antara Sakti Mahesa dan SMA depan. Apalagi dari keduanya juga sama-sama tak mau mengalah bergantian memberi jalan. Kalau Aji, sih, mending langsung asal trobos saja daripada terus terjebak di antara panas dan kerumunan.

Sepanjang kemacetan di jalan, Lian hanya bengong menatap kendaraan-kendaraan.

"Lian." Aji memanggil ketika mereka berhenti di tengah-tengah kemacetan, membuat Lian praktis memajukan badan sebab tak begitu dengar dengan apa yang dikatakan kakaknya.

"Apa??" Gadis itu agak berteriak.

Aji menegakkan badan. "Kamu masih sering dihubungin sama Jes enggak?"

"Apa? Duta?"

Yang lebih tua mengangguk.

"Kadang, sih."

Kali ini Aji manggut-manggut. Walau samar, tapi kelihatan dari helmnya bergerak naik turun. "Kamu mau ikut seleksinya?"

"Nggak tau, sih. Emang kenapa?" Lian mengernyit, heran kenapa tiba-tiba kakaknya membahas hal ini. Padahal kemarin-kemarin, Mas Aji kelihatan seperti tidak peduli.

"Kalau saran Mas, sih, mending jangan. Saran aja lho, ya."

Lian semakin mengerutkan dahi.

"Jadi duta itu tekanannya berat," kata Aji serius, bahkan tangannya pun bersidekap dada. "Mungkin malah lebih berat dari kamu jadi tukang panah," lanjutnya. Kalau sudah menyangkut adiknya, Aji juga harus turun tangan.

Alih-alih meresapi, Lian malah memicingkan mata mendengar kalimat Aji sore itu. "Nggak ada yang lebih elit apa dari tukang panah?"

"Nggak ada." Aji menjawab dengan tampang polos yang justru membuat Lian geram sekali pada kakaknya itu. "Bercandaaaa. Gimana, ya. Kalau jadi duta tuh gerak-gerik kamu di sekolah jadi nggak bebas, Li. Terbatas gitu. Lihat aja si Jes, gini dikit dikomentarin, gitu dikit dihujat. Kan, kasihan mentalmu nanti, Li."

Salah satu sisi yang jarang kelihatan dari Mas Aji. Jujur, Mas Aji ini jarang sekali memberi petuah dengan serius begini. Kakaknya itu tipe-tipe orang yang kalau mau memberi nasihat pasti harus membuat darah tinggi dulu. Tapi anehnya, hari ini berbeda.

Lian berdehem, merasa terharu. Gadis itu diam mendengar kalimat sang kakak dengan begitu serius.

"Iya, bilang aja Mas ngelarang kamu. Karena Mas emang nggak mau kamu jadi bahan pembicaraan mereka. Nggak apa-apa, sih, kalau bagus, Mas santai aja. Lha tapi kalau jelek? Kita nggak bisa ngontrol ucapan orang lain." Aji memberi jeda, laki-laki itu memandangi aspal dengan tatapan tak terdefinisi. "Si Jes itu dari luar emang mungkin kelihatan haha hihi ketawa-ketawa mulu. Tapi, kan, kita juga nggak tau aslinya gimana."

Detik setelah Aji mengakhiri kalimatnya, kakak beradik itu sama-sama diam. Membiarkan bisingnya suara motor masuk ke indera pendengaran, ikut meramaikan bagaimana rusuhnya isi pikiran.

Sore itu di bawah awan-awan yang menggantung di langit, motor Aji mulai bergerak membawa segala perkataannya untuk Lian resapi semakin dalam.


Sore itu di bawah awan-awan yang menggantung di langit, motor Aji mulai bergerak membawa segala perkataannya untuk Lian resapi semakin dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Serangkai Kata [New Version]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang