13. Galau, Katanya

147 40 33
                                    

Bulan sudah berganti.

Ketika seharusnya panas memancar, menjelang sore hari itu matahari tiba-tiba meredup, membuat langit tampak menjadi temaram. Dalam sekejap, eksistensi sang surya telah digantikan oleh sekumpulan awan gelap yang tampak menggantung begitu suram. Gulitanya amat pekat, seolah menyimpan berton-ton beban berat dari setiap keluhan.

Di atap rumah, petikan gitar menjadi pengantar kegalauan hati seorang Kaloka Arsa. Instrumen lagu Mau Dibawa Kemana kepunyaan Armada menggema merdu tapi terdengar amat sendu, mampu membuat siapa saja yang mendengarnya ikut merasa patah hati tiba-tiba.

"Ah elah, galau mulu lo."

Yutaka datang menyela, cowok berdarah Jepang amat kental itu mengambil tempat duduk di sebelah Loka. Menyodorkan sebuah minuman dingin.

"Nape, sih? Kalau ada masalah tuh cerita," ucapnya peduli. "Muka lo udah kayak duit seratus ribu yang ikut kecuci, kusut bener."

Loka menghentikan jemarinya, hanya untuk menerima uluran sang kawan. Kadang, dia masih suka tak percaya kalau Junichi Yutaka ini benar-benar berdarah Jepang, kental pula. Yang membuat ingat kalau laki-laki berambut gondrong itu berasal dari Jepang hanyalah nama dan wajah saja, sementara gaya bicaranya anak Jakarta abis.

"Nggak kenapa-kenapa. Emang yang boleh galau cuma orang galau aja?" Loka melirik malas.

Yutaka mengerutkan dahi, tampak berpikir sembari mengecap bibir beberapa kali setelah meneguk kopi dari kaleng. "Ya, enggak. Tapi petikan lo itu udah kayak ikan stres yang ditinggal kawin sama betina lain. Sedih aja gue dengernya."

Loka mencebik setelah meneguk minuman yang ia genggam. "Gue nggak galau."

Lantas pemuda berkaos hijau tua itu lebih memilih untuk menurunkan gitar dari pangkuan, terdiam menikmati suasana sebelum hujan benar-benar turun. Pun kalau jadi turun. Sebab kadang, hujan memang lebih senang mempermainkan perasaan orang-orang. Tiba-tiba datang, tiba-tiba pergi, atau kadang malah hanya menakut-nakuti dengan ketidakpastiannya.

Seperti sekarang, tidak ada yang tahu pasti.

Apakah akan turun, apakah hanya numpang lewat, apakah akan kembali cerah seperti sebelumnya.

Tidak ada yang tahu.

"Cih." Yutaka mendecih. "Muka lo tuh muka-muka nggak bisa bohong," katanya dengan dewasa. Sesaat, dia menoleh pada Loka.

Kali ini Loka yang mendecih, meletakkan gitar di sebelahnya. "Galau cuma buat orang-orang lemah," katanya sok. "Gue ini cuma meratapi nasib aja gebetan gue punya gandengan."

Yutaka langsung tertawa, ingat kalau Kaloka Arsa pernah cerita jika dia punya gebetan anak HI yang bahkan popularitasnya tidak perlu diragukan. "Mampus," ucapnya puas.

Kulit kacang melayang bebas ke kepala Yutaka, Loka pelakunya. Dia merasa tersakiti karena Yutaka seperti tak ada keberpihakan pada dirinya. "Emang gue suka dia salah?" tanya cowok itu, kemudian mengambil gitar dan memetik beberapa nada, "mau bilang cinta tapi takut salah, bilang tidak ya~"

Malah jadi nyanyi.

"Kenapa lagi lo, Ka?" Tak lama Doyhan muncul baru datang. Tampak sekali kalau si anak kedokteran sejati itu baru kembali dari kuliah. Amat kelihatan dari wajah kusutnya yang tidak dibuat-buat.

"Kenapa?" Loka berhenti bernyanyi

Sementara Doyhan sendiri hanya menatap datar. Tatapannya itu seolah memiliki makna, "ditanya malah nanya balik."

Loka tak menjawab karena tidak peduli.

"Si Winata ke mana, sih?" tanya Yutaka. "Gue chat nggak dibales, gue telepon nggak diangkat. Kita kayaknya diselingkuhin," lanjutnya agak gila.

Sebenarnya, di perkumpulan ini, Loka merasa kalau hanya dia yang waras. Yutaka punya otak, tapi lebih sering tidak dipakai dan ngawur ke mana-mana. Doyhan karena sudah lelah dipakai untuk berpikir di perkuliahan, isi pikirannya menjadi prihatin untuk dilihat. Sedangkan Winata, walau dia secara kelakuan tampak paling normal, nyatanya bisa lebih parah dari Doyhan dan Yutaka.

Jadi, yang benar-benar manusia di sini hanya Loka.

"Heh, Yamete, lo tau sendiri nggak ada yang lebih penting buat Winata dari jagain toko bapaknya." Doyhan melempar kulit kacang ke Yutaka, membuat tempat itu jadi makin kotor dan berantakan.

Manggut-manggut setuju, Yutaka menggebrak meja tanpa tenaga. Cowok itu drama memandangi Loka dan Doyhan bergantian cukup lama. Membuat Loka kesal dan melempar kulit kacang lagi pada Yutaka.

"Lo suka banget ngelemparin gua, pantesan nggak dilirik gebetan," celetuk Yutaka mengusap mukanya.

Di mana kalimat itu mengundang atensi Doyhan, yang sejatinya memang paling suka melihat penderitaan orang. "HAHAHAHAHA LO TAU GUE TADI KETEMU GEBETAN DIA JALAN SAMA ANAK KELAS GUE," ledek Doyhan puas.

Loka mencibir tak peduli, sok tuli padahal sebenarnya sakit hati.

Maksudnya, hatinya sakit karena tidak dinotis.

"Udah, udah. Balik ke topik awal." Yutaka mengisyaratkan untuk diam. "Karena Winata jarang nongkrong sama kita gara-gara jagain warung, gimana kalau kita robohin aja warungnya," ucap Yutaka bangga seolah itu ide brilian yang dapat menyelamatkan dunia.

Doyhan langsung mengumpat tanpa suara, sedangkan Loka hanya bisa menghela napas dengan hati tak berhenti mengeluarkan sumpah serapah.

Dia bingung, kok manusia seperti Yutaka ini bisa eksis di dunia.

Yang berikutnya Loka jadi berdiri, baru sadar mendung semakin gelap. "Mau hujan, lo berdua turun nggak?"

"Entar deh, kayaknya semesta tau kalau gue lagi nggak baik-baik aja," jawab Doyhan, Yutaka turut mengangguk.

Loka menyesal bertanya.



Loka menyesal bertanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Serangkai Kata [New Version]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang