08. Loka dan Kawanannya

198 47 28
                                    


Malam itu Yutaka mengumpat sejadi-jadinya, melempar ponsel ke atas meja kaca didepannya begitu saja hingga menimbulkan suara nyaring. Doyhan di depan televisi tergelak puas sekali, Loka main game tak mau peduli, sementara Winata yang paling kalem di antara mereka hanya bisa geleng-geleng kepala saja.

Ini kawanan Loka. Ada Yutaka yang paling tua di antara mereka, sesepuh komplek dan pernah hampir punya jabatan jadi ketua karang taruna. Lalu ada Doyhan, satu tingkat di atas Loka, si anak kedokteran yang setiap hari ngeluh ini itu sambil haha hehe makan gorengan di warung Abah dekat masjid. Kemudian ada Winata, seangkatan dengan Loka, paling lurus di antara mereka dan suka menolong orang tua dengan menjaga warung kelontong keluarga.

Teman-teman Loka tak lepas dari orang-orang komplek rumah.

"Apa gue bilang?" Doyhan menyudahi tawanya, ia berdiri untuk duduk di sebelah Winata. "Mampus lu dimainin balik," katanya puas.

Yutaka melengos. "Gua kurang apa, sih, hah???" ucap laki-laki gondrong itu dengan emosi menggebu-gebu. "Pria berhati lemah lembut gini tetep aja dicampakkin."

"Lemah lembut?" Kali ini Loka berkomentar.

Winata masih diam, tapi ia tahu tentang apa yang tengah terjadi dengan tetangganya itu. Tadinya, Winata mau merasa setidaknya sedikit iba meskipun Yutaka itu tidak pantas untuk dikasihani. Namun setelah mendengar kalimat itu, Winata jadi semakin yakin untuk benar-benar tidak mengasihani si Jepang itu.

"Tapi si Oni emang udah punya pacar nggak, sih?" tanya Doyhan sambil membuka kulit kuaci, sebagai calon anak kos dia harus mulai belajar hidup hemat. "Gue denger-denger gitu."

Winata mengangguk. "Iya, udah," jawabnya singkat.

"Lah, iya. Dia satu jurusan sama lo, ya, Win?" Doyhan melebarkan mata baru ingat.

Winata mengangguk lagi. "Dia udah lama sama Tio, dari semester kemarin udah ramai beritanya. Tanya aja sama anak-anak jurusan gue, Bang. Nggak ada yang nggak tau."

Yang mana itu membuat Yutaka langsung menegak kaget. "Kok, lo nggak bilang ke gue, sih??" katanya melotot seram.

"Lo nggak nanya." Winata ikut mengupasi kulit kuaci dengan sabar, jempol dan telunjuknya bahkan sudah merah perih. "Lagian niat lo juga nggak baik dari awal. Ya, udah, gue biarin aja."

Yutaka mendengus. "Asem lo emang," umpatnya karena pada akhirnya tak bisa marah dengan Winata.

Malam itu, mereka berempat berkumpul di rumah Doyhan yang ada di ujung komplek. Tak melakukan apa-apa, hanya kumpul saja untuk melepas penat setelah seharian suntuk kuliah.

"Lah, kopi gue mana?" tanya Loka ketika mengangkat kepala dan menyadari bahwa kaleng kopi yang ia beli tadi sudah hilang entah ke mana. Hanya menyisakan jejak berupa genangan air berbentuk lingkaran di meja.

"Gue buang," jawab Yutaka tanpa beban, kini jadi genjreng-genjreng gitar tidak jelas. Walau sudah berkali-kali Doyhan mencak-mencak karena berisik takut mengganggu tetangga, laki-laki itu tidak mau berhenti.

Rambut gondrongnya acak-acakan seperti tidak mandi berhari-hari, Loka juga yakin seratus persen jika laki-laki itu hanya cuci muka dan sikat gigi saja sebelum pergi ke sini. Ternyata tak salah jika Lian pernah mengatainya seperti singa lepas. Selain galak dan seram, wujudnya memang sebelas dua belas dengan singa. Mirip persis.

"Masih sisa dikit ege, main lo buang aja." Loka memprotes.

"Terus salah gue gitu?" tanya Yutaka menunjuk dirinya. "Elo ege yang ditanyain nggak jawab-jawab. Masih untung bukan elo yang gue buang," sambungnya jadi sewot.

Serangkai Kata [New Version]✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang